Tindakan kekerasan atas nama agama adalah fenomena kasat mata yang aneh karena mendapatkan pembenaran bahkan oleh mereka yang sesungguhnya melek bacaan atau mereka yang disebut intelektual. Karena itu, tidak heran jika banyak yang bertanya: apa yang sesungguhnya sedang terjadi?
Harus diakui bahwa agama sedang menemukan momentum kebangkitannya pada beberapa dekade belakangan. Agama seperti menjadi pengganti atas ideologi-ideologi yang telah bangkrut seperti komunisme sebagai lawan dari liberalisme atau kapitalisme sebagai lawan dari sosialisme.
Namun kebangkitan agama dalam kasus ini kadang lebih melahirkan problem daripada solusi karena agama bangkit pada hal-hal yang dulunya menjadi musuh bagi agama saat agama itu pertama kali muncul. Misalnya, kebangkitan agama kini dalam bentuk politik-identitas yang agresif dan atau konsumerisme yang naif.
Saat agama hadir pertama kali, identitas-identitas yang terpecah dipersatukan pada kepentingan-kepentingan universal seperti keadilan sosial-politik-ekonomi, persamaan derajat, dan penolakan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangan. Namun kini, agama bahkan bisa menjadi stempel pengesahan untuk praktik-praktik curang, sikap diskriminatif, hingga tindakan kekerasan dan penganiayaan. Karena itu, kini agama dengan mudah melabeli lawannya dalam berkepentingan dengan istilah kafir atau syaitan padahal bukan bicara subtansi. Tidak ada lagi kejahatan yang lebih dahsyat daripada yang dilakukan atas nama Tuhan.
Sebagai perlawanan terhadap konsumerisme naif, agama di masa lalu mengajak untuk memikirkan ulang atau mengganti cara pandang lama terhadap dunia material yang seharusnya sebagai alat, bukan tujuan. Namun saat ini, agama hadir untuk menyuburkan konsumerisme naif atas nama agama dan seringkali mengabaikan kemaslahatan yang lebih besar demi keabsahan sesuatu atas nama agama. Agama kini adalah bagian dari komoditas yang bisa diperjual-belikan. Buktinya, beragama kini lebih dilihat dari aspek material lahiriah atau pengarusutamaan tubuh seperti tampilan fisik dan pakaian daripada hal-hal yang lebih subtansial.
Barangkali ada problem pada pemahaman terhadap agama itu sendiri sehingga apa yang disebutkan di atas itu terjadi. Sekali lagi, ini hanya barangkali.
Di antara barangkali tersebut yang layak mendapatkan perhatian adalah moralitas agama yang sering tampak simplistik yaitu semata-mata bermuara pada paradigma dosa-pahala, surga-neraka, suci-noda, dan seterusnya. Tentu saja itu tidak keliru karena memang ada dalilnya, namun paradigma yang semata-mata seperti itu rentan melahirkan kekerasan karena sesungguhnya pandangan tersebut mengampanyekan paradigma ketakutan dalam beragama; sedangkan ketakutan adalah sumber utama kekerasan. Mereka yang ketakutan dan tertekan akan sangat mudah melakukan tindakan kekerasan.
Seumapama seperti ini. Saat hanya diperhadapkan pada dua hal yang kontradiktif seperti umpamanya surga-neraka, maka kecenderungan pasti adalah memilih surga. Namun, kehidupan sehari-hari manusia secara individual dan sosial lebih sering jauh dari ideal kesucian yang diagung-agungkan tersebut. Akibatnya, manusia menggolongkan dirinya ke dalam kesucian dan yang selain dirinya ke dalam kenistaan. Saat itulah kekerasan dengan mudah akan muncul jika menemukan pemicunya.
Nabi Muhammad Saw sendiri tidak menerapkan konsep hitam-putih di dalam dakwahnya. Dalam beberapa Hadis tampak bahwa Nabi bahkan “menolerir” kesesatan. Misalnya, ada seorang yang masuk Islam dan mengakui ada ritual wajib di dalam Islam yang belum bisa dijalankannya, maka Nabi tidak melarangnya atau bahkan menuduhnya nista. Nabi lebih memilih pendekatan kedewasaan di dalam beragama daripada ancaman-ancaman.
Saat Nabi Muhammad Saw hadir dengan ajaran Islam, maka kelompok minoritas atau kelompok tertindas, ras berbeda, hingga perempuan merasa mendapatkan tempat berlindung dari segala ancaman. Mereka tidak sekadar menjadi Muslim yang menganut agama Islam, tetapi benar-benar berada di dalam Islam atau keselamatan itu sendiri. Bilal bin Rabah adalah simbol terbaik bagi kelompok yang mendapatkan harga dirinya kembali setelah menganut Islam.
Kini, apakah kelompok minoritas, kelompok tertindas, ras berbeda, perempuan, hingga pendapat-pendapat berbeda masih mendapatkan ruang selamat di dalam agama? Sepertinya tidak. Padahal harusnya, iya. Harusnya agama menjadi tempat berlindung bagi yang tertindas, tempat aman bagi mereka yang berbeda, hingga tempat teduh bagi mereka yang berkekurangan.[]
Editor: AMN