Tafsir isyārī merupakan istilah yang menggambarkan sebuah produk tafsir yang dihasilkan melalui usaha menjelaskan makna al-Qur’an disertai dengan penakwilan sesuai dengan isyarat yang tersirat di balik yang tersurat, dengan tidak melenceng dari makna zahir ayat (al-Zahabī, 1976, 352). Subjek yang bisa melakukan usaha penafsiran yang bercorak isyārī ini bukanlah orang sembarangan, karena hasil dari penafsiran tersebut merupakan anugerah khusus yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang pilihan dengan mekanisme tajallī, musyāhadah, serta emanasi (Baharuddin, 2022, 95).
Ulama tafsir dalam melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an setidaknya terbagi menjadi lima kelompok, yaitu 1) kelompok yang fokus pada penafsiran al-Qur’an secara zahirnya saja; 2) kelompok yang mengutamakan penafsiran secara zahir, tetapi juga kadang mencantumkan penafsiran isyārī; 3) kelompok yang fokus pada penafsiran isyāri, namun terkadang mencantumkan pula penafsiran secara zahir; 4) kelompok yang fokus pada penafsiran isyārī, tanpa menyinggung sedikitpun penafsiran secara zahir; 5) kelompok yang mengenyampingkan sama sekali penafsiran zahir, dan lebih berfokus pada mengkompromikan al-Taṣawwuf al-Isyārī dan al-Taṣawwuf al-Naẓarī (al-Zahabī, 1976, 379) dan tafsir Ruḥ al-Ma’ānī yang dikarang oleh al-Alūsī condong pada kategori yang kedua.
Meskipun tafsir ini identik dengan corak isyārī, namun tafsir ini tidak bisa lepas dari motif kepentingan yang bercokol di dalamnya. Sebelum menggali lebih jauh motif kepentingan yang bercokol pada pembuatan tafsir ini, terlebih dahulu biografi serta contoh corak penafsiran isyārī dalam tafsir Ruḥ al-Ma’ānī akan diuraikan.
Mengenal Al-Alūsī
Nama lengkap dari al-Alūsi adalah Abū al-Ṡanā’ Syihāb al-Din al-Sayyid Afandi al-Alūsī al-Bagdādī. Ia lahir pada tanggal 18 Sya’ban 1217 H\1802 M (al-Zirqilī, 1989, 176). Ayahnya merupakan seorang ulama yang bernama ‘Abdullah Afandī dan ibunya bernama Fāṭimah, al-Alūsī memiliki dua orang saudara yaitu ‘Abd al-Ḥamīd, dan ‘Abd al-Raḥmān dan dikaruniai lima orang anak yaitu; Bahā al-Dīn, Abd al-Baqī Sa’ad al-Dīn, Nu’mān Khair al-Dīn, Muḥammad ‘Ākif, dan Ahmad Syākir (Muḥsin ‘Abd al-Ḥamid, 1968, 41).
Sepanjang karir intelektualnya, al-Alūsī banyak menimba ilmu pengetahuan kepada guru-guru yang berintegritas dan memiliki kapabilitas yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Selain berguru kepada ayahnya, al-Alūsī juga berguru pada Muḥammad ibn Aḥmad al-Ḥāfiẓ, Darwisy ibn ‘Arab al-Ḥaḍarī, ‘Abd al-‘Azīz al-Syawwāf, al-Sayyid Muḥammad, Yaḥyā al-Muzurī. ‘Alī ibn Sa’īd Abdullāh al-Suwaidī, ‘Alā al-Dīn ‘Alī Afandi al-Mauṣūlī, Ibrāḥim al-Barzanjī, Aḥmad al-Zind, Muḥammad As’ad al-Ḥaiḍarī, Abd Fattāḥ al-Rāwī, Muḥammad Sa’īd al-Ṭabaqjalī, ‘Abd al-Gani al-Jamīl (‘Abbās al-‘Azzawī, 1954, 13-15), Khālid al-Naqsabandiyah, ‘Abdullah Afandi al-‘Umrī, ‘Abd al-Raḥmān al-Kuzbirī, ‘Abd al-Laṭīf ibn ‘Abdullāh al-Mufti, al-‘Allāmah Aḥmad ‘A̅ rif Ḥikmat, al-Malā Ḥusain al-Jabūri, dan ‘Alī ibn al-Sayyid Aḥmad (Muḥsin ‘Abd al-Ḥamid, 1968, 58-59).
Dengan kemapanan ilmu yang dimilikinya, al-Alūsī lalu menuangkannya ke dalam berbagai karya karyanya yaitu; Rūḥ al-Ma’ānī Fi Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm wa al-Sab’u al-Maṡānī, Nasywah al-Syumūl fī al-Safar ilā Istambūl, Nasywah al-Madām fī al-‘Audah ilā Dār al-Salām, Al-Kharīdah al-Gaibiyyah fī Syarḥ al-Qaṣīdah al-‘Ainiyyah, Kasyf al-Ṭurrah ‘an al-Gurrah, Al-Ajwibah al-‘Irāqiyyah ‘an As’ilah al-I̅rāniyyah, Al-Nafakhāt al-Qudsiyyah fī al-Radd ‘alā al-Imāmiyyah, Al-Fayḍ al-Wārid ‘alā Rauḍ Murṡiyyah Maulānā Khālid, dan masih banyak karya yang lainnya (Muḥsin ‘Abd al-Ḥamid, 1968, 117).
Al-‘Alūsī lalu meninggal dunia pada hari jumat tanggal 25 Ẓulqaidah 1270 H/1854 M akibat terkena demam dalam perjalanan pulang dari Istambul ke Bagdad (‘Abbās al-‘Azzawī, 1954, 53).
Corak Penafsiran Isyārī dalam Tafsir Ruḥ al-Ma’ānī
Dari enam ribu dua ratus tiga puluh lima ayat al-Qur’an, corak penafsiran isyārī yang dapat ditemukan dalam tafsir Ruḥ al-Ma’ānī adalah seribu delapan puluh ayat yang tersebar pada empat puluh delapan surah yang terdapat dalam al-Qur’an. Salah satu contoh corak penafsiran isyārī nya adalah ketika ia menafsirkan Qs. al-Baqarah: 238 dengan menyatakan bahwa sesungguhnya shalat lima waktu adalah: Pertama. Shalat sir dengan menyaksikan maqām gaib, Kedua. Shalat nafs dengan memadamkan hal-hal yang dapat mengundang keragu-raguan, Ketiga. Shalat qalb dengan menantikan munculnya cahaya kasyf, Keempat. Shalat rūh dengan menyaksikan wasl (penyatuan dengan Allah), Kelima. Shalat dengan cara memelihara panca indera dan menegakkan ketentuan-ketentuan hukum Allah, sedangkan yang dimaksud dengan shalat al-Wustā pada ayat tersebut adalah shalat qalb, yang syaratnya harus suci dari kecenderungan-kecenderungan kepada selain Allah. (Alūsī, t.th, 136).
Penafsiran al-Alūsi terhadap shalat lima waktu sangat kontras yang selama ini dipahami dalam terminologi fiqh, hal ini dikarenakan al-Alūsī menekankan pada aspek isyārī dari shalat tersebut sehingga istilah-istilah yang digunakan sarat akan ajaran tasawwuf.
Motif Kepentingan Penulisan Tafsir Rūḥ al-Ma’ānī
Al-Alūsī dalam muqaddimah tafsirnya menceritakan mimpinya yang menjadi alasan untuk menulis tafsirnya, ia bermimpi pada suatu malam Jumat di bulan Rajab 1252 H, seakan akan mendapat petunjuk dari Allah agar mempertemukan langit dengan bumi, lalu tangannya yang sebelah diangkat ke atas, sementara tangannya yang lain diturunkan ke arah bawah. Lalu ia mencoba mencari arti dari mimpinya dan akhirnya diketahui bahwa mimpi tersebut adalah isyarat agar ia menulis kitab tafsir. Pada tanggal 16 Sya’ban tahun itu juga ia pun memulai menulis tafsirnya dan saat itu ia berusia tiga puluh empat tahun (Alūsī, t.th, 4).
Selain motif yang sarat dengan sufistik tersebut, sebenarnya ada kepentingan politis dalam penulisan tafsir Rūh al-Ma’āni ini. Pada awal karir intelektualnya, al-Alūsī banyak memiliki ijazah dari beberapa gurunya, ia lalu mulai mengajar dan memberikan ceramah di madrasah dan masjid. Bahkan ia ditempatkan sebagai pengajar di Saltanat-ı Dar-ı Aliyye sebuah institusi pendidikan bergengsi Ottoman, ia juga menjadi Qaḍī mazhab Ḥanafī di Baghdad. Namun di tengah karir yang gemilang tersebut, ia dipecat pada tahun 1263 H/ 1847 M karena terdapat rumor yang mengatakan dirinya adalah seorang Wahabī (Bilal Gokkir, Necmettin Golkir, 2017, 9).
Mengapa embel-embel Wahabi sangat sensitif pada saat itu? Karena label Wahhabisme menurut kekaisaran Ottoman pada waktu itu dipandang sebagai gerakan pemberontakan terhadap kedaulatan kekhalifahan Uṡmaniyah, sehingga dengan dituduhnya al-Alūsī sebagai seorang Wahabi maka mengidentikkan dirinya sebagai pemberontak rezim sementara ia masih menjalankan tugasnya sebagai mufti Baghdad (Bilal Gokkir, Necmettin Golkir, 2017, 11).
Namun tuduhannya sebagai pemberontak rezim, adalah tuduhan yang kurang berdasar, sebab al-Alūsī bahkan mengarang sebuah karya al-Burhān fi iṭā’āh al-Sultān yang berisi tentang argumen-argumen yang mendukung legitimasi khilafah Uṡmaniyah dan harusnya semua umat Islam taat kepada sultan, bahkan dalam karyanya yang lain Sefredu al-Zad li Sefred al-Jihad ia mengatakan bahwa jihad adalah fardu kifayah bagi umat Muslim untuk melawan musuh-musuh, ditambah lagi ia mengarang kitab al-Nafakhat al-Qudsiyye fi Raddi ala al-Imamiyye yang berisi tentang bantahan-bantahan terhadap Syi’ah yang notabennya pada saat itu menjadi musuh politik khilafah Uṡmāniyah (Bilal Gokkir, Necmettin Golkir, 2017, 12).
Lantas mengapa al-Alūsī dituduh sebagai Wahabi? Dalam kitab Anba’ al-Abna bi Aṭyāb al-Anba al-Alusi menasihati anak-anaknya untuk menaga akidah salafi dan menjauhi bid’ah (kedua hal ini sangat identik dengan Wahabi), dalam menyusun karyanya al-Alūsī juga banyak menyebutkan dan merujuk pada Ibn Taymiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyah, dan Ibn Qudamah (dan ketiga ulama ini juga sering dijadikan rujukan oleh Wahabi) sehingga indikasi inilah yang digunakan oleh para pesaingnya untuk menuduhnya sebagai Wahabi (Bilal Gokkir, Necmettin Golkir, 2017, 10).
Namun sebagai seorang pengikut ajaran sufi, ia juga memiliki pemikiran salafi dalam arti luas, karena tarekat Naqsabandiyah yang dianutnya memiliki semacam karakter salafi, salah satu ajarannya adalah syariat Islam adalah yang utama, seorang sufi yang memiliki karamah tidak ada artinya kecuali jika ia taat mengikuti perintah dari al-Qur’an dan sunnah. Selain itu al-Alūsī juga cenderung menolak praktek berziarah ke kuburan (yang sangat identik dengan Wahabi), namun bukan berarti kesamaan beberapa pandangannya dengan Wahabi membuatnya ingin memberonta pada rezim Khilafah Uṡmānīyah (Bilal Gokkir, Necmettin Golkir, 2017, 10).
Pandangan al-Alūsī yang seperti ini membuat gubernur baru Baghdad saat itu yaitu Najib Pasha “gagal paham” dan menuduhnya sebagai Wahabi. Tuduhan ini mengakibatkan dipecatnya al-Alūsī dari posisinya sebagai mufti dan tentunya membuat ia kehilangan sumber pendapatan, akhirnya ia merasa perlu berkunjung ke Istambul untuk membela diri dan menjelaskan kebenaran rumor yang beredar tentang dirinya (sebagai Wahabi) sambil menyelesaikan tafsirnya (Bilal Gokkir, Necmettin Golkir, 2017, 13).
Dalam sebuah surat, Mehmet Vehbi melaporkan bahwa tafsir yang ditulis oleh al-Alūsī telah rampung sembilan jilid, dan penulisnya ingin berangkat ke Istambul untuk mempresentasekannya, dalam surat ini tidak disebutkan rumor tentang kasus al-Alūsī, bahkan ia disebut dengan penuh hormat mevâlîi kirâm ve ulemâ-yı a‘lâmdan sâbık-ı Bağdad Hanefî Müftüsü (mantan mufti Hanafi dari Baghdad, Sufi cendekiawan yang sangat penting).
Ketika al-Alūsī tiba di istambul, ia pun segera bertemu dengan Syekh al-Islam Ahmed Arif Hikmet dan mempersembahkan karya tafsirnya, Syekh al-Islam Ahmed Arif Hikmet pun kagum atas kedalaman pengetahuan al-Alūsī dalam bidang tafsir, lalu ia menyarankan agar al-Alūsi bertemu dengan wazir sultan yaitu Rashid Pasha untuk mengajukan banding atas keadaannya (yang tertuduh sebagai Wahabi). Rashid Pasha pun terpengaruh dengan pengetahuan dan kerendahan hati al-Alūsī sehingga ia membebaskan al-Alūsī dari segala tuntutan dan tuduhan, bahkan al-Alūsī diberikan hadiah lima puluh ribu qurush, dan ia diberi jabatan sebagai mufti daerah Erzurum (Bilal Gokkir, Necmettin Golkir, 2017, 14-17).
Dari dinamika perjalanan al-Alūsī ini kita bisa melihat bahwa tafsir Rūḥ al-Ma’ānī yang ia tulis cenderung sarat akan motif kepentingan untuk mengokohkan identitasnya sebagai sufi-salafi namun tidak memberontak kepada pemerintah. Proyek tafsir yang ia kerjakan terbukti mampu membuatnya terbebas dari tuduhan Wahabi dan bahkan memperoleh kembali jabatan mufti. Hal ini semakin memperkuat aspek historisitas tafsir, dalam artian meskipun sebuah tafsir itu bercorak isyāri atau sufistik yang orientasinya erat dengan aspek kedekatan dengan Tuhan, namun sebagai sebuah teks ia tetap tidak bisa lepas dari kepentingan sang penyusunnya.
Refrensi
‘Abbās al-‘Azzawī, Zikrā Abī al-Sanā al-Ālūsī, (Baghdad: Maṭba’ah al-Ṣāliḥiyyah, 1954)
Baharuddin HS, Menembus Dimensi Esoterik Al-Qur’an, (Makassar: Wadata, 2022)
Bilal Gokkir dan Necmettin Gokkir, “Sufi or Salafi? Alusi’s Struggle For His Reputation Against Ottoman Bureaucracy With His Tafsir, Ruh al-Ma’ani”, Usul Islam Arastirmalari, 27, 2017
Maḥmūd Syihāb al-Dīn Abū al-Sanā al-Alūsī, Rūḥ al-Ma’ānī fi Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm wa al-Sab’ al-Maṡānī, (Beirut: Dār Iḥyā al-Turāṡ al-‘Arabī, t.th)
Muḥammad Ḥusain al-Zahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jilid II, (t.tp., tp., 1976)
Muḥsin ‘Abd al-Ḥamid, al-Alūsī Mufassiran, (Baghdad: Maṭba’ah al-Ma’ārif, 1968)