Hermeneutik Demitologisasi Rudolf Bultmann

Rudolf Karl Bultmann lahir pada tanggal 20 Agustus 1884 di Wiefelstede, Jerman. Rudolf Bultmann menikah dengan Helene Feldmann dan memiliki tiga orang putri. Pria yang berasal dari keluarga pendeta Lutheran ini, belajar Teologi di Universitas Tubingen, kemudian di Berlis dan terakhir di Universitas Marburg.[1] Di Universitas Marburg dia belajar dibawah bimbingan Wilhelm Herman yang teologinya menjadi dasar dari seluruh pemikiran teologi Bultmann. Ia memilih bidang Perjanjian Baru karena terpengaruh oleh Johannes Weiss yang juga berasal dari Universitas Marburg. Pada tahun 1908, Rudolf Bultmann menjadi guru besar di Marburg, tempat di mana dia berkenalan dengan Wilhelm Hitmuller yang mendorongnya untuk melakukan spesialisasi di bidang History of Religions School. Secara khusus, ia kemudian mempelajari tulisan-tulisan dari Perjanjian Baru kemudian dibandingkan dengan catatan-catatan tentang agama-agama yang ada pada zaman gereja mula-mula, antara lain Hellenistic Gnoticism, Jewish Apokalyptic dan agama-agama rahasia atau mystery religions.[2]

Rudolf Bultmann memfokuskan pada bidang teologi, secara khusus biblical studies.[3] Pada tahun 1916 ia diangkat menjadi guru besar di Breslau. Empat tahun kemudian, di tahun 1920, ia pindah ke Geissen sebagai pengganti Professor Wilhelm Bousset. Pada tahun 1921 ia pindah ke Marburg sebagai guru besar di bidang Perjanjian Baru dan sejarah agama Kristen kuno. Rudolf Bultmann meninggal pada tahun 1976.[4]

Teks-teks sakral, seperti Perjanjian Baru, menurut Bultmann berbicara di dalam bahasa mitologis yang tidak dapat segera dipahami oleh pembaca-pembaca modern yang hidup di dalam wawasan dunia yang dibentuk oleh ilmu-ilmu alam. Dengan mitologi, Bultmann sama sekali tidak memaksudkan dongeng-dongeng atau cerita-cerita imajinatif yang tidak berdasar. Mitos kerap diperlawankan dengan sains, sebagaimana fiksi diperlawankan dengan fakta.[5] Pemikiran Bultmann tentang demitologisasi dapat dirangkum sebagai upaya untuk percaya dan mengerti akan berita Kristiani dalam perspektif pemikiran zaman modern. Pemikiran yang demikian pada dasarnya memiliki tujuan yang baik karena menolong orang untuk menghubungkan dari pemikiran konteks Al-Kitab dengan pemikiran era modern.[6]

Pusat dari konsep demitologisasi adalah pendirian Bultmann yang menemukan dua hal di dalam Perjanjian Baru, yaitu Injil Kristen dan pandangan orang pada abad pertama yang bercirikan mitos. Hakikat Injil, oleh Bultmann disebut dengan kerugma (isi yang dikhotbahkan), merupakan inti yang tidak dapat dipersempit lagi. Orang zaman modern ini harus dihadapkan dengan inti tersebut dan harus mempercayainya. Namun orang modern tidak dapat menerima kerangka yang bersifat mitos yang membungkus hakikat Injil. Oleh karena itu, teologi harus berusaha untuk melepaskan berita kerugma dari kerangka yang bersifat mitos. Bagi Bultmann, kerangka yang bersifat mitos tidak selalu berkaitan dengan kekristenan.[7]

Menurut Bultmann, mitos merupakan cerita yang tidak membedakan fakta dari yang bukan fakta dalam isinya, dan yang berasal dari suatu zaman pra-ilmiah. Tujuan mitos adalah untuk menyatakan pengertian manusia tentang dirinya sendiri, bukan untuk menyajikan gambaran obyektif tentang dunia. Mitos menggunakan perumpamaan dan istilah-istilah yang diambil dari dunia ini untuk menyatakan keyakinan-keyakinan tentang pengertian manusia akan dirinya sendiri.[8] Sebenarnya mitos merupakan cara sebuah masyarakat di masa silam untuk memahami dunia, maka mitos menyiratkan sebuah wawasan dunia yang berbeda dari wawasan dunia modern yang dibentuk oleh ilmu-ilmu alam. Jadi, bagi Bultmann mitos seperti sains, berbicara tentang realitas, tetapi dengan cara yang tidak memadai.[9]

Bultmann menganggap bahwa pemikiran gereja mula-mula yang bersifat mitos juga digunakan untuk mengubah pribadi Yesus. Yesus yang ada dalam sejarah segera diubah menjadi mitos dalam kekristenan yang mula-mula, karena itu Bultmann menganjurkan bahwa pengenalan historis tentang manusia Yesus sudah tidak relevan lagi untuk Iman Kristen. Mitos inilah yang diperhadapkan kepada orang yang percaya dalam gambaran Perjanjian Baru berkaitan dengan Yesus. Fakta-fakta sejarah tentang Yesus dikatakannya telah dirubah menjadi cerita mitos mengenai suatu oknum ilahi yang berpraekstensi, lalu bereinkarnasi dan dengan darahnya dapat menebus dosa-dosa manusia, bangkit dari kematian, naik ke surga dan akan datang kembali lalu memulai zaman baru. Butlmann menyatakan bahwa semua penyajian tentang Yesus dalam Perjanjian Baru bukanlah sejarah melainkan hanyalah mitos, yaitu pemikiran dari orang-orang yang membuat mitos-mitos ini untuk mengerti diri sendiri dengan lebih baik. Semua pikiran mitos tersebut sudah tidak cocok lagi untuk manusia yang hidup di Abad ke-20, yang percaya kepada rumah sakit dan bukan mukjizat, obat-obatan dan bukan doa. Untuk mengkomunikasikan Injil secara efektif kepada manusia modern, orang yang percaya harus mengupas mitos dari Perjanjian Baru dan mencoba untuk menyingkapkan tujuan mula-mula di balik mitos itu. Proses penyingkapan inilah yang disebut sebagai demitologisasi.[10]

Demitologisasi berarti penafsiran secara eksistensial, yaitu menurut pengertian manusia terhadap keberadaannya sendiri, dan dengan istilah-istilah yang dapat dipahami oleh orang modern sendiri. Contohnya Salib Kristus tidak mempunyai arti yang menunjukkan Yesus menanggung dosa bagi orang lain. Hal itu mempunyai pengertian sebagai suatu simbol dari manusia yang mengambil suatu hidup yang baru, yaitu menyerahkan semua rasa aman duniawi untuk mendapatkan suatu hidup baru yang bergantung pada yang transenden.[11] Mitos menyampaikan makna eksistensial secara tidak memadai, maka perlu ditafsirkan. Demitologisasi atas teks-teks sakral berarti menafsirkan teks-teks tersebut sehingga makna eksistensialnya dapat ditangkap oleh para pembaca di zaman modern.[12]

DAFTAR PUSTAKA

Ariyanto, M. Darojat. “Rudolf Bultmann: Demitologisasi dalam Perjanjian Baru.” Dalam Jurnal Suhuf. Vol. 20 No. 2 Tahun 2008.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015.

Sunarto. “Tanggapan terhadap Demitologisasi Butlmann dalam Hubungannya dengan Konsep Kristologi.” Dalam Jurnal Te Deum. Vol. 2 No. 1 Tahun 2010. Ulfiyati, Nur Shofa. “Pemikiran Hermeneutika Rudolf Bultmann: Eksistensialisasi dan Demitologisasi.” Dalam Jurnal Atthiflah. Vol. 7 No. 1 Tahun 2020.


[1] M. Darojat Ariyanto, “Rudolf Bultmann: Demitologisasi dalam Perjanjian Baru”, dalam Jurnal Suhuf, Vol. 20 No. 2 Tahun 2008, hal. 178.

[2] Nur Shofa Ulfiyati, “Pemikiran Hermeneutika Rudolf Bultmann: Eksistensialisasi dan Demitologisasi”, dalam Jurnal Atthiflah, Vol. 7 No. 1 Tahun 2020, hal. 30.

[3] Sunarto, “Tanggapan terhadap Demitologisasi Butlmann dalam Hubungannya dengan Konsep Kristologi”, dalam Jurnal Te Deum, Vol. 2 No. 1 Tahun 2010, hal. 33.

[4] Nur Shofa Ulfiyati, “Pemikiran Hermeneutika Rudolf Bultmann: Eksistensialisasi dan Demitologisasi”…, hal. 31.

[5] F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015, hal. 144.

[6] Sunarto, “Tanggapan terhadap Demitologisasi Butlmann dalam Hubungannya dengan Konsep Kristologi”…, hal. 37.

[7] Nur Shofa Ulfiyati, “Pemikiran Hermeneutika Rudolf Bultmann: Eksistensialisasi dan Demitologisasi”…, hal. 33.

[8] M. Darojat Ariyanto, “Rudolf Bultmann: Demitologisasi dalam Perjanjian Baru”…, hal. 180.

[9] F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida…, hal. 145.

[10] Sunarto, “Tanggapan terhadap Demitologisasi Bultmann dalam Hubungannya dengan Konsep Kristologi”…, hal. 40.

[11] M. Darojat Ariyanto, “Rudolf Bultmann: Demitologisasi dalam Perjanjian Baru”…, hal. 181.

[12] F. Budi Hardiman. Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida…, hal. 145.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *