Selain teks yang penuh tanda, al-Qur’an juga memiliki aspek bunyi. Suatu isyarat bahwa setiap kata mengandung ragam makna. Pernyataan ini, meskipun sering dikaitkan dengan pendekatan interdisipliner modern (baik sejarah, sosial ataupun sains), mencerminkan pandangan bahwa menggali makna yang tersembunyi di balik teks al-Qur’an dapat dianalisis menggunakan salah satu disiplin ilmu (Shihab, 2013: 35).
Dalam konteks ini, perangkat ilmu yang mempelajari tanda dan makna adalah semiotika, yang lahir dari kajian Ferdinand de Saussure tentang bahasa (semiologie). Sebagai pelopor semiotika modern, Saussure menawarkan kerangka untuk memahami tanda-tanda secara sistematis, yang menjadi fondasi penting untuk menggali makna ayat-ayat al-Qur’an.
Ada banyak tokoh yang menggeluti bidang ini. Namun, penulis membatasi artikel ini pada dua nama saja. Adalah Ferdinand de Saussure (selanjutnya Saussure) dan Roland Barthes (selanjutnya Barthes). Saussure yang dikenal sebagai pelopor semiotika modern (strukturalisme), disempurnakan dan dikembangkan oleh Barthes ke ranah budaya dan mitologi untuk menganalisis sistem tanda dalam masyarakat.
Secara sederhana, pendekatan semiotika yang ditawarkan oleh Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes memberikan dua perspektif unik untuk memahami teks. Saussure menekankan hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Di sisi lain, Barthes memperluas teori ini dengan menyoroti dimensi konotasi dan mitologi, yang ia jelaskan dengan myth as a semiological system (Barthes, 1972: 111).
Teori Semiotika Ferdinand de Saussure: Struktur dalam Tanda
Sebelum mengulas semiotikanya Saussure dan Barthes, penulis memulai dengan definisi dan perkembangan singkat ilmu ini. Semiotika, berasal dari kata Yunani semeion (tanda), adalah ilmu yang mempelajari tanda, sistem tanda, dan penggunaannya. Konsep semiotika mulai berkembang pada akhir abad ke-18 dan diperkenalkan secara lebih mendalam oleh Charles Sanders Peirce (1834-1914), filsuf logika Amerika.
Kemudian pada tahun 1930-an, semiotika dikembangkan oleh Charles Morris di Amerika dan Max Bense di Eropa. Meski sempat mengalami masa pasif dan kurang diminati oleh para filsuf serta ilmuwan linguistik dan sastra, semiotika akhirnya muncul kembali pada abad ke-20 sebagai ilmu tentang sistem tanda yang relevan untuk memahami komunikasi dan interaksi.
Ilmu ini sering disebut sebagai “ilmu tua yang baru” karena mengalami kebangkitan setelah periode stagnan. Semiotika, kini dianggap sebagai cabang ilmu yang mempelajari bagaimana tanda digunakan sebagai alat komunikasi yang khas dalam kehidupan bermasyarakat (Maharani, 2020: 27-28).
Saussure mendefinisikan tanda sebagai entitas yang terdiri dari dua komponen: signifier (penanda), yaitu bentuk fisik atau ekspresi sebuah tanda, dan signified (petanda), yaitu konsep atau makna yang diasosiasikan dengan tanda tersebut (Maharani, 2020: 86). Sebagai contoh, kata “cahaya” dalam QS. An-Nur [24]: 35 secara literal dipahami sebagai “sesuatu yang menerangi.”
Namun, dalam analisis Saussure, ia seperti pengetahuan atau petunjuk Ilahi. Cahaya, tidak didefinisikan secara literal, tetapi juga secara diferensial sebagai petunjuk ataupun kebenaran. Dengan memahami konsep ini, ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan lebih dalam. Sebagaimana Saussure menegaskan bahwa tanda tidak memiliki makna instrinsik, melainkan didefinisikan oleh perbedaannya dengan tanda lain (Culler, 1996: 117).
Saussure menekankan pentingnya melihat bahasa sebagai sistem yang terstruktur, di mana makna sebuah tanda tidak berdiri sendiri tetapi bergantung pada hubungannya dengan tanda-tanda lain (Culler, 1996: 68). Dalam konteks al-Qur’an, struktur linguistik ini terlihat jelas pada bagaimana perpaduan kata saling mendukung untuk membentuk pesan yang lebih besar.
Contohnya simbol seperti libās dalam QS. Al-Baqarah [2]: 187 tidak hanya memiliki makna literal, tetapi juga membangun sistem tanda yang lebih kompleks dalam hubungan manusia. Roland Barthes, sebagai pengembang teori Saussure, memperkenalkan lapisan makna baru melalui konsep denotasi dan konotasi, yang memungkinkan tanda seperti ini dimaknai lebih mendalam (Hakim, 2023: 72).
Perkembangan Semiotika Roland Barthes: Konotasi dan Mitologi
Barthes mengembangkan teori Saussure dengan menambahkan lapisan kedua pada tanda: denotasi dan konotasi. Denotasi mengacu pada makna literal atau eksplisit sebuah tanda, sedangkan konotasi membawa makna tambahan yang dipengaruhi oleh budaya, sejarah, dan nilai sosial (Hakim, 2023: 62). Selain itu, Barthes juga memperkenalkan konsep mitologi, yaitu narasi di balik tanda (Barthes, 1972: 107).
Menurutnya, mitos bekerja sebagai sistem semiologis kedua (myth as a semiological system) (Barthes, 1972: 111) di mana tanda-tanda baru terbentuk dari hubungan antara signifier dan signified pertama. Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 187, kata libās secara denotatif berarti pakaian, tetapi secara konotatif, ia mencerminkan hubungan emosional dan perlindungan antara suami istri.
Dengan pendekatan Barthes, tanda-tanda dalam al-Qur’an, seperti simbol libās, dapat dianalisis tidak hanya dari makna literalnya, tetapi juga melalui lapisan konotasi dan mitologi. Hal ini memberikan ruang bagi interpretasi yang lebih luas sesuai dengan konteks budaya dan sosial pembaca (Nabihati, 2023: 2654).
Ia mencontohkan gambar seorang prajurit kulit hitam yang memberi hormat kepada bendera Prancis. Tanda pertama ialah makna literal yang terkandung dalam gambar tersebut. Tetapi Barthes mengartikan konsep tertentu, yakni loyalitas kolonial terhadap kekaisaran Prancis. Tentu analisis ini mengubah persepsi orang, melalui pengaitan terhadap ideologi/budaya tertentu (Barthes, 1972: 116-118).
Lalu bagaimana contohnya dalam al-Qur’an? kata libās dalam QS. Al-Baqarah [2]: 187 secara denotatif berarti pakaian yang melindungi dan menutupi tubuh. Namun, Barthes akan melihat makna konotatifnya, bahwa libās melambangkan hubungan saling melindungi, menghiasi, dan menenangkan antara suami istri.
Pada tingkat mitologi, tanda ini mencerminkan idealisasi keharmonisan rumah tangga dalam Islam. Secara literal, libās mengacu pada pakaian yang menutupi tubuh. Namun, konotasi dari kata ini mengungkapkan pesan yang lebih mendalam. Suami dan istri diibaratkan sebagai pakaian bagi satu sama lain, bukan hanya untuk menutupi kekurangan, tetapi juga untuk memberikan perlindungan dan kenyamanan (Hakim, 2023: 65).
Barthes akan menyebut hal itu sebagai mitologi, di mana hubungan suami istri dipahami sebagai simbol kesalingan dan keharmonisan. Interpretasi seperti ini juga didukung oleh pandangan Quraish Shihab, yang menjelaskan bahwa pasangan suami istri harus saling melengkapi seperti pakaian yang melindungi dan menghiasi pemakainya (Shihab, 2002: 411).
Simbol-simbol sederhana dalam al-Qur’an, seperti libās dan nūr, mengungkapkan bagaimana tanda dapat membangun narasi moral dan spiritual. Untuk memahami kompleksitas ini, memadukan pendekatan struktural Saussure dengan analisis kontekstual Barthes dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam. Dialektika antara kedua teori ini memperkaya kajian semiotika al-Qur’an.
Dialektika Semiotika Saussure dan Barthes dalam Kajian Al-Qur’an
Pendekatan Saussure dan Barthes tidak hanya saling melengkapi tetapi juga menciptakan dialektika yang memperkaya pemahaman tentang al-Qur’an. Saussure memberikan kerangka untuk memahami hubungan internal tanda dalam teks, sementara Barthes menambahkan dimensi kontekstual yang menghubungkan teks dengan pengalaman pembaca (myth is a type of speech) (Barthes, 1972: 109).
Sebagai contoh, analisis struktural Saussure terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 187 akan menyoroti hubungan linguistik antara kata libās dengan tanda-tanda lain dalam ayat tersebut. Di sisi lain, Barthes akan mengeksplorasi bagaimana makna konotatif libās berubah tergantung pada budaya dan konteks pembaca.
Dalam masyarakat patriarkal, misalnya, ayat ini mungkin ditekankan sebagai kewajiban suami untuk melindungi istri. Namun, dalam konteks yang lebih egaliter, makna konotatifnya akan mencerminkan prinsip kesalingan antara suami dan istri (Kodir, 2019: 68).
Pendekatan semiotika terhadap al-Qur’an memiliki relevansi yang besar dalam konteks sosial dan budaya saat ini. Semiotika membantu pembaca untuk melihat bahwa ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang hukum atau ritual, tetapi juga tentang nilai-nilai universal seperti kasih sayang, keadilan, dan keharmonisan.
Sebagai contoh, simbol “cahaya” dalam QS. An-Nur [24]: 35 dapat diaplikasikan dalam konteks modern sebagai ajakan untuk mencari ilmu dan kebijaksanaan di era digital. Demikian pula, makna libās dalam QS. Al-Baqarah [2]: 187 mengingatkan pentingnya membangun hubungan yang saling mendukung dan menghormati di tengah meningkatnya tantangan dalam kehidupan rumah tangga modern.
Integrasi teori semiotika Saussure dan Barthes dalam kajian al-Qur’an tidak hanya membuka lapisan makna, tetapi juga menunjukkan bahwa teks ini relevan sepanjang zaman. Saussure memberikan landasan struktural untuk menganalisis tanda-tanda dalam al-Qur’an, sementara Barthes menambahkan dimensi konotasi dan mitologi yang menghubungkan teks dengan konteks budaya dan sosial.
Sama halnya seperti mempelajari ilmu bahasa yang dikenal dengan pendekatan sinkronik (struktur bahasa pada satu titik waktu) dan diakronik (perkembangan bahasa sepanjang waktu). Dalam al-Qur’an, analisis sinkronik memungkinkan pembaca untuk melihat bagaimana tanda dalam struktur ayat tanpa terjebak dalam perubahan historis. Ini membantu memahami pesan moral yang relevan secara universal.
DAFTAR BACAAN
Barthes, R. (1972) Mythologies, A Companion to the Victorian Novel. New York: The Noonday Press.
Culler, J. (1996) Saussure, Terj. Rochayah dan Siti Suhayati. Jakarta: Pusat Pemblnaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hakim, M. (2023) ‘Konotasi Makna Libas dalam Pernikahan: Analisis Semiotika Roland Barthes Dalam Q.S al-Baqarah [2]:187)’, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, 8(2), pp. 57–76. Available at: https://ejournal.uin-suka.ac.id/pasca/jkii/article/view/1372/104.
Kodir, F.A. (2019) Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif Untuk Keadilan Gender Dalam Islam. Edited by Rusdianto. Yogyakarta: IRCiSoD.
Maharani, A. dan U.N. (2020) Semiotika: Teori Dan Aplikasi Pada Karya Sastra. Semarang: IKIP PGRI Semarang Press.
Nabihati, K.H. (2023) ‘Konsep Asma Al-Qur ’ an Dalam Al-Qur ’ an ( Analisis Semiotika Roland Barthes )’, Ulil Albab: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 2(7), pp. 2652–2663. Available at: https://journal-nusantara.com/index.php/JIM/article/view/1708.
Shihab, M.Q. (2002) Tafsir Al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 05. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M.Q. (2013) Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan Dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati.