Paradigma Eko-Teologi Masyarakat: Upaya Rekonstruksi Etika Lingkungan Berbasis Al-Qur’an

Fenomena kerusakan lingkungan yang sering terjadi di bumi, tidak lepas dari akibat manusia modern yang beranggapan bahwa lingkungan adalah realitas diri mereka sendiri, dan memisahkannya dari lingkungan ilahiah. Sehingga rekonstruksi etika lingkungan berbasis spriritualitas agama menjadi terobosan penting dalam hal pelestarian lingkungan. Landasan religiusitas mengambil peranan penting dalam menyentuh lini kehidupan manusia beragama.  

            Menurut Celia Deane-Drummond, eko-teologi adalah suatu usaha untuk menemukan relasi dasar pemahaman teologi antara Allah, manusia, dan kosmos/alam semesta (Drummond, 2008). Eksploitasi alam dengan penebangan hutan secara liar dan tidak bertanggung jawab, mengabaikan eksistensi binatang-binatang dan tumbuhan akan menimbulkan bahaya besar bagi keseimbangan ekologi dan nantinya akan membunuh manusia secara cepat atau lambat. Kebencian Allah terhadap kerusakan bumi diungkap dalam surah Al-Baqarah ayat 205

Bacaan Lainnya

وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَ اللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

“Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 205)

            Dalam teori biologi evolusioner ditemukan bahwa terjadi kekerabatan antara manusia dengan seluruh makhluk hidup. Sehingga teori ini membantu menumbuhkan kesadaran bagi manusia agar lebih menghargai makhluk lain yang memiliki asal-usul sejarah kosmik yang sama.

Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan manusia yang tidak memiliki kesadaran untuk menghargai makhluk lain dan tidak memiliki kesadaran menjaga keseimbangan ekosistem? Disinilah etika lingkungan dibutuhkan, yakni untuk merekonstruksi kesadaran manusia terhadap alam semesta.

Biologi evolusioner diperjelas dalam QS. An-Nur [24]: 45 yang berbunyi:

وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَىٰ بَطْنِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَىٰ رِجْلَيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَىٰ أَرْبَعٍ ۚ يَخْلُقُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perut dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagia (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat ini menjelaskan bahwasannya Allah menciptakan berbagai jenis makhluk dalam bentuk, rupa, warna dan gerak-gerik yang berbeda-beda, akan tetapi memiliki satu unsur yang sama, yaitu air. Hewan yang berjalan di atas perut di contohkan dengan ular, berkaki dua di contohkan dengan burung dan manusia, serta yang berjalan dengan empat kaki seperti hewan-hewan ternak dan lain sebagainya.   

Paradigma eko-teologi masyarakat memuat dalam tiga konsep pokok, yaitu konsep teologi lingkungan, konsep hubungan antara Tuhan dengan lingkungan, konsep hubungan antara manusia dengan lingkungan (Abidin & Muhammad, 2020: 16). Konsep teologi lingkungan mencakup wilayah yang bersifat praksis, yakni melihat bagaimana relasi antara lingkungan dengan Tuhan, di mana lingkungan disini bukan hanya bersifat bio-fisik, akan tetapi juga mencakup manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang ikut serta di dalamnya.

Prinsip dasar teologi Islam yang bisa dijadikan pijakan dalam memperbaiki etika lingkungan adalah dengan memahami ke-Esa-an Tuhan serta ciptaan-Nya (Tauhid) dan dihubungkan dengan doktrin lingkungan yang positif, memahami teks-teks Al-Qur’an dan mentadabburi alam semesta, serta mampu menjadi khalifah di muka bumi dengan cara memegang tanggung jawab atas kelestarian alam dan menjaga keseimbangan kehidupan di bumi.

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah tidak bisa melepaskan konsep hubungan dengan pencipta dalam kehidupan maupun dengan lingkungan. Penciptaan alam semesta tidak dapat dihindarkan dari tujuan Allah menciptakannya. Beberapa tujuan alam semesta diciptakan terdapat dalam Al-Qur’an diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia (QS. Al-Baqarah [2]: 29); sebagai rahmat dari Allah (QS. Al-Jasiyah [45]: 13); menyempurnakan nikmat dan ujian bagi semua manusia (QS. Hud [11]:7); tanda kekuasaan Allah bagi yang berakal (QS. Ali Imran [3]: 190)(Iswanto, 2013: 9).

Hubungan manusia dengan alam dapat dipahami dengan tugas yang Allah embankan kepada manusia di muka bumi ini, yakni sebagai khalifah fil-ard. Tugas manusia adalah memanfaatkan alam semesta sebagai fasilitas untuk berbuat kebaikan-kebaikan dalam rangka beribadah kepada sang pencipta. Allah sebagai makrokosmos (alam besar) dan manusia sebagai mikrokosmos (alam kecil) memilki keterikatan dalam bentuk spiritualitas.

Berangkat dari status dan tugas manusia sebagai khalifah, maka seyogyanya manusia harus mampu menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dalam kesehariannya. Ketika terjadi kerusakan lingkungan penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah akibat dari keserakahan dan ketidak tahuan manusia dalam menjaga etika dengan alam semesta.

Prinsip etika lingkungan menurut buku Tafsir Pelestarian Lingkungan Hidup setidaknya mencakup beberapa hal: Pertama, manusia harus memiliki nalar ibrah.

قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ ۚ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ

“Katakanlah: Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan Allah.” (QS. Ar-Rum [30]: 42)

Dalam tafsir al-Munir, ayat ini memberikan informasi kepada seluruh umat manusia bahwa kehancuran dan kebinasaan disebabkan karena ingkar terhadap nikmat-nikmat Allah dan akibat dari perbuatan fasik yang dilakukannya.

Salah satu contoh bentuk kerusakan yang mengakibatkan banyak bencana klimatologis adalah seperti global warming terjadi akibat peningkatan temperatur global akibat efek rumah kaca yang meningkatkan emisi gas karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFF sehingga energi matahari terjebak dalam atmosfer bumi (Triana, 2008). Tindakan destruktif yang diakibatkan oleh manusia sehingga berdampak pada ekosistem bumi perlu dihentikan, agar kerusakan lingkungan dimuka bumi tidak berkelanjutan.

Kedua, menghindari sikap bermewah-mewahan (Itraf). Dalam memperlakukan alam tidak bisa secara berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. Al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat 16 telah mewanti-wanti manusia agar menghindari sikap bermewah-mewahan  (Mun’im, 2022).

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra’ [17]: 16)

Menurut Tim Lajnah Pentashihan Al-Qur’an, maksud dari “kehidupan mewah” adalah kebiasaan hidup yang hedonis dan berlebih-lebihan. Seseorang yang memiliki gaya hidup seperti itu akan berdampak pada kebinasaan manusia karena keserakahannya, bukan hanya dalam lingkup memanfaatkan hartanya akan tetapi juga pada pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan untuk kepentingan pribadi.

          Ketiga, menjaga kebersihan. Islam menyukai kebersihan dan keindahan. Jika ditelaah lebih jauh tentang kebersihan, maka dalam Al-Qur’an dan hadits banyak teks yang mengarahkan manusia kepada fikih kebersian. Menjaga keseimbangan ekosistem dapat membawakan kemaslahatan pada seluruh makhluk bumi. Kehidupan manusia, tumbuh-tumbuhan dan binatang serta unsur-unsur alam lainnya patut dihormati dan dijaga kelestariannya.

Referensi

Abidin, A. Z., & Muhammad, F. (2020). TAFSIR EKOLOGIS DAN PROBLEMATIKA LINGKUNGAN (Studi Komparatif Penafsiran Mujiyono Abdillah dan Mudhofir Abdullah Terhadap Ayat-Ayat Tentang Lingkungan). Qof, 4(1), 1–18. https://doi.org/10.30762/qof.v4i1

Drummond, C. D. (2008). Eco-Theology (1st ed.). Saint Mary’s Press.

Iswanto, A. (2013). Relasi Manusia dengan Lingkungan dalam Al-Qur’an Upaya Membangun Eco-Theology. Jurnal Suhuf, 6(1), 9.

Mun’im, Z. (2022). Etika Lingkungan Biosentris dalam Al-Quran: Analisis Tafsir Pelestarian Lingkungan Hidup Karya Kementerian Agama. Jurnal Suhuf, 15(1), 197–218.

Triana Vivi. (2008). Pemanasan Global. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 2(2), 36. 10.24893/jkma.2.2.159-163.2008

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *