Menggugat Patriarki: Rekontruksi Konsep Kesejajaran Gender Perspektif Al-Qur’an

Adu argumen mengenai kedudukan perempuan dalam gender masih menjadi isu hangat yang diperbincangkan di tengah masyarakat Indonesia saat ini. Masyarakat Indonesia yang masih dipengaruhi sisa-sisa feodalisme membentuk hubungan yang bersifat hierarkis antara laki-laki dan perempuan. Hubungan tersebut membawa laki-laki berada pada kedudukan yang dominan, sementara perempuan berada pada posisi subordinat. Akibatnya, perempuan seringkali merasa dirugikan. (Suryana 2001, 118)

Kerugian yang dirasakan perempuan akibat hubungan tersebut juga ditambah oleh berbagai macam aturan kultural yang mengikat di masyarakat. Aturan kultural tersebut seolah mempersempit wilayah gerak dan kebebasan perempuan dalam menentukan pilihannya, baik itu ranah publik maupun domestik. Aturan-aturan yang muncul di atas dikenal dengan istilah patriarki. Dalam patriarki, membentuk perspektif bahwa perempuan sebagai subordinat di bawah laki-laki. (Sari dan Hayati 2023, 118) Padahal, Islam tidak pernah mengunggulkan jenis kelamin yang satu maupun menindas yang lain. Akan tetapi, beberapa realitas di ataslah yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat. Bahkan sebagian dari mereka beranggapan bahwa budaya patriarki itu didukung oleh agama. Mereka berpendapat, patriarki itu adalah produk agama yang bersifat final, yang tidak bisa gugat maupun dikritisi.

Bacaan Lainnya

Lalu muncul pertanyaan, apakah benar patriarki merupakan produk agama? Inilah yang akan diuraikan dalam penelitian ini.

Konsep Patriarki

Pada awalnya, patriarki merujuk pada tatanan keluarga yang dominan oleh pria, di mana terdapat sebuah rumah tangga besar yang dipimpin oleh seorang pria yang memiliki pengaruh yang kuat atas kaum perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak, dan pelayan rumah tangga yang semuanya berada di bawah kendali pria tersebut. Saat ini, penggunaan istilah ini telah meluas untuk menggambarkan dominasi laki-laki dalam berbagai aspek, serta sistem yang menjaga perempuan tetap berada dalam kendali melalui berbagai mekanisme. (Bhasin 1996, 1)

Jadi, dapat dikatakan bahwa patriarki merupakan sebuah sistem yang berkembang di masyarakat yang aturannya cenderung memberikan kesempatan yang lebih besar kepada laki-laki untuk mendominasi. Dominasi laki-laki tersebut terjadi hampir pada semua bidang dalam kehidupan. Akan tetapi, batasan yang dibahas dalam tulisan ini ialah mengenai subordinasi perempuan dalam hal kemanusiaan (insâniah), yaitu relasi antara laki-laki dan perempuan dalam berkarya dan mengemban tugas sebagai khalifah.

Al-Qur’an Menggugat Patriarki

Perempuan seharusnya sadar akan realitas yang menimpa mereka seperti diurai di atas. Shalah Qazan pun mengingatkan bahwa seorang muslimah harus memahami program-program makar terhadapnya. Program makar seperti yang terdapat dalam patriarki, tentu berseberangan dengan prinsip ajaran dan tujuan Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, Islam datang menawarkan konsep yang mengedepankan nilai demokratis yang melibatkan peran antara laki-laki dan perempuan. (Qazan 2021, 149)

Konsep serupa diutarakan Nasaruddin Umar dengan membawa gagasan tentang ummah. Sebuah konsepsi universal yang menggabungkan berbagai ikatan primordial ke dalam semangat kesetaraan dan peluang yang merata bagi semua individu untuk tumbuh dan berkembang, tak terbatas pada batasan-batasan geografis atau kelompok tertentu. (Umar 2014, 19)

Kesempatan untuk meningkatkan potensi dan kompetensi diri yang dapat dirasakan dengan sama baik oleh laki-laki maupun perempuan, menarik jika dikaitkan dengan patriarki yang seolah menempatkan perempuan di urutan kelas dua. Padahal, dalam Al-Qur’an tidak ditemukan hal demikian. Setiap manusia, dalam urusan kemanusiaan, baik laki-laki maupun perempuan, kecuali ketakwaannya, adalah setara di hadapan Allah Swt. Bahkan, kesetaraan ini dijelaskan dalam Al-Qur’an sejak awal proses penciptaan perempuan dan laki-laki. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 1 sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِه وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا ١

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS. An-Nisa/3: 1) (Tim Penyempurnaan Terjemahan Al-Qur’an 2019a, 104)

Menurut mayoritas pakar tafsir (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an 2009, 35), yang dimaksud kata nafs wâẖidah adalah Adam, dan kata zaûj (pasangan) adalah Hawa, perempuan pertama yang menjadi istri Adam. Hawa itu, oleh pandangan sebagian besar mufasir, diciptakan dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam yang dalam ayat di atas disebut dengan minha (dari padanya). Mayoritas ulama memang mengartikan Hawa tercipta dari bagian tubuh Adam. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadis, “Saling pesan memesanlah kepada perempuan, karena ia diciptakan dari tulang rusuk.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Amina Wadud menambahkan penjelasannya mengenai ayat di atas, bahwa ayat tersebut menegaskan awal dari seluruh manusia adalah nafs yang satu, yang merupakan bagian dari suatu sistem kesatuan pasangan (nafs dan zaûjnya). Ringkasnya, pasangan penting ini adalah laki-laki dan perempuan. Dalam ayat ini, penggunaan kata “laki-laki” dan “perempuan” berarti bahwa manifestasi lahiriah dan realitas keberpasangan yang penting untuk berkembang biak di muka bumi. (Wadud 2006, 48)

Jadi, dapat dikatakan bahwa proses penciptaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan tidak bisa terlepas dari laki-laki dan perempuan itu sendiri. Seorang manusia tidak mungkin lahir dari seorang laki-laki saja maupun seorang perempuan saja. Artinya, penciptaan manusia merupakan kerja sama laki-laki dan perempuan.

Selain dari proses penciptaan laki-laki dan perempuan yang setara seperti dijelaskan di atas, terdapat hal lain yang menjadi gugatan Al-Qur’an terhadap patriarki yang juga menjadi poin penting dari konsep demokratis. Beberapa poin berikut dapat menjadi penepis anggapan yang berkembang dalam patriarki yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua. Konsep demokratis yang menjadi gugatan tersebut terdapat dalam beberapa hal sebagai berikut.

Kesempatan yang Sama untuk Berkarya

Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk bekerja, beramal, sehingga menghasilkan sebuah karya. Pencapaian karya ini akan diapresiasi oleh Allah Swt. dengan sebuah balasan. Balasan yang didapatkan oleh setiap orang adalah setara, baik laki-laki maupun perempuan, sesuai dengan amal yang dilakukan. Hal ini sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam surat An-Nahl/19: 97

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّه حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ٩٧

Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl/16: 97) (Tim Penyempurnaan Terjemahan Al-Qur’an 2019b, 387)

Menurut Tafsir Ibnu Kasir menjelaskan mengenai ayat di atas. Bahwa janji Allah Swt. ditujukan kepada orang yang beramal saleh baik ia laki-laki maupun perempuan. Jika kedua pihak, laki-laki dan perempuan mengerjakan amalan-amalan yang sesuai dengan tuntutan syariat, maka Allah Swt. akan memberikan balasan yang setara kepada mereka, yakni hayâtan thayyibah (kehidupan yang baik). (Kasir 2004, 256)

Ayat di atas menjelaskan tentang kesetaraan kesempatan yang diberikan oleh Allah Swt. bagi siapa saja yang ingin berkarya. Al-Buthi menegaskan bahwa berkarya (bekerja) adalah miliki siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, sehingga hasil yang diperoleh akan setara sesuai apa yang mereka kerjakan. (Buthi 2002, 68) Nasaruddin Umar juga mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa hamba laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan apa yang menjadi kadar pengabdiannya. (Umar 2014, 15)

Dengan demikian, sistem yang mensubordinasi perempuan dalam patriarki ditepis habis oleh ayat ini. Dalam patriarki, bidang tenaga kerja didominasi oleh kaum laki-laki. Baik dari segi kekuasaan, upah atau bayaran, maupun dari segi produksi. Perempuan seolah dikekang hanya mengurus urusan domestik rumah tangga saja. Gerak untuk berkembang dibatasi sehingga ia merasa terpasung dalam sebuah aturan yang tidak pasti akan tetapi menjadi tabu untuk dilepaskan. Hal-hal ini tidak berlaku lagi jika melihat ayat di atas. Oleh karena itu, dalam Islam dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam urusan insâniah tidak berlaku lagi, terutama dalam hal kesempatan untuk berkarya untuk meraih rida ilahi.

Kesamaan Mengemban Tugas Kekhalifahan

Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan tujuan selain menjadi hamba yang patuh beribadah kepada Allah Swt. juga sebagai khalifah di bumi. Dari sini dapat dilihat bahwa tugas laki-laki dan perempuan ialah sama-sama sebagai yang memakmurkan muka bumi dengan menjadi seorang khalifah. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah/1: 30

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ …٣٠

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”…(QS. Al-Baqarah/1: 30) (Tim Penyempurnaan Terjemahan Al-Qur’an 2019a, 6)

Musdah Mulia juga menjelaskan bahwa sebagai seorang khalifah di bumi, tugas manusia adalah membawa kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, dan kemuliaan di alam semesta (rahmatan lil ‘alamin) dengan cara amar ma’ruf nahi munkar. Tugas ini tidak mungkin dilakukan satu jenis manusia, sementara jenis yang lain melakukan sebaliknya. Antara laki-laki dan perempuan saling bekerja sama, bahu-membahu dan saling mendukung dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar demi menciptakan kehidupan yang baik dan indah. (Mulia, dkk 2003, 30)

Nasaruddin Umar juga menjelaskan bahwa kata khalifah pada ayat di atas tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Hal ini berarti bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di muka bumi kepada Allah Swt. (Umar 2014, 18)

Demikianlah konsep yang ditawarkan berdasarkan pandangan Al-Qur’an, dengan harapan tidak berlanjut lagi suatu sistem yang bias gender. Tidak ada lagi aturan yang mendominasi hak yang lain. Tidak bersambung lagi sistem yang mengikis kedudukan yang lain. Hingga akhirnya, terjadi sebuah kehidupan masyarakat dengan sistem demokratis yang saling menghormati tanpa mendominasi salah satu pihak, tanpa mendiskriminasi salah satu pihak, dan tanpa adanya lagi ketidakadilan yang dirasakan oleh sebelah pihak.

Daftar Pustaka

Bhasin, Kamla. 1996. Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum Perempuan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Buthi, Sa’id Ramadhan Al-. 2002. Perempuan: Antara Kezaliman Sistem Barat dan Keadilan Islam. Solo: Era Intermedia.

Kasir, Ibnu. 2004. Tafsir Ibnu Kasir: Juz 14 Al-Hijr 2 s.d An-Nahl 128. Bandung: Sinar baru algensindo.

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. 2009. Kedudukan dan Peran Perempuan. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

Mulia, dkk, Siti Musdah. 2003. Keadilan dan Kesetaraan Gender, Perpektif Islam. Cet. II. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender.

Qazan, Shalah. 2021. Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan, Ter. Khazin Abu Fakih.

Sari, Seplia Sartika, dan Yenni Hayati. 2023. “Perempuan Dalam Budaya Patriarki: Kajian Karya Sastra Penulis Perempuan Indonesia.” ANTHOR: Education and Learning Journal 2 (1): 117–25. https://doi.org/10.31004/anthor.v2i1.87.

Suryana, Nana. 2001. “IRONI PEREMPUAN DI TENGAH ISU SENTIMEN GENDER (TELAAH SOSIOLOGIS NOVEL KONTEMPORER INDONESIA).” Jurnal Sosiohumaniora 3 (3).

Tim Penyempurnaan Terjemahan Al-Qur’an. 2019a. Al-Qur’an dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan 2019, Juz 1-10. Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

———. 2019b. Al-Qur’an dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan 2019, Juz 11-20. Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

Umar, Nasaruddin. 2014. Ketika Fikih Membela Perempuan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Wadud, Amina. 2006. Quran Menurut Perempuan: Membaca kembali Kita Suci dengan Semangat Keadilan. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *