Pendahuluan
Salah satu isu kontekstual terkait radikalisme dalam perkembangan masa kini, yaitu cyber terrorism, yang menjunjung tinggi sikap propaganda di dunia maya. Cyber terorrism yaitu bentuk kejahatan baru dan diidentifikasikan sebagai serangan terhadap infrastruktur nasional pada warga sipil beserta pegawai pemerintahan dengan menggunakan teknologi komputer.
Cyber terrorism ini dianggap sebagai lemparan yang menyalahi hukum pada koneksi jaringan warta sebagaimana terinstal dengan tujuan mengintimidasi rakyat maupun pemerintahnya. Serangan tersebut menghasilkan aksi kriminal terhadap individu, kelompok atau properti pemerintah, yang berujung menimbulkan marak bahaya dan ketakutan (Dewi, dkk, 2022: 187).
Terdapat empat alasan terkait munculnya radikalisme. Pertama, alasan personal bahwa radikalisme bisa berkembang karena urusan ideologi maupun kebutuhan finansial. Kedua, adanya propaganda politik yang menarik. Ketiga, alasan religius yang kuat sehingga terlibat dalam lingkaran radikalisme. Keempat, ketidakpercayaan terhadap sistem politik dan demokrasi (Tahir, dkk, 2020: 80).
Untuk kasus radikalisme di Indonesia, akan penulis analisa terkait fenomenanya. Dengan moderasi beragama dalam Al-Qur’an, penulis menjadikannya sebagai narasi solutif yang relevan dalam mengahadapi paham radikalisme di Indonesia. Maka, mengetahui penjelasan moderasi beragama sebagai narasi solutif menghadapi radikalisme di Indonesia, merupakan tujuan tulisan ini.
Fenomena Radikalisme di Indonesia
Imbuhan “-isme” dalam kata “radikal” merujuk pada makna ideologi. Karenanya, radikalisme mempunyai makna paham radikal. Kata radikal sendiri adalah serapan dari bahasa Latin, yaitu radix yang berarti akar. Dalam bahasa Inggris, radikal bermakna ekstrim, revolusioner, dan fundamental. Maka, radikalisme adalah praktik dari penganut paham ekstrim (Taskarina, 2018: 22).
Secara fenomenal, radikalisme di Indonesia menurut analisis Greg Barton, terjadi pada kisaran tahun 1950. Gerakan radikalisme ini ditandai dengan munculnya Darul Islam (DI/TII). Pada tahun 1962, pemerintah dapat mematahkan gerakan (DI/TII). Tetapi, simpatisasi gerakan ini sudah menyebar di sebagian kalangan umat Islam di Indonesia (Kahfi, 2022: 28).
Setelah Darul Islam (DI/TII), muncul Komando Jihad (Komji) pada tahun 1976 yang melakukan aksi peledakkan tempat ibadah. Pada tahun 1977, Front Pembebasan Muslim Indonesia melakukan hal yang sama. Diwarnai juga tindakan teror oleh Pola Perjuangan Revolusioner Islam pada tahun 1978. Gerakan radikal lainnya bertebaran di beberapa wilayah seperti Poso, Ambon, dan sebagainya (Asrori, 2015: 256).
Dalam konteks Internasional, politik ganda Amerika Serikat (AS) dan sekutunya menjadi pemicu dari berkembangnya radikalisme Islam. Hal ini semakin menguat setelah terjadinya tragedi WTC pada tahun 2001. AS dan sekutunya bukan hanya menghukum tertuduh pemboman WTC, tetapi melakukan aksi perampasan terorisme juga yang melebar ke banyak negara (Nuraida, 2015: 156).
Kenyataan gerakan radikalisme di Indonesia mengingatkan pada teori democracy trap atau jebakan demokrasi. Dengan maksud, bahwa rezim demokrasi telah dimanfaatkan sedemikian rupa oleh kelompok-kelompok radikal untuk menjalankan dan menggerakkan aksinya guna merebut politik kekuasaan pada ujung pergerakannya (Hilmy, 2015: 415).
Moderasi Beragama dalam Al-Qur’an
Kata moderasi, berasal dari bahasa Latin moderatio, artinya ke-sedang-an (tidak kelebihan ataupun kekurangan). Kata moderasi ini juga memiliki makna penguasaan diri (dari sikap sangat berlebihan maupun kekurangan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata moderasi mempunyai dua arti, yakni pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman (Bahasa, 2008: 1035).
Istilah moderasi di dalam Al-Qur’an, disebutkan dengan kata wasath beserta derivasinya. Penggunaan kata wasath dalam Al-Qur’an ini meski dalam konteks yang berbeda, semuanya berkonotasi positif. Kata wasath, umumnya berarti posisi menengah antara dua hal yang saling berlawanan. Dapat juga dimaknai sebagai segala sesuatu yang terpuji sesuai dengan objeknya. (Shihab, 2007: 1070).
Dengan penjelasan tersebut, konsep moderasi beragama termaktub pada QS. al-Baqarah [2]: 143. Berikut ayatnya:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah Swt dan ia tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguh Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia” (QS. al-Baqarah [2]: 143).
Kata wasathan pada ayat di atas, dipakai untuk menyatakan sikap terpuji secara eksistensial. Karena, setiap sifat darinya merupakan titik tengah antara dua ujung, yaitu kelewat batas dan kelalaian. Jadi, sifat yang paling utama itu berada di tengahnya. Maka, kata wasathan di sini adalah orang yang berperangai baik dan mampu menggabungkan antara ilmu dan amal (Al-Zuhayli, 2013: 271).
Oleh karena itu, konsep moderasi beragama adalah mengimplementasikan ajaran agama secara universal berdasarkan pemaknaannya sekaligus penerapannya. Kemudian, pada QS. al-Baqarah [2]: 143, bersikap fleksibel menjadi sandaran terpenting sebagai perilaku untuk mengembangkan pola revitalisasi tentang keadilan dan keseimbangan, tanpa merugikan sekelumit pun di antaranya.
Solusi Radikalisme di Indonesia Perspektif Moderasi Beragama
Moderasi beragama dalam Al-Qur’an, menjelma sebagai narasi solutif mengahadapi radikalisme di Indonesia. Sehingga, secara analisis, terdapat tiga indikator dalam konsep moderasi beragama pada QS. al-Baqarah [2]: 143, sebagaimana dengan perspektif ini dapat menjadi narasi solutif menghadapi radikalisme di Indonesia.
Pertama, Menjiwai sikap toleransi. Toleransi adalah menghormati perbedaan, baik dari aspek kehidupan agama, bangsa, suku, dan sebagainya (Hidayat, 2022: 50). Tidak sekedar mengakui sebuah perbedaan, indikator toleransi dalam konsep moderasi beragama di sini dimaksudkan sebagai produk kultural warisan manusia akibat interaksi antar individu secara esensial.
Alasan paham radikalisme sulit diterima masyarakat khalayak, sebab telah terbukti banyak memunculkan ketegangan hingga akhirnya mudah menyerap nilai-nilai ketidakrukunan. Sementara, menjiwai sikap toleransi sebagai wujud yang diwariskan manusia, interaksi antar sesama di dalamnya lebih dinilai berkaitan dengan hasrat setiap individu seketika membicarakan tentang perdamaian sosial.
Kedua, penerimaan terhadap tradisi secara adil. Adil sebagaimana dijadikan alat dalam menerima sebuah tradisi, lebih berarti tentang memegang kesetiaan hukum yang berlaku dan diimplementasikan secara akal sehat dan mutlak. Dengan ideologi radikalisme di Indonesia dalam domestik politik internasional yang dinilai telah memojokkan kehidupan sosial umat Islam, penerimaan terhadap tradisi secara adil menjadi penting.
Selain mempersoalkan ketidakadaannya sinergi yang diungkapkan secara mutlak, peranan adil menerima suatu tradisi adalah sikap aplikatif setiap individu sebagaimana lebih optimal dalam bepegang teguh kepada kebaikan dan dikenal oleh zaman tanpa beprinsip atas ketidakadilan. Sehingga, ketika membicarakan kasus radikalisme, sudah tentu hal demikian bertentangan berdasarkan akal sehat.
Ketiga, memiliki komitmen kebangsaan. Orientasi gerakan dan pemikiran radikalisme yang memiliki cita-cita untuk mendirikan sistem negara sebagaimana berseberangan pada prinsip negara Indonesia, hal demikian tentunya tidak sesuai dengan kesepakatan bersama terkait makna hakiki komitmen kebangsaan. Untuk itu, pemahaman komitmen keagamaan dan kebangsaan, dua entitas yang harus diletakkan sekaligus dijunjung tinggi ke dalam aspek keseimbangan (Muhtarom, dkk, 2020: 49).
Komitmen kebangsaan adalah janji yang dipatriotkan pada diri sendiri, atau kepada bangsa dan negara yang diwujudkan dalam setiap tindakan individu. Dengan demikian, seketika memiliki komitmen kebangsaan, maka dapat disimpulkan terkait sistemnya dalam membangun sikap-sikap yang memosisikan diri menengah di antara dua hal berlawanan. Lebih tepatnya, mampu memberi keputusan yang benar di antara sesama manusia.
Demikian tadi tiga indikator dalam konsep moderasi beragama pada QS. al-Baqarah [2]: 143 sebagaimana merupakan narasi utama dalam memberi solusi terhadap paham radikalisme di Indonesia. Tentu saja, semua ini membicarakan terkait kesulitan secara sistem dalam menerima nilai-nilai yang terkandung sedemikian rupa perihal budaya ekstrimistik.
Leave a Reply