Hermeneutika sebagai studi tentang teori dan metode penafsiran telah mengalami perkembangan signifikan di tangan para cendikiawan Muslim kontemporer. Mereka telah memberikan kontribusi yang berharga dalam memperkaya pemahaman agama, terutama dalam interpretasi teks kitab suci Al-Qur’an. Usaha tersebut juga merupakan bagian penting dari upaya menjaga relevansi dan aplikabilitas Al-Qur’an dalam konteks masa kini.
Para sarjana Muslim seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, dan Nasr Hamid Abu Zayd memperkenalkan pendekatan hermeneutika modern dalam membaca dan menafsirkan Al-Qur’an. Mereka mengintegrasikan metode-metode hermeneutika kontemporer, seperti analisis historis-kritis, linguistik, dan berbagai pendekatan lainnya. Salah satu sarjana muslim lainnya yang berkontribusi dalam kajian hermeneutik adalah Mohammad Mojtahed Shabestari.
Shabestari lahir pada tahun 1936 Masehi. Dia adalah seorang cendekiawan Muslim, filsuf, dan penulis asal Iran yang dikenal karena kontribusinya dalam bidang hermeneutika dan studi Al-Qur’an (Khosropanah & Ghomi: 2021, 100). Salah satu karyanya yang terkenal adalah Hermenutik, Kitab wa Sunnat [Hermeneutics, the Book and Tradition], diterbitkan oleh Tarh-e Naw pada tahun 1996 Masehi.
Karya Shabestari tersebut menggabungkan pemikiran filsafat dan teologi untuk memperdalam pemahaman tentang metode dan prinsip-prinsip penafsiran Al-Qur’an. Buku ini memberikan pandangan yang komprehensif tentang hermeneutika dalam konteks pemikiran Islam, mengungkapkan hubungan antara teks suci, tradisi interpretasi, dan konteks sosial-historis.
Ia mengakui bahwa Al-Qur’an tidak dapat dipahami secara terisolasi, melainkan harus ditempatkan dalam konteks sejarah, budaya, dan lingkungan sosial yang melingkupinya (Abdurrohim: 2015, 49). Shabestari menyoroti pentingnya memahami tradisi interpretasi dan konteks pemikiran dalam Islam untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang pesan-pesan Al-Qur’an.
Selain itu, Shabestari juga menekankan perlunya mengintegrasikan pemikiran filsafat dan teologi dalam penafsiran Al-Qur’an. Dengan memadukan disiplin ilmu ini, ia merangkul pemahaman rasional dan spiritual dalam memahami makna Al-Qur’an. Ia menyoroti pentingnya refleksi filosofis dan kontemplasi teologis dalam menggali makna mendalam dari kitab suci.
Melalui pendekatan ini, Shabestari ingin memperluas cara pandang tradisional terhadap tafsir Al-Qur’an yang cenderung terfokus pada aspek keagamaan dan hukum, dengan menambahkan dimensi filsafat yang lebih luas. Pemikiran filsafat dapat membantu dalam mengeksplorasi aspek-aspek abstrak dan konseptual dalam Al-Qur’an, seperti eksistensi Tuhan, tujuan hidup manusia, etika, dan logika.
Ia mendorong para pembaca untuk menggunakan akal sehat dan pemikiran kritis dalam memahami ajaran-ajaran Al-Qur’an, sembari tetap mempertimbangkan dimensi spiritual dan transendental yang terkandung di dalamnya. Ia percaya bahwa Islam mendorong umatnya untuk berpikir secara aktif, mempertanyakan, dan mencari pemahaman yang lebih mendalam.
Dengan menggabungkan berbagai disiplin ilmu dan mempertimbangkan konteks sosial-historis serta tradisi interpretasi, Shabestari berusaha untuk memberikan pandangan yang lebih komprehensif dan mendalam tentang hermeneutika Al-Qur’an (Camelleri & Varlik: 2022, 131). Pendekatan ini dapat memperluas wawasan tentang bagaimana Al-Qur’an dapat memberikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari dan tetap relevan dalam konteks zaman modern.
Maka, salah satu konsep yang dikembangkannya adalah hermeneutika intersubjektif. Intersubjektif adalah pendekatan hermeneutika yang menekankan pentingnya interaksi dan dialog antara subjek-subjek yang terlibat dalam proses penafsiran dan pemahaman (Suha Taji Farouki, 2004, 193). Konsep ini berfokus pada pemahaman yang terbentuk melalui pertukaran perspektif, pengalaman, dan pengetahuan antara pembaca, penafsir, dan komunitas pembaca lainnya.
Dalam hermeneutika intersubjektif, interpretasi tidak hanya terbatas pada individu yang sedang melakukan penafsiran, tetapi juga melibatkan dimensi relasional dan dialogis antara penafsir dan komunitas atau pembaca lainnya. Menurutnya, hermeneutika intersubjektif melibatkan dua dimensi penting, yaitu: dimensi horizontal dan dimensi vertikal.
Pertama, dimensi horizontal yang mencakup komunikasi dan dialog antara pembaca Al-Qur’an. Dalam dimensi ini, berbagai perspektif dan pengalaman dipertukarkan untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang teks kitab suci. Pertukaran pemikiran dan dialog horizontal dalam hermeneutika intersubjektif memungkinkan penafsir dan pembaca Al-Qur’an untuk saling belajar dan melengkapi pemahaman mereka.
Konsep ini menekankan bahwa pemahaman yang mendalam dan autentik terhadap teks suci atau konteks tertentu dapat tercapai melalui dialog dan interaksi antara penafsir dengan komunitas atau pembaca lainnya. Hermeneutika intersubjektif dapat memberikan landasan untuk mengembangkan pemahaman yang lebih kaya dan holistik tentang Al-Qur’an melalui kolaborasi dan dialog antara cendekiawan, ulama, dan masyarakat Muslim secara luas.
Melalui interaksi dan dialog, pemahaman yang lebih kaya dan holistik tentang Al-Qur’an dapat tercapai karena pemahaman individu dapat disempurnakan, diperluas, dan dikoreksi melalui pertukaran pemikiran dengan komunitas atau pembaca lainnya. Hal ini memungkinkan untuk melibatkan konteks budaya, historis, dan sosial yang lebih luas dalam interpretasi Al-Qur’an, sehingga memberikan pemahaman yang lebih relevan dan terhubung dengan realitas kehidupan manusia saat ini.
Pada masa Sahabat Nabi Muhammad SAW, walaupun istilah “hermeneutika intersubjektif” tidak digunakan secara eksplisit, konsep interaksi dan pendekatan intersubjektif dalam penafsiran Al-Qur’an dapat ditemukan dalam praktik mereka. Misalnya, dalam memahami Al-Qur’an, mereka sering kali berinteraksi secara langsung dengan Nabi Muhammad SAW, bertanya tentang makna dan aplikasi dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Selain itu, para Sahabat Nabi juga saling berinteraksi dan berdiskusi satu sama lain mengenai pemahaman Al-Qur’an. Sahabat Nabi seperti Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan Umar bin Khattab sering kali berdiskusi dan berdebat untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam. Mereka tidak hanya mengandalkan pemahaman individual, tetapi mencoba untuk memperoleh kebenaran dengan melibatkan perspektif-perspektif yang berbeda.
Misalnya, suatu ketika Umar bin Khattab bertanya kepada sahabat lainnya tentang maksud dari QS. Al-Baqarah ayat 266.
“Apakah salah seorang di antara kamu ingin memiliki kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, di sana dia memiliki segala macam buah-buahan. Kemudian, datanglah masa tua, sedangkan dia memiliki keturunan yang masih kecil-kecil. Lalu, kebun itu ditiup angin kencang yang mengandung api sehingga terbakar. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan(-nya).”
Ibnu Abbas menjawab pertanyaan Umar bin Khattab dengan mengatakan, bahwa ayat tersebut merupakan suatu ungkapan menyangkut amal perbuatan. Lalu Umar bertanya, amal apa yang dimaksud? Ibnu Abbas menjawab yaitu pentingnya mensyukuri karunia Allah. Ayat ini adalah untuk mengingatkan umat manusia agar tidak mengkhianati nikmat dan karunia Allah dengan berlaku munafik atau menempatkan diri dalam keadaan yang merugikan (Ibnu al-Qayyim, 1989, 165).
Dalam konteks ini, Umar bin Khattab ingin mendapatkan sudut pandang dan pemahaman Sahabat lainnya tentang makna dari ayat tersebut. Melalui diskusi semacam ini, Sahabat Nabi saling berbagi pendapat, berargumentasi, dan memberikan pemahaman mereka masing-masing. Mereka berusaha untuk mencapai pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam tentang pesan yang terkandung dalam ayat tersebut.
Kedua, dimensi vertikal yang melibatkan hubungan antara pembaca dan teks (Camelleri & Varlik, 2022, 132). Shabestari mengemukakan bahwa pembaca tidak hanya menerima makna yang ada dalam teks, tetapi juga memberikan kontribusi kreatif mereka dalam proses interpretasi. Melalui interaksi ini, pemahaman Al-Qur’an menjadi lebih kontekstual, terkait dengan realitas sosial, budaya, dan historis pembaca.
Dalam Islam, Al-Qur’an dianggap sebagai wahyu ilahi yang memiliki dimensi multidimensional dan memiliki nilai dan makna yang mendalam. Namun, pemahaman akan makna yang sebenarnya dari teks suci ini dapat bervariasi tergantung pada perspektif, konteks, dan penafsir yang terlibat. Dalam hal ini, hermeneutika intersubjektif mengakui pentingnya dialog dan interaksi antara penafsir dan teks dalam proses interpretasi.
Sebenarnya konsep interaksi dan dialog antara pembaca dan teks juga dapat ditemukan dalam praktik penafsiran Al-Qur’an oleh ulama klasik, seperti Imam al-Thabari, Ibn Katsir, al-Razi, dan lainnya. Mereka mempelajari Al-Qur’an secara holistik dan mencari keterkaitan dan konsistensi antara ayat-ayat, serta memperhatikan pola yang muncul di dalamnya. Mereka juga menyelidiki berbagai konteks sejarah, budaya, dan bahasa dibalik ayat-ayat Al-Qur’an.
Misalnya, al-Thabari dalam tafsirnya “Jami al-Bayan fi Ta’wili al-Qur’an” menggunakan pendekatan komprehensif dalam penafsiran Al-Qur’an. Ia menyelidiki berbagai aspek teks, termasuk bahasa, tata bahasa, struktur kalimat, dan retorika Al-Qur’an. Ia juga memberikan perhatian khusus pada konteks sejarah dan budaya dalam penafsirannya. Hal ini membantu dalam memahami makna ayat secara lebih tepat berdasarkan konteks historis dan sosial saat itu.
Adapun aplikasi hermeneutika intersubjektif yang dilakukan oleh ulama tafsir kontemporer antara lain ialah Tafsir al-Mizan karya Sayyid Muhammad Husayn Thabathabai. Dalam tafsir ini, Thabathabai menggunakan pendekatan hermeneutika intersubjektif dengan memadukan metode filosofis dan teologis. Ia menggabungkan pengetahuan dan pemahaman filsafat Islam, teologi Syiah, dan bahasa Arab dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hermeneutika Intersubjektif yang diterapkan oleh Mohamad Mojtahed Shabestari memiliki relevansi yang signifikan terhadap interpretasi Al-Qur’an. Pendekatan ini memperkaya pemahaman terhadap teks kitab suci dan memungkinkan adanya interpretasi yang lebih komprehensif, serta mengakui keberagaman pemahaman dalam tradisi tafsir Al-Qur’an. Dengan demikian, interpretasi terhadap Al-Qur’an akan lebih dinamis dan mampu menjawab tantangan di setiap zamannya (shalihun li kulli zamanin wa makanin).
Referensi
Abdurrohim, “Ta’wil dan Hermeneutika: Sebuah Perbandingan”, Jurnal Pustaka: Media Kajian dan Pemikiran Islam, Vol. 2 No. 2, Tahun 2015, 44-52.
Camilleri, Sylvain, Selami Varlik, Philosophical Hermeneutics and Islamic Thought, Switzerland: Springer International Publishing, 2022.
Farouki, Suha Taji. Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an, London: Oxford University Press, 2004.
Khosropanah, Abdolhosein, Mohammad Ghomi. “A Critique of Mohammad Mojtahed Shabestari’s Interpretive Viewpoint.” Philosophy of Religion, Vol. 18, No. 1, (2021), 98-121.
Al-Qayyim, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Karim li Ibni al-Qayyim. Beirut: Dar Maktabah al-Hilal, 1989.