Definisi Hermeneutika
Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna. Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani: hermeneuin, yang berarti menafsirkan. Kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan penafsiran atau interpretasi.[1]
Dalam perkembangannya makna hermeneutika bergeser menjadi bagaimana memahami realitas yang terkandung dalam teks kuno, seperti Bibel, dan bagaimana memahami realitas tersebut untuk diterjemahkan dalam kehidupan sekarang. Dalam hal ini, fungsi hermeneutika berubah dari alat interpretasi Bibel menjadi metode pemahaman teks secara umum. Pencetus gagasan ini adalah seorang pakar filologi Friederich Ast (1778-1841 M).[2]
Hermeneutika, sebagai sebuah metode penafsiran tidak hanya memandang teks, tetapi hal yang tidak dapat ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, ia berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut, baik horizon pengarang, horizon pembaca, maupun horizon teks itu sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam kegiatan penafsiran, yakni: teks, konteks, dan kontektualisasi.[3]
Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas
Jurgen Habermas adalah seorang Filosof yang berpengaruh di abad kontemporer. Dia lahir di Gummersbach, Jerman pada 18 Juni 1929. Dia dikenal sebagai tokoh teori kritik (Critical Theory) dalam hermeneutika. Gagasan hermeneutika Habermas membawa karakter aliran Frankfurt yaitu kritis. Oleh karena itu hermeneutikanya dinamakan Hermeneutika Kritis.[4] Metodenya dibangun dari sebuah klaim bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur-unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, termasuk sastra kelas, suku dan gender. Dengan menggunakan metode ini maka konsekuensinya kita harus curiga dan waspada –atau dengan kata lain kritis- terhadap bentuk tafsir atau pengetahuan dari kemungkinan hasil komunikasi yang terdistorsi secara sistematis, atau jargon-jargon yang dipakai dalam sains dan agama. Tujuannya adalah agar dapat ditemukan makna-makna yang benar, lebih dalam dan luas.
Menurut Habermas, hubungan manusia dengan alam tidaklah berjalan simetris, sebab ketika manusia mengerjakan alam ini senantiasa aktif, sedangkan alam sebagai bahan bersikap pasif. Dengan demikian, kerja tidak lain artinya bahwa manusia menguasai alam, sedangkan komunikasi merupakan hubungan yang simetris atau timbal-balik. Komunikasi bukanlah hubungan kekuasaan, sebab hanya dapat terjadi apabila kedua belah pihak saling mengakui kebebasan dan saling percaya.[5]
Pelajaran Penting Hermeneutik Kritis Habermas Dalam Penafsiran Al-Qur’an
Di antara tujuan mempelajari hermeneutik adalah untuk meneliti dan menginterpretasi hal-hal yang berkenaan dengan teks-teks kitab suci agama-agama. Dewasa ini, di tengah-tengah masyarakat kita ada sebagiannya yang masih meragukan kesucian, kebenaran dan kelayakan teks kitab suci, sebab relevansinya dirasa kurang cocok dengan kondisi sekarang. Maka, salah satu tawaran atau konsep yang kiranya dapat diterapkan adalah dengan merujuk pada teori-teori hermeneutik yang dirasa sesuai dengan kondisi pengkonsumsi teks-teks tersebut.
Berangkat dari fenomena di atas, ada beberapa agenda atau tawaran dari Habermas mengenai teorinya yang patut dipertimbangkan untuk direkomendasikan pada pemahaman teks-teks kitab suci. Pelajaran yang dapat kita ambil dari Habermas adalah mengenai proyek peradaban kritis-komunikatif. Hermeneutika Habermas adalah dialektis, dimana antara subjek (interpreter) dan objek (teks/yang ditafsir) memiliki hak untuk menyodorkan wacana dirinya secara terbuka. Tidak ada dominasi karena di sana ada saling kritik-konstruktif-dinamis. Wacana kritik-komunikatif ini dapat diambil sebagai pelajaran yang berharga dalam studi Islam. Khususnya dalam pengembangan pemikiran terhadap tafsir Al-Qur’an.
Selama ini terjadi pengkultusan atas pemikiran tentang pemahaman Al-Qur’an (tafsir) lebih dari posisinya yang sebagai produk budaya manusia yang tentu ada kesalahan dalam memahami Al-Qur’an itu sendiri. Dari sini kiranya tidak ada salahnya apabila dirumuskan kembali reorientasi pemahaman terhadap teks Al-Qur’an yang berwacana suprioritas Al-Qur’an menuju Al-Qur’an yang komunikatif. Memang, Al-Qur’an merupakan “benda suci” atau “kalam ilahi” yang tidak salah. Akan tetapi, penafsiran-penafsiran yang selama ini dianggap “semua benar” harus dipertanyakan kembali mengingat bahwa banyak tafsiran-tafsiran yang kiranya tidak sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada.
Dalam rangka pengembangan studi Islam secara umum, teori Jurgen Habermas dapat dijadikan sebagai alat atau kacamata dalam melihat fenomena sosial keagamaan. Jadi dengan melihat realita yang sedang berkembang dan membaca adanya fenomena psikopatologi di dalamnya. Semisal munculnya berbagai fenomena “arabisasi” ataupun fundamentalisme yang belakangan ini banyak terjadi dalam tubuh masyarakat kita. Dengan menggunakan pisau analisis teori hermeneutika Habermas kita dapat melakukan interpretasi dan upaya rekonstruksi atas epistemologi pemikiran yang dibangun masyarakat tersebut.[6]
Maka dari situ diperlukan suatu paradigma berpikir yang tidak bisa dilepaskan dari Al-Qur’an sendiri sebagai “produk budaya manusia” dalam menangkap eksistensi Tuhan. Kerangka inilah yang disebut sebagai “Al-Qur’an Komunikatif” dimana setiap individu diberi kebebasan dan ruang gerak seutuhnya dalam menginterpretasikan Al-Qur’an sebagai kebenaran menurut ukuran manusia itu sendiri. Al-Qur’an tidak bisa menunjukkan kebenarannya tanpa disokong oleh pandangan kebenaran dari diri manusia. Jadi, kebenaran Al-Qur’an adalah kebenaran yang bersifat manusiawi dan sudah sewajarnya jika manusia diberi ruang dalam menginterpretasikan Al-Qur’an.
Kesimpulan
Ada beberapa agenda atau tawaran dari Habermas mengenai teorinya yang patut dipertimbangkan untuk direkomendasikan pada pemahaman teks-teks kitab suci, yakni mengenai proyek peradaban kritis-komunikatif. Hermeneutika Habermas adalah dialektis, dimana antara subjek (interpreter) dan objek (teks/yang ditafsir) memiliki hak untuk menyodorkan wacana dirinya secara terbuka. Tidak ada dominasi karena disana ada saling kritik-konstruktif-dinamis. Wacana kritik-komunikatif ini dapat diambil sebagai pelajaran yang berharga dalam studi Islam. Khususnya dalam pengembangan pemikiran terhadap tafsir Al-Qur’an.
Dalam rangka pengembangan studi islam secara umum, teori Jurgen Habermas dapat dijadikan sebagai alat atau kacamata dalam melihat fenomena sosial keagamaan. Jadi dengan melihat realita yang sedang berkembang dan membaca adanya fenomena psikopatologi di dalamnya. Dengan menggunakan pisau analisis teori hermeneutika Habermas kita dapat melakukan interpretasi dan upaya rekonstruksi atas epistemologi pemikiran yang dibangun masyarakat tersebut
Daftar Pustaka
Atho’, Nafisul dan Arif Fahrudin. Belajar Hermeneutika, Yogyakarta: IRCiSoD, 2013.
Blacher, Josef. Contemporary Hermeneutics, London: Rootledge, 1980.
Jabal Kurdi, Alif. ”Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas dan Posisinya dalam Studi
Al-Qur’an. Lihat dalam: https://tafsiralquran.id/hermeneutika-kritis-jurgen-habermas-dan-posisinya-dalam-studi-alquran/. Diakses pada 20 November 2021.
Mustaqim, Abd. “Etika Emansipatoris Jurgen Habermas dan Implikasinya di Era
Pluralisme“, Jurnal Reflesi (2002): Vol.2, No.1, hal. 20. Sumaryono, E. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
[1] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal. 24
[2] Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Belajar Hermeneutika, Yogyakarta: IRCiSoD, 2013, hal. 17
[3] Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Belajar Hermeneutika…hal. 18
[4] Josef Blacher, Contemporary Hermeneutics, London: Rootledge, 1980, hal. 141-148
[5] Abd. Mustaqim, Etika Emansipatoris Jurgen Habermas dan Implikasinya di Era Pluralisme, “ dalam Jurnal Reflesi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2002, hal. 20.
[6] Alif Jabal Kurdi, ”Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas dan Posisinya dalam Studi Al-Qur’an, dalam https://tafsiralquran.id/hermeneutika-kritis-jurgen-habermas-dan-posisinya-dalam-studi-alquran/. Diakses pada 20 November 2021