Isu Gender dalam Konstelasi Tafsir di Indonesia

Isu tentang gender dan feminisme selalu menarik untuk dikaji karena diskursus mengenai gender dan feminisme belum mencapai titik finalnya bahkan melebar melintasi berbagai bidang (baca: interdisipliner). Salah satu diskursus yang vital dan mendasar dalam isu gender dan feminisme adalah objektivikasi perempuan. Objektivikasi sebenarnya berasal dari sistem sosial dimana pria cenderung lebih maskulin dan superior dari wanita. Kecenderungan sosial yang demikian membentuk narasi kelemahan wanita dan membuat mereka pada akhirnya mengalami objektivikasi  (A.Basow, 1986)

Gagasan objektivikasi perempuan seringkali menjadi isu sensitif yang melandasi kurang baiknya hubungan antara aktivis feminism dengan otoritas keagamaan Islam. Menurut mereka dalam naskah-naskah Islam (al-Qur’an dan Sunnah) perempuan senantiasa di objektivikasi dalam berbagai bentuk.

Bacaan Lainnya

Upaya para aktivis feminisme dari kalangan Islam lebih banyak terfokus pada usaha mempromosikan pemaknaan dan pemahaman baru yang lebih akodomatif terhadap kepentingan, kebebasan, dan kesetaraan perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Mereka berusaha memasukkan nilai-nilai egalitarian dan memaksa pemakanaan ulang yang lebih kontekstual dalam memandang teks-teks Islam dan sekaligus memproklamirkan konfrontasinya melawan cara pandang tekstualis para ulama konservatif. (Junaidi dan Abdul, 2010: 251)

Dalam setting yang demikian dapat dilihat bahwa perjuangan pembebasan gender seringkali berdialektika dengan perkembangan paham keagamaan Islam. Indonesia sebagai negara yang kuat serta kaya ragam pemahaman keagamaannya menjadi medan yang menantang bagi perkembangan narasi-narasi pembebasan gender. Oleh karena itu menjadi menarik untuk mengkaji bagaimana narasi isu-isu gender berkembang dalam pemahaman keagamaan Islam yang beragam lewat karya tafsir otoritatif di Indonesia.

Konstelasi Paham Keislaman di Indonesia

Keragaman wajah Islam di Indonesia dihasilkan pertemuan budaya lokal masyarakat dengan dua pengaruh asing yakni modernitas Barat dan reformasi Islam global. Ketika kolonial berhasil menguasai nusantara sepenuhnya, maka membentuk kelompok intelektual yang memandang bahwa kemajuan modernitas Barat diilhami oleh masa kejayaan emas Islam di era pertengahan dan oleh karena itu hendaknya diadopsi oleh umat Islam.

Di sisi yang lain muncul kelompok yang melihat kemajuan reformasi Islam global dengan semangat puritanistiknya dalam mengentas masyarakat dari kejumudan dan mistisisme. Konfrontasi modernisme Barat dan reformasi Islam global dengan kebudayaan nusantara melahirkan reformasi-reformasi Islam khususnya di Jawa yang merupa dalam beberapa wajah reformasi seperti: Islam Puritanis; Islam Liberal, Islam Mistik Sufistik, dan lainnya. (Ricklefs, 2012: 124)

Dinamikan Perjuangan Gender di Indonesia

Pada tahun terakhir abad ke-20 muncul kelompok Islam radikal yang menyerukan pemberlakuan syariat Islam disertai konsekuensi untuk membatasi peran perempuan dalam publik. Pada saat yang sama muncul beberapa Non Government Organization (NGO) yang mengadvokasi isu-isu gender.

Perjuangan para aktivis perempuan di Indonesia meliputi usaha untuk mengoreksi bias gender dalam teks-teks yang diajarkan dalam pesantren-pesantren tradisional, perkawinan, dan hukum waris; untuk menjawab isu kekerasan terhadap perempuan; memperluas pemahaman mengenai hak reproduksi perempuan; meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik dan kepemimpinan. (Burhanuddin dan Fathurrahman, 2004:152). Dalam perjuangan hukum positif para aktivis juga aktif dalam mengadvokasi dan mengevaluasi hukum-hukum positif di Indonesia yang dianggap bias jender seperti Perda Syari’ah dan RUU Anti Pornografi. (White dan Maria, 2012: 142)

Ayat-ayat Objektivikatif terhadap Perempuan dalam Konstelasi Tafsir di Indonesia

Konstelasi ragam wajah Islam di Indonesia tersebut dapat juga dilacak dari karya-karya tafsir otoritatif dan kredibel yang ditulis oleh para ulama Indonesia dan dianggap mewakili beberapa wajah Islam yang variatif di Indonesia. Dalam bagian ini akan diuraikan bagaimana narasi isu gender dihadirkan dalam beberapa tafsir karya ulama Indonesia. Adapun tafsir yang akan diuraikan adalah tafsir al-Azhar karya Buya Hamka, Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, dan tafsir al-Furqan karya A.Hassan. Ayat yang diambil untuk dianalisa penafsirannya adalah Q.S an-Nisa ayat 34 karena secara tekstual menghadirkan makna kekuatan lelaki di atas perempuan dan sekilas nampak objektivikatif terhadap perempuan.

Objektivikasi Perempuan dalam Tafsir Al-Furqan

Ahmad Hassan adalah ulama keturunan Arab yang terafiliasi dalam gerakan reformatif Islam puritan di Indonesia dengan agenda ijtihad melawan kejumudan, tajdid agama, serta memerangi praktik takhayyul, bidah dan khurafat di Indonesia. (Ahmad, 1994) Dalam kitab tafsirnya yang berjudul al-Furqan, Ahmad Hassan menafsirkan Q.S an-Nisa ayat 34 sebagai berikut:

“Laki-laki itu adalah pengurus atas perempuan-perempuan, lantaran Allah telah lebihkan sebahagian dari mereka atas sebahagian” dalam penggalan ini A. Hassan memberikan terjemahan yang menarik yakni mengartikan kata qawwamuna dengan kata pengurus. Ia menjelaskan bahwa laki-laki menjadi pengurus atas perempuan karena mereka dilebihkan oleh Allah dalam beberapa hal seperti dalam kekuatan, keberanian, keteguhan hati, ketetapan dan lain sebagainya. (Hassan, 1956, p. 163)

Perempuan yang taat ialah yang memelihara perkara tersembunyi seperti kehormatannya, kehormatan suaminya, rahasia suami dan keluarganya, rahasia rumah tangganya dengan cara-cara yang diajarkan oleh Allah. Kemudian A. Hassan menafsirkan “hendaklah kamu pukul mereka (perempuan) adalah dengan pukulan yang diizinkan yakni pukulan yang ringan dengan tujuan untuk menunjukkan kekuasaan suami atas istrinya saja. (A.Hassan, 1956: 164)

Objektivikasi Perempuan dalam Tafsir Al-Azhar

Buya Hamka dalam tafsirnyamenjelaskan bahwasanya ayat ini merupakan pangkal dan jawaban dari segala persoalan mengenai superiortias laki-laki dalam relasi gender. Jawabannya terdapat dalam satu frasa kunci yakni lelaki sebagai pemimpin atas perempuan dan dianggap mampu mengendalikannya. Hamka dalam tafsirnya tidak menekankan bahwa lelaki sebagai pemimpin atas wanita adalah qodrat dan perintah Allah melainkan dilandasi kenyataan yang terjadi dalam struktur sosial. Adapun jika datang perintah wanita untuk memimpin laki-laki maka tidak akan sesuai dengan kenyataan. (Hamka, 2015:1995)

Bahkan dalam mahluk hidup seperti hewan, naluri kepemimpinan ditunjukkan oleh hewan jantan. Laki-laki itu dilebihkan atas para wanita dalam tenaga, kecerdasan dan demikian pula dengan tanggung jawab. Menurut Hamka naluri kepemimpinan laki-laki bersifat laten baik dalam rumah tangga primitif hingga rumah tangga modern. Semisal terjadi perampokan rumah maka suami beserta anak-anak laki-laki yang dewasalah yang akan mempertahankan harta dan istri serta anak-anak kecil akan disuruh untuk bersembunyi. (Hamka, 2015:1996)

Mengenai perintah memukul dalam ayat ini dibatasi oleh Hamka hanya untuk golongan istri yang telah layak untuk itu dan dalam kondisi yang sangat terpaksa. Adapun memukul istri tidak boleh hingga melukainya baik wajah maupun badannya dan tidak memukulinya seperti para budak. Dan dalam suatu hadits Rasulullah juga mengatakan bahwa ‘orang-orang baik diantara kalian, niscaya tidak akan memukul perempuan’. (Hamka, 2015:1998)

Bagi Perempuan-perempuan yang taat maka hendaklah para lelaki tidak mencari pasal-pasal dan tetaplah menghormati sosok istri. Hamka menegaskan bahwa jika terdapat suatu problem dalam rumah tangga hendaknya tidak selalu menyalahkan istri. Meskipun Allah telah memberikan kelebihan bagi laki-laki atas perempuan tidak serta pemberian tersebut melegitimasi laki-laki untuk berlaku aniyaya, sombong, sewenang-wenang dan kasar terhadap perempuan. Dan Rasulullah dalam khutbahnya yang terakhir ketika haji Wadda’ juga berpesan bahwa perempuan adalah teman hidup sejati dan beliau merasa takut jika para umatnya akan mensia-siakan wanita. (Hamka, 2015:1200)

Objektivikasi Perempuan dalam Tafsir Al-Misbah

Kepemimpinan menurut Quraish Shihab adalah hal yang niscaya dalam setiap kondisi. Pertimbangan penetapan laki-laki sebagai pemimpin adalah karena keistimewaan-keistimewaan yang telah diberikan Allah lebih menunjang tugas-tugas kepemimpinan. Para perempuan sendiri juga memiliki keistimewaannya dalam memberikan rasa damai dan tenang kepada laki-laki dan mendukung fungsinya sebagai pendamping pemimpin. (Quraish Shihab, 2002: 512)

Selain itu Quraish Shihab juga menarasikan kelebihan karakteristik psikologis laki-laki yang cenderung cocok untuk sikap seorang pemimpin seperti berkepala dingin, perasaan yang lebih konsisten berbeda dengan perempuan yang lebih menekankan perasaan dan rasa cinta keluarga. Meskipun demikian superioritas laki-laki dalam memimpin tidak serta merta menunjukkan kelemahan wanita melainkan keduanya memiliki keistimewaan yang saling dibutuhkan untuk membentuk suatu kepemimpinan yang ideal. Bahkan menurut pakar hukum Islam ibn Hazm ia berpendapat bahwa wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suaminya dan justru sang suamilah yang berkewajiban melayani istri dalam urusan domestik(Quraish Shihah, 2002: 514)

Dikarenakan keistimewaan fisik dan psikologis seorang lelaki sebagai pemimpin dan perempuan sebagai pendampingnya yang dipimpin maka sudah menjadi konsekuensi logis bahwa suami memiliki hak yang harus dipenuhi oleh istri dan istri haruslah taat pada suami dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama dan juga hak pribadi istri.

Perihal perintah memukul istri yang nusyuz maka ia mengutip ulama yang menekenkan perintah pemukulan tidaklah ditujukan kepada para suami melainkan kepada para pemimpin maka tiada kebolehan bagi para suami untuk memukul istrinya. Ia juga mengutip pendapat ibn Asyur yang menyatakan bahwa pemerintah yang mendapati para lelaki memukul istri secara tidak tepat maka dapat menghapus pemberlakuan hukum tersebut dan memberikan sanksi bagi suami yang memukul istrinya. (Quraish Shihab, 2002: 520)

Penutup

Isu gender di Indonesia mengalami dinamika yang pelik dimana perjuangan para aktivis feminisme dalam menyuarakan hak-hak perempuan berkonfrontasi secara langsung dengan budaya patriarki warisan kolonial yang masih kental dan juga pemahaman-pemanaham keagamaan yang dinilai cenderung konservatif. Dalam konstelasi tafsir di Indonesia ditemukan dua kecenderungan pandangan terhadap isu gender. Di satu sisi ada penafsiran yang cenderung konservatif dan di sisi lain ada upaya memunculkan narasi-narasi kesetaraan gender dalam pembahasan-pembahasan tafsir tersebut.

Jika diproyeksikan kedepan maka trend narasi kesetaraan gender yang semakin gencar dalam studi-studi tafsir dapat menjadi kabar gembira dan jalan terang bagi perjuangan ideologis para aktivis pejuang kesetaraan gender karena telah mendapati legitimasi keagamaannya. Meskipun demikian, menarik kiranya mengingat pendapat Mark Twain yang berpendapat bahwa sejarah tidak saja bergerak lurus melainkan bergerak mengikuti rima-rima historis.

Pandangan konservatif dan pandangan liberatif mengenai kesetaraan gender adalah dua kekuatan dan poros sosial utama yang senantiasa berkonstestasi. Meskipun trend narasi kesetaraan gender menunjukkan arah positif bagi pandangan liberatif, tidak menutup kemungkinan bahwa perubahan masyarakat yang cepat terlebih diakselerasi oleh teknologi informasi lantas kemudian berbalik dengan dramatis dan mengangkat pandangan konservatif ke atas permukaan kontestasi dan mendominasi kembali sebagaimana yang telah terjadi pada era-era sebelumnya. (Ricklefs, 2012:121)

Oleh karena itu para aktivis pembela perempuan hendaknya mempertahankan dan meningkatkan partisipasi mereka dalam pemenuhan ruang publik dengan wacana-wacana kesejahteraan perempuan sehingga dapat meneruskan trend positif yang telah dibangun oleh para aktivis sebelumnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *