Sejarah Eropa mencatat bahwa agama pernah dijadikan alat oleh kaum agamawan untuk mengekalkan penindasan. Saat itu sedang berlangsung sistem masyarakat kapitalis. Pekerjaan diatur dengan sedemikian rupa, sehingga pekerja menjadi budak bagi kelas sosial yang lain. Akhirnya pekerja menyerahkan tenaga kerjanya, bahkan seluruh kehidupannya, kepada kelas pemilik modal. Pekerja harus bekerja 12 jam sehari, tetapi bayarannya sangat sedikit, hingga memaksa anak-anak dan ibu hamil pun ikut bekerja.
Selama itu semua berlangsung, anak-anak kelas lain sedang bermain biola di ruang keluarga, sambil menunggu makan malam aneka hidangan. Itu pun mereka nikmati setelah asyik berkuda dengan gembira. Ini merupakan kondisi ketimpangan dan ketidakadilan yang nyata. Di tengah kondisi di atas, kelompok agamawan justru mengajak para pekerja untuk menerima semua itu sebagai takdir. Mereka dicegah untuk melakukan perlawanan dan menuntut keadilan, sebab penindasan yang mereka alami di dunia kelak berbuah kebaikan di akhirat.
Itulah yang membuat Karl Marx menyatakan sebuah diktum terkenal bahwa agama adalah “opium of the people”. Itu karena agama hanya memberi ketenangan sesaat dengan mengajak orang-orang tidak peduli terhadap harta duniawi. Seolah dicitrakan bahwa agama memandang harta secara negatif. Tulisan ini akan fokus pada ayat yang menyandingkan antara term harta (al-mal) dengan term fitnah. Apabila dibaca sekilas, maka memandang harta sebagai fitnah akan membuat seseorang malas bekerja. Mereka juga tidak akan mau berjuang ketika mengalami penindasan secara ekonomi, karena merasa agama pun menyebut harta sebagai fitnah.
Harta dalam bahasa Arab diistilahkan dengan al-mâl (singular) atau al-amwâl (plural). Kata ini muncul di dalam Al-Qur`an dengan berbagai derivasi. Dalam Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfazh Al-Qur`an tercatat rinciannya, yaitu: Al-Mâlu (المال) 11 kali, Mâlan (مالا) 7 kali, Mâluhu (ماله) 6 kali, Mâliyah (مالية) satu kali, Al-Amwâl (الأموال) 11 kali, Amwâlan (أموالا) 3 kali, Amwâlukum (أموالكم) 14 kali, Amwaluna (أموالنا) 2 kali, dan Amwalahum (أموالهم) 31 kali.
Sementara itu kata fitnah juga terkadang disebutkan dalam bentuk plural dengan fitan. Kata ini juga muncul dengan berbagai derivasi di dalam Al-Qur`an. Rincian penyebutan kata fitnah yaitu: al-fitnah (الفتنة) 30 kali, fatannâ (فتنا) 5 kali, linaftinahum (لنفتنهم) dua kali, fatannâka (فتناك), fatannâhu (فتناه), fatantum (فتنتم), fatannû (فتنوا), taftinnî (تفتني), yaftinakum (يفتنكم), yaftinahum (يفتنهم), yaftinûka (يفتنوك),), liyaftinûnaka (ليفتنونك), futintum (فتنتم), futinnû (فتنوا), tuftanûn (تفتنون), yuftanûn (يفتنون), futûnan (فتونا), bifâtinîn (بفاتنين), al-maftûn (المفتون), fitnatuka (فتنتك), , fitnatakum (فتنتكم), fitnatahu (فتنته), fitnatahum (فتنتهم) masing-masing satu kali.
Namun demikian, tidak semua penyebutan harta bersandingan dengan fitnah. Kata al-mâl yang penyebutannya bersandingan dengan kata fitnah terdapat di dalam dua tempat. Pertama terdapat di dalam Surah Al-Anfal/8:28 sebagai berikut:
وَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ ࣖ ( الانفال/8: 28)
Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar. (QS. Al-Anfal/8:28)
Dengan redaksi yang hampir mirip, penyebutan kedua terdapat di dalam Surah At-Tagabun/64:15 sebagai berikut:
اِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ ( التغابن/64: 15)
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah (ada) pahala yang besar. (QS. At-Tagabun/64:15)
Kata kunci yang menjadi fokus pembahasan ini adalah term fitnah. Kata ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Sebagai nomina umum, KBBI menyebut bahwa fitnah adalah perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang). Sementara itu sebagai nomina agama Islam, fitnah adalah perbuatan yang menimbulkan kekacauan, seperti mengusir orang lain dari kampung halamannya, merampas harta, menyakiti orang lain, menghalangi dari jalan Allah, atau melakukan kemusyrikan.
Al-Ashfahani menyebut bahwa kata fitnah dalam bahasa Arab berasal dari kata al-fatn (الفَتْنِ) yang bermakna idkhâl adz-dzahab an-nâr li tazhhur jûdatahu min radâ`atihi (memasukkan emas ke dalam api untuk menunjukkan kualitasnya dari keburukannya). Kata ini digunakan untuk menyebut bahwa manusia dimasukkan ke dalam api neraka (QS. Az-Zariyat/51: 13). Dalam QS. Az-Zariyat/51: 14 disebutkan dzûqû fitnatakum yang berarti rasakanlah siksaanmu.
Kata ini digunakan di dalam Al-Qur`an dengan beberapa pengertian. Fitnah dimaknai sebagai ujian (Al-Ibtila` wa Al-Ikhtibar) dalam QS. Al-‘Ankabut/29: 2. Fitnah dimaknai sebagai kesyirikan (Asy-Syirk) dalam QS. Al-Baqarah/2: 191. Fitnah dimaknai sebagai kekufuran (Al-Kufr) dalam QS. An-Nur/24: 63. Fitnah dimaknai sebagai menyakiti manusia (adza an-nas) dalam QS. Al-‘Ankabut/29: 10. Fitnah dimaknai sebagai siksaan dengan api (at-ta’zib bi an-nar) dalam QS. Al-Buruj/85: 10.
Fitnah bermakna pembunuhan atau perang (Al-Qatl) dalam QS. An-Nisa/4: 101. Fitnah dimaknai sebagai menyimpang dari kebenaran (al-‘adul ‘an al-haqq) dalam QS. Al-Maidah/5: 49. Fitnah dimaknai dengan kesesatan (adh-dhalalah) dalam QS. Al-Maidah/5: 41. Fitnah dimaknai dengan argumen (al-hujjah wa al-ma’zurah) dalam QS. Al-An’am/6: 23. Fitnah dimaknai dengan gila (al-junun) dalam QS. Al-Qalam/68: 6 (Islamweb).
Analisis terhadap konteks ayat dapat menggunakan teori Munâsabah. Secara terminologis definisi dari munâsabah dicatat Yunahar Ilyas sebagai mencari kedekatan, hubungan, kaitan, antara satu ayat atau kelompok ayat dengan ayat atau kelompok ayat yang berdekatan, baik dengan yang sebelumnya maupun yang sesudahnya. Dalam hal ini QS. Al-Anfal/8:28 berada dalam konteks Surah Al-Anfal yang pada bagian awalnya berkisah tentang Perang Badar. Pada ayat 27 disebutkan peringatan kepada orang beriman agar tidak menghianati Allah dan Rasul-Nya.
Selanjutnya ayat 29 berisi tentang balasan bagi orang bertaqwa berupa furqan (kemampuan membedakan antara yang haq dan batil). Penyebutan harta dan anak sebagai fitnah pada ayat 28 dapat dipahami konteksnya sebagai bentuk ujian. Artinya mungkin saja seseorang menghianati Allah dan Rasul-Nya dengan berbuat kemaksiatan, demi mengejar harta. Namun di sisi lain ada juga orang yang dengan hartanya justru menambah ketakwaan kepada Allah.
Senada dengan itu QS. At-Tagabun/64:15 diiringi perintah untuk mentaati Allah dan Rasul pada ayat 12. Setelah itu pada ayat 16 terdapat perintah untuk bertakwa kepada Allah menurut kesanggupan masing-masing. Selain itu orang-orang beriman juga diperintahkan untuk menginfakkan harta yang baik. Orang yang menjaga dirinya agar tidak berbuat kikir kelak akan mendapat keberuntungan. Penyebutan harta sebagai fitnah berada dalam konteks yang netral. Apabila harta membuat seseorang menjadi tidak taat kepada Allah dan Rasul, maka harta itu berdampak negatif kepadanya. Akan tetapi apabila harta itu diinfakkan di jalan yang benar, maka harta itu bernilai positif bagi pemiliknya.
Teori Makki-Madani mengelompokkan ayat-ayat Al-Qur`an menjadi Makkiyah dan Madaniyah. Definisi paling masyhur menurut As-Suyuthi tentang Makki adalah apa-apa yang turun sebelum hijrah, sementara Madani adalah apa-apa yang turun setelah hijrah. Nasr Hamid Abu Zayd menilai bahwa peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah bukan hanya sekedar perpindahan tempat. Peristiwa hijrah menandakan terjadinya perubahan baru dalam sejarah dakwah. Perubahan kondisi tersebut juga berdampak pada gerak teks Al-Qur`an, baik secara isi maupun struktur.
Berdasarkan kategorisasi yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Surah Al-Anfal dan Surah At-Taghabun termasuk ke dalam golongan surah Madaniyah. Di antara karakter surah Madaniyah adalah berisi ajaran tentang ibadah, mu’amalah, pidana, aturan berkeluarga, warisan, keutamaan jihad, hubungan sosial kemasyarakatan, hubungan antar negara dalam damai dan perang, kaedah-kaedah hukum dan persoalan tasyri’. Ayat yang menyebut harta sebagai fitnah dalam konteks Madaniyah bukan berarti larangan mencari harta, sebab saat itu masyarakat muslim justru telah menjalin relasi ekonomi sehingga muncul ayat-ayat muamalah. Selain itu penyebutan harta sebagai fitnah juga dapat dipandang sebagai alarm agar umat Islam tidak hanya fokus mencari harta, tetapi melepaskan dari kepentingan akhirat.|
Ayat yang menyebut harta sebagai fitnah tidak bermaksud memerintahkan umat Islam agar menjauh dari harta duniawi. Hal itu juga bukan berarti hanya sabar dan pasrah saja apabila mengalami ketidakadilan. Islam memang mengajarkan umatnya untuk berserah diri kepada Allah melalui konsep tawakkal, namun konsep keadilan juga merupakan bagian dari ajaran Islam yang tidak boleh dilupakan. Artinya, ketika seseorang menuntut keadilan dalam persoalan harta, maka tidak bisa ditahan dan diperintahkan bersabar saja, dengan alasan harta adalah fitnah. Ini tidak sejalan dengan maqashid ayat.
Ada banyak ayat yang menyatakan bahwa kepemilikan harta adalah sesuatu yang bernilai positif. Harta dapat menjadi alat untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Harta sendiri pada dasarnya bersifat netral. Ia menjadi negatif apabila membuat seseorang melanggar aturan Allah. Di sisi lain harta juga memiliki dimensi positif apabila dibelanjakan di jalan Allah. Harta sebagai fitnah artinya alat untuk menguji kualitas manusia. Kepemilikan atau tidak memiliki harta sama-sama merupakan fitnah, yaitu ujian untuk mengukur sejauhmana kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Bahan Bacaan:
Jostein Gaarder, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, (Bandung: Mizan, 2014)
Alan Aldridge, Religion in the Contemporary World, (Cambridge: Polity Press, 2007)
Muhammad Fuad ‘Abd Al-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfazh Al-Qur`an, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Mishriyah, 1364 H)
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek RI. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/fitnah.
Ar-Raghib Al-Ashfahani, Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur`an, (Beirut: Dar Al-Qalam, 1412 H)
Islamweb, “Lafzh Al-Fitnah fi Al-Qur`an”. https://www.islamweb.net/ar/article/149460.
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2014)
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur`an, Jilid 1 (Mesir: Al-Hai`ah Al-Mishriyyah, 1974)
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur`an: Kritik terhadap Ulumul Qur`an, (Yogyakarta: LkiS, 2013)