Walid Saleh dan Tafsir Abad Pertengahan: Letupan Angin Segar bagi Pegiat Tafsir di Indonesia

Layaknya mata air yang segar di tengah gurun, tulisan Qadafy, Menghidupkan yang Mati Suri: Walid Saleh dan Revitalisasi Kajian Sejarah Intelektual Tafsir Klasik yang diterbitkan oleh Jurnal Suhuf terlihat begitu berusaha mendobrak bangunan kajian tafsir yang monoton di Indonesia saat ini. Artikel tersebut hadir dengan sangat berani dan provokatif sebagai respon atas kejumudan kajian tafsir Indonesia karena belum mampu menyentuh dengan elegan kajian tafsir abad pertengahan.

Sebab, menurut Qadafy, produk tafsir yang dihasilkan pada abad pertengahan, mulai dari periode Tabari sampai Suyuti, belum dapat menarik minat para pegiat tafsir di kalangan mahasiswa, untuk menjadikannya sebagai fokus kajian atau tugas akhir mereka secara gagap gempita. Bahkan di tengah fenomena menjamurnya jurnalisasi di Perguruan Tinggi Indonesia, Qadafy belum menemukan kontribusi yang signifikan bagi kajian ini.

Sehingga kaitannya dalam perebutan wacana itu, sudah menjadi langkah yang benar jika Qadafy, melalui artikelnya, mencoba untuk mendoktrin mahasiswanya di kelas. Khususnya, untuk lebih dekat dengan warisan khazanah keIslaman ini dengan mengenalkan Walid Saleh sebagai salah satu sosok pionir dalam bidang studi tafsir sekaligus sarjana besar yang tetap eksis menghasilkan pemikiran-pemikiran segar dalam risetnya mengenai manuskrip al-Quran dan tafsir abad pertengahan sampai sekarang melalui tulisannya dalam bentuk artikel ataupun buku mulai dari tahun 2004 hingga 2022.

Adapun pemikiran Walid Saleh dalam tulisan Qadafy yang dianggap penting terhadap kajian tafsir abad pertengahan setidaknya menyinggung dua poin besar, yaitu tafsir sebagai tradisi genealogis dan dikotomi tafsir yang cenderung baru dan berbeda.

Tafsir sebagai Tradisi Genealogis

Dalam tulisannya tentang Tsa’labi, Saleh mulai mengenalkan pertama kali istilah tafsir sebagai tradisi genealogis. Artinya, munculnya kitab tafsir pada periode tertentu pasti dipengaruhi oleh materi-materi penafsiran yang telah ada pada periode sebelumnya. Dengan demikian dalam membaca sejarah penafsiran pada suatu periode, seorang peneliti tidak bisa menggantungkan kajiannya hanya pada satu produk kitab tafsir saja dengan menyampingkan adanya kemungkinan hubungan dialektis yang tercipta di sana.

Misal dalam tafsir milik Tabari yang digadang-gadang sebagai maestro tafsir ensiklopedis Sunni karena – menurut Mehmet Akif Koc dalam “Studium Generale on al-Tabari, Revisited” – mampu memotret seluruh riwayat otoritatif pada masanya ternyata tidak memasukan materi tafsir Maturidi agar tidak mengurangi reputasi karyanya. Setidaknya itulah salah satu dari sekian banyak ‘sisi menyenangkan’ yang ingin Qadafy pantik melalui tulisan ini. Bagaimana di tengah dugaan produk tafsir yang selalu terlihat sangat repetitif itu sebenarnya menyimpan di sana proses yang kompleks dari seorang mufassir yang patut untuk ditelusuri lebih jauh.

Sebab pada waktu yang sama, ketika seorang mufassir dihadapkan dengan beragam materi tafsir di sekelilingnya, ia juga berhak untuk memilih dan mengolahnya. Lebih lanjut, Qadafy juga menyinggung dalam hal ini bahwa Saleh turut menggarisbawahi adanya tokoh penting yang berbeda dalam tradisi tafsir yang genealogis itu melalui kutipan-kutipan riwayat yang tergambarkan dalam materi tafsir. Selain itu cara pandang Saleh, menurut Qadafy, memungkinkan kita melihat produk tafsir abad pertengahan secara istimewa dan inovatif.

Klasifikasi Kitab Tafsir yang Problematis

Pada bagian berikutnya, keresahan Saleh yang dipotret dalam tulisan ini adalah bagaimana pembagian dikotomi tafsir ke dalam dua kategori, bil ma’tsur dan bil ma’na, itu minim muatan- analitis di dalamnya karena hanya berdasarkan pemilahan mana yang bersandar pada periwayatan dan lebih dapat diandalkan dari kategori satunya yang bersandar pada pendapat pribadi.

Lebih lanjut, walaupun batasan dua kategori ini sebenarnya tidak jelas karena di satu sisi misalnya, aspek rasionalitas tetap digunakan dalam kategori tafsir bil ma’tsur untuk menentukan periwayatan mana yang cocok dan sesuai, dua kategori ini setidaknya secara ideologis dapat membantu para peneliti dan pemerhati kajian tafsir dalam melihat kitab tafsir sunni yang mainstream ala bil ma’tsur dan kitab tafsir sunni yang menyimpang.

Selain itu, Saleh juga mengkritik pembagian kitab tafsir yang disodorkan oleh Goldziher dan Wansbrough karena gagal menggambarkan apa sejatinya yang dilakukan oleh mufassir terhadap banyaknya materi tafsir di sekelilingnya. Kemudian, daripada menggunakan ketiga klasifikasi tersebut yang dinilai masih problematis, Saleh di sisi lain mencoba untuk memberikan cara pandang alternatif terhadap kitab tafsir kepada kita berdasarkan persinggungannya dengan materi tafsir yang membentuk tiga kategori kitab tafsir, yaitu kitab tafsir ensiklopedis, madrasah, dan hasyiyah.

Di mana dua kategori pertama merupakan bentuk atau model primer sedangkan kategori yang terakhir adalah sekundernya. Dari tiga model itu, pembagian kitab tafsir ensiklopedik dan madrasahlah yang disinggung lebih jauh pada bagian berikutnya dalam tulisan ini.

Klasifikasi Saleh: Tafsir Ensiklopedis dan Madrasah

Menurut Saleh, agar kitab tafsir dapat masuk dalam kategori ensiklopedik itu setidaknya harus menerapkan doktrin ijma di dalamnya, bukan hanya tafsir yang terdiri dari beragam banyak jilid saja. Adapun ijma di sini sebenarnya mengarah pada usaha penyusunan kitab tafsir yang mampu menyatukan perbedaan penafsiran dan mampu menggambarkannya sebagai produk kelompok sunni karena sikap inklusivitasnya.

Sederhananya, model ini berusaha menginventarisir (baca: mengumpulkan) beragam macam penafsiran ke dalam satu produk kitab tafsir (including things). Dalam hal ini, dua nama besar mufassir besar abad pertengahan muncul. Tabari dengan karyanya Jami’ al-Bayan hadir sebagai pionir pertama sedangkan Tsa’labi dengan karyanya al-Kasyf wa al-Bayan hadir sebagai pembaharu genre kitab ini.

Adapun, model tafsir madrasah adalah ringkasan dari tafsir ensiklopedik atau kitab tafsir yang berusaha merangkum, menghilangkan, menjelaskan, dan menggarisbawahi serta menonjolkan salah satu ragam penafsiran tertentu yang disebutkan sebelumnya dalam tafsir ensiklopedik. bisa jadi menguatkan atau melemahkan tafsir tersebut. Sehingga, tambah Saleh, setiap tafsir ensiklopedik pasti memiliki tafsir madrasahnya.

Adapun analogi sederhananya sebagai perumpamaan, tafsir ensklopedik digunakan sebagai referensi yang disimpan di perpus sedangkan tafsir madrasah digunakan sebagai textbook yang dajarkan di madrasah-madrasah. Selain itu, motif penulisan model tafsir madrasah itu tidak keluar dari motif organisasional (penataan penulisan kitab) dan doktrinal (penguatan salah satu ideologis tertentu).

Maka, dapat dikesimpulkan bahwa dari sini jelas Qadafy sangat ingin merekonstruksi bangunan kajian tafsir di Indonesia itu dengan dua insight luar biasa dari Walid Saleh. Adapun yang pertama, tafsir sebagai tradisi genealogis itu dimaksudkan agar cara pandang kita terhadap produk tafsir abad pertengahan yang repetitif itu menjadi suatu hal yang menarik dengan menumbuhkan kesadaran para pemerhati kajian tafsir untuk melihat inovasi yang dilakukan mufassir abad pertengahan dalam mengolah dan memperlakukan materi tafsir yang ada di sekelilingnya.

Berikutnya, insight yang kedua adalah klasifikasi tafsir ensiklopedik dan madrasah yang keduanya lebih terasa muatan analitisnya, menurut Saleh, ketimbang klasifikasi bil ma’tsur dan bil ma’na yang penuh dengan tujuan idelogis ke-sunni-an.