Hans-Georg Gadamer: Pengalaman Hermeneutis, Kesepahaman, dan Bildung

Dalam hermeneutik filosofis, Gadamer menawarkan dua konsep dasar yang populer, yaitu; konsep sejarah pengaruh (wirkungsgeschichte) dan konsep peleburan horizon-horizon (horizontverschmelzung). Kedua konsep ini menggambarkan bahwa hermeneutik bukan sekadar cara untuk memahami, melainkan juga sebuah pengalaman dialog dengan yang lain dalam keberlainannya.

Gadamer menganalogikan pengalaman dialog ini seperti interaksi yang terjadi antara “aku-engkau”. Dalam berdialog mereka tidak sekadar mempelajari apa yang dijumpainya, melainkan juga mempelajari pengalaman perjumpaan itu sendiri. Pengalaman yang dimaksud adalah suatu perjumpaan dengan tradisi yang kemudian dikenal dengan istilah pengalaman hermeneutis (hermeneutische erfahrung).

Bacaan Lainnya

Pengalaman Hermeneutis

Menurut Gadamer, pengalaman hermeneutis sangat memperhatikan sebuah tradisi, dimana tradisi yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang dialami seseorang. Namun, bukan berarti bahwa tradisi hanya sebatas pengalaman yang mengajari seseorang untuk mengetahui atau bertindak; tradisi adalah bahasa yang mengungkapkan dirinya sebagai suatu engkau. Engkau disini bukanlah objek, melainkan sesuatu yang menghubungkan dirinya dengan yang lain (Sofyan A.P. Kau, 2014: 14).

Hubungan seseorang dengan tradisi tidak bisa disamakan dengan hubungan seseorang dengan objek-objek. Hal ini dikarenakan ia sendiri sudah termasuk di dalam tradisi tertentu. Masa silam hadir sebagai yang lain dalam keberlainannya dan seorang penafsir hadir membiarkan yang lain berbicara sebagai suatu engkau yang berhubungan dengan penafsir itu sendiri (F. Budi Hardiman, 2015: 191).

Singkatnya, tradisi sebagai suatu engkau adalah membiarkan tradisi berbicara dan mengatakan sesuatu, sehingga penafsir tidak hanya memproyeksikan makna sesuai diri penafsir sendiri. Tradisi dan masa silam adalah yang lain yang berhubungan dengan seseorang sebagai penafsir dan hanya dengan sifat terbuka ia dapat menerima yang lain dengan keberlainannya.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengalaman hermeneutis merupakan sebuah tegangan antara keakraban dan keasingan yang berlangsung antara aku dan engkau. Suatu perjumpaan dalam pengertian peleburan horizon-horizon tidak menghisap aku dan engkau dalam kekitaan, melainkan membiarkan ruang antara keduanya. Ruang antara itu tak lain daripada keterbukaan untuk “mengalami sang engkau sungguh-sungguh sebagai engkau yaitu tidak mengabaikan klaimnya namun membiarkannya sungguh-sungguh berkata sesuatu kepada kita” (F. Budi Hardiman, 2015: 192).

Kesepahaman

Gadamer berpendapat bahwa memahami tidak selalu berarti mengatasi keasingan, karena seseorang selalu bergerak di dalam pemahaman (Atik Lestari, et. al, 2023: 1). Memahami (Verstehen) berarti saling memahami (sichverstehen) atau kesepahaman (einverständnis). Adapun istilah untuk wilayah pemahaman tersebut, Gadamer menyebutnya sebagai “horizon” seperti dalam teori Fenomena Husserl (F. Budi Hardiman, Jurnal ‘Ulumul Qur`an, 2015: 7).

Memahami terjadi bila ada peleburan horizon penafsir dan horizon tradisi. Peleburan itu adalah suatu bentuk kesepahaman yang di dalamnya sudut pandang subjektif surut ke belakang, sehingga terbangun suatu pemahaman baru. Ini merupakan kritik Gadamer atas hermeneutik romantik, yang mana konsep memahami didasarkan atas kemampuan seseorang dalam memproduksi kembali makna yang dimaksud penulis.

Padahal, menurutnya, memahami itu tidak terjadi ketika seorang pembaca menangkap hal yang sama seperti yang dimengerti pengarang, melainkan mensyaratkan adanya keberlainan antara pembaca dan penulis, dan lebih luas lagi antara aku dan engkau dalam dialog.

Memahami suatu engkau dalam keberlainan merupakan sesuatu yang tidak kunjung selesai, dikarenakan horizon-horizon terus bergerak dan manusia sebagai makhluk linguistis adalah suatu misteri (F. Budi Hardiman, 2015: 193). Misteri tidak dapat diselesaikan, kecuali hanya menyingkap makna yang tidak pernah selesai dan keterbatasan pemahaman penafsir.

Bagi Gadamer, momen terpenting dari hermeneutik adalah ketika seseorang menyadari dan mengetahui bahwa orang lain berpikir berbeda darinya. Kesepahaman dalam arti peleburan horizon-horizon bukanlah meremehkan atau mengabaikan perbedaan. Kesepahaman yang dihasilkan dari peleburan horizon-horizon merupakan bentuk penghormatan terhadap keberadaan pihak lain dalam keberlainannya. Dalam arti ini kesepahaman tidak melenyapkan aku-engkau melainkan menjaganya.

Bildung

            Bildung merupakan suatu usaha dalam rangka mencapai kualitas manusia ke dalam tingkatan yang lebih tinggi. Dengan kata lain manusia dalam mencapai harkat dan martabatnya harus melalui proses penggemblengan diri dengan mengembangkan semua potensi yang ada padanya. Dalam proses penggemblengan ini, manusia terlepas dari kungkungan suatu lembaga tertentu yang mengikatnya sehingga ia dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan atau bakat alamnya (Hans-Georg Gadamer, 2004: 13-22).

Berikut adalah contoh sederhana untuk memahami makna bildung. Seseorang yang menghabiskan hidupnya dengan melahap berbagai ilmu pengetahuan, seperti teologi, filsafat, sejarah, dan sebagainya, ia akan dikatakan sebagai seorang yang terpelajar. Hal ini bukan hanya karena ia mengetahui berbagai informasi dan fakta, tetapi karena wawasannya yang luas itu telah membentuk kepribadiannya. Orang tersebut tidak hanya belajar hal-hal yang ada di luar dirinya, melainkan juga mempelajari dirinya sendiri.

Kegiatan pembelajaran seperti itulah yang telah menjadikannya sebagai seorang yang terpelajar. Tidak menutup kemungkinan bagi dirinya untuk lupa terhadap beberapa informasi, namun ada sesuatu yang tetap tinggal dalam kepribadiannya, yaitu pembentukan dan perubahan dirinya lewat proses belajar itu.

Dari gambaran di atas, dapat dijelaskan bahwa bildung merupakan hasil proses formatif dan transformatif yang diperoleh dari belajar. Begitupun juga dengan hermeneutik Gadamer, ia tidak mengejar pengumpulan fakta atau informasi tentang tradisi. Yang menjadi perhatiannya adalah apa yang terbangun dari upaya pencarian pengetahuan itu.

Seorang penafsir berpengalaman yang telah banyak bergelut dengan tradisi-tradisi beserta kemampuan intelektualnya merupakan pribadi yang telah mengalami formasi dan transformasi. Sehingga ia tidak lagi cenderung memaksakan sikap-sikap objektif dan reflektifnya, melainkan bersikap terbuka. Jika seperti itu, boleh dikatakan bahwa dia memiliki bildung.

Disini, Gadamer sampai pada pendirian bahwa hermeneutik bukan sekadar metode, melainkan pengalaman perjumpaan dengan yang lain yaitu dengan tradisi sebagai sang engkau, dalam suatu tegangan dialektis antara keakraban dan keasingan. Hasil pengalaman hermeneutis ini, yakni keterbukaan kepada keberlainan dari yang lain dalam tradisi adalah bildung.

Daftar Pustaka

Gadamer, Hans-Georg. Kebenaran dan Metode, diterjemahkan oleh Ahmad Sahida. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 13-22.

Hardiman, F. Budi. “Ilmu-ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pasca Modernisme,” dalam Jurnal ‘Ulumul Qur`an, Vol. 2 No. 12 April, 2015.

——-. Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015.

Kau, Sofyan A.P., “Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya dengan Tafsir,” dalam Jurnal Farabi, Vol. 11 No. 1 Juni Tahun 2014.

Lestari, Atik, Azif Mu’thon, et al. Agama dalam Kerangkeng Kuasa Kata. Jakarta: PTIQ Press, 2023.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *