Solusi Konflik Rasial dalam Al-Qur`an

dutadamaisumaterabarat.id

Menurut Alo Liliweri, konflik rasial adalah pertentangan kelompok ras yang berbeda karena kepentingan dan kebudayaan yang saling bertabrakan, seperti konflik antara kelompok kulit berwarna atau antara kelompok etnis. Konflik ini biasanya terjadi pada masyarakat yang terdiri dari   berbagai elemen, seperti suku, ras, agama, pendidikan, ekonomi, politik, bahasa dan lain-lain yang hidup dalam satu kelompok masyarakat yang memiliki satu pemerintahan.

Misalnya di Indonesia, pernah terjadi konflik rasial antara orang Madura dengan suku Dayak pada tanggal 30 Desember 1996 di Sanggauledo Kalimantan Barat. Kasus lainnya adalah konflik rasial antara pribumi dengan etnis Tionghoa pada tanggal 10 Mei 1963 di Jawa Barat sebagaimana yang diungkap oleh Siswono Yudo Husodo. Konflik rasial antara pribumi dengan etnis Tionghoa ini juga menjadi peristiwa kerusuhan besar sebagai isu anti Tionghoa pada 13-15 Mei 1998 di Jakarta, Solo dan Medan.

Salah satu di antara penyebab terjadinya konflik rasial sebagaimana yang disebutkan dalam teori kesalahpahaman antarbudaya adalah, karena adanya ketidakcocokan dalam berkomunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda sehingga melahirkan sikap setereotif negatif atau prasangka buruk terhadap pihak lain.

Imam Nawawi menyatakan bahwa prasangka buruk adalah anggapan, pendapat atau sikap yang bertentangan dengan kebanaran dan kebaikan. Orang yang berburuk sangka berarti orang yang memiliki anggapan atau pendapat yang buruk terhadap seseorang atau  kelompok lain. Dalam pengertian lainnya prasangka buruk ialah menilai buruk dengan perkataan dan perbuatan orang atau kelompok lain tanpa bukti. Contohnya adalah prasangka buruk etnis Tionghoa terhadap pribumi atau sebaliknya prasangka buruk pribumi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia yang ada sejak masa penjajahan Belanda sampai sekarang. Prasangka buruk ini tercipta atas keberhasilan Belanda memisahkan penduduk pribumi dan etnis Tionghoa melalui aturan penggolongan masyarakat berdasarkan ras yang menciptakan keesenjangan antara pribumi dan etnis Tionghoa, kemudian menimbulkan berbagai konflik serius, bentrokan-bentrokan fisik, serta serangkaian tindakan ekstim lainnya di antara mereka.

Dari faktor penyebab konflik rasial dan dampak negatifnya yang tersebut di atas, maka solusi konflik rasial dalam Al-Qur`an merumuskan cara preventif atau yang bersifat mencegah yakni dengan cara menghilangkan prasangka buruk serta melakukan klarifikasi dalam setiap masalah atau tabayun sebagaimana yang disebutkan dalam Surah al-Hujurāt/49: 12, yaitu:

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?, maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Menurut Ibnu Katsir ayat ini melarang orang beriman berprasangka buruk dan melarang mencari-cari kesalahan orang lain, karena merupakan perbuatan dosa. Sedangkan menurut Buhairi dalam tafsirnya ayat di atas menjelaskan tiga larangan yang harus ditinggalkan orang beriman yaitu, Pertama, larangan berprasangka buruk kepada siapapun. Kedua larangan mencari-cari kesalahan orang lain. Ketiga, larangan menceritakan keburukan orang lain.

Adapun penyebab prasangka buruk menurut Ibnu Hajar adalah karena adanya kepentingan tertentu, adanya perasaan cemburu dan iri, atau adanya rasa marah hingga pada persaan dendam. Prasangka buruk ini menurutnya dapat mengakibatkan curiga terus menerus sehingga menjadi permusuhan di antara sesama. Oleh karena itu, M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menekankan untuk menjauhi prasangka buruk agar selalu tercipta masyarakat yang aman dan tentram serta hidup secara harmonis.

Sebagai pengganti prasangka buruk adalah melakukan klarifikasi dalam setiap masalah atau tabayun. Tabayyun secara bahasa artinya kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Sedangkan secara istilah, Gus Dur menjelaskan arti tabayyun yaitu menjernihkan dan memperjelas suatu perkara atau asal muasal suatu peristiwa sebelum berdebat dalam berselisih paham. Pengertian tabayyun ini sejalan dengan sebab turunnya ayat ke-6 dalam Surah al-Hujurāt, yaitu:

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Ayat ini turun berkenaan dengan kasus al-Walid Ibn `Uqbah yang ditugaskan oleh Rasulullah SAW untuk memungut zakat kepada kaum Harits bin Dhirar al-Khuza`i yang telah masuk Islam di Iban. Tugas tersebut tidak dilaksanakan oleh al-Walid, karena merasa takut. Kemudian al-Walid menghadap ke Rasulullah SAW mengadu bahwa Harits dan kaumnya tidak mau membayar zakat dan bermaksud membunuhnya. Padahal laporan tersebut tidak benar, justru Harits dan kaumnya telah mengumpulkan zakat di Iban, akan tetapi al-Walid tidak mendatangi Harits dan kaumnya tersebut.

Perintah tabayyun yang harus dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam ayat tersebut di atas menjadi solusi yang bersifat preventif terutama dilakukan dalam hal menerima informasi-informasi yang berpotensial memunculkan konflik pada umatnya. Metode tabayyun adalah proses klarifikasi sekaligus analisis atas informasi dan situasi serta masalah yang sedang dialami umat. Tujuanya adalah untuk mendapatkan hasil kesimpulan yang lebih bijak, arif dan lebih tepat sesuai keadaan umat yang sesungguhnya. Menurut Hamka, perintah tabayyun dalam ayat di atas ini juga merupakan ajaran bagi umat Islam agar tidak tergesa-gesa menerima suatu berita tanpa meneliti terlebih dahulu akan kebenarannya agar terhindar dari prasangka buruk terhadap pihak lain.

Menghilangkan prasangka buruk terhadap pihak lain dan menggantinya dengan tabayun merupakan upaya menghindari penafsiran yang salah terhadap orang atau kelompok lain, karena bisa jadi menyangka orang atau kelompok lain buruk tapi justru sebaliknya, mereka mempunyai kelebihan dan keistimewaan. Jika prasangka buruk hilang berganti dengan tabayun atau klarifikasi sebagai usaha objektif, maka akan menghilangkan pandangan rasisme yang menganggap dirinya atau kelompoknya lebih hebat dan orang atau kelompok lain rendah, padahal belum tentu dalam kenyataannya.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konflik rasial di Indonesia sering kali terjadi disebabkan karena adanya sikap setereotif negatif atau prasangka buruk terhadap pihak lain. Agar konflik rasial ini tidak terjadi kembali, maka Al-Qur`an memberikan solusi yang bersifat preventif yaitu menghilangkan prasangka buruk dan menggantinya dengan tabayun yaitu menjernihkan dan memperjelas suatu perkara atau asal muasal suatu peristiwa sebelum berdebat dalam berselisih paham hingga membawa kepada konflik.

Sumber bacaan:

Iwan Satiri, Solusi Konflik Rasial pada Masyarakat Multikultural dalam Perspektif Al-Qur`an, Jakarta: PTIQ PRESS, 2018.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *