Melacak Peluang Kontekstualisasi Hak Waris dalam Tafsir Tāj Al-Muslimīn

Dalam mewujudkan pembagian hak harta waris yang adil, para pejuang feminisme menghadapi perjalanan panjang melawan dominasi budaya patriarki. Meskipun perdebatan dan perjuangan kaum banyak berfokus pada isu kekerasan perempuan dan anak (Fakih, 2008). Pembahasan mengenai hak waris menjadi fokus kajian yang menarik untuk dilakukan. 

Terwujudnya pembagian yang adil dan proporsional dalam pembagian harta waris untuk laki-laki dan perempuan nampaknya hampir terlihat mustahil. Sebab, tafsir klasik yang cenderung berpihak kepada laki-laki berhasil mempengaruhi dan memperkuat dominasi yang menyudutkan kaum perempuan.  (Ismail, 2003)

Bacaan Lainnya

Salah satu tafsir klasik yang perlu dikaji secara mendalam adalah karya KH Misbah Mustafa berjudul Tāj Al-Muslimīn (Baidhowi, 2015). Sebagian kalangan banyak yang menyebutkan bahwa Misbah Mustafa mendukung pembagian 2:1. Namun, setelah dibaca dengan lebih serius ada kecenderungan bahwa pembagian yang adil dan proporsional bukanlah sesuatu yang sulit direalisasikan.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah pembagian waris 2:1 dalam tafsir Tāj Al-Muslimīn bersifat mutlak? Atau malah sebaliknya, KH Misbah Mustafa memberikan peluang bagi para mufassir dan pejuang feminisme untuk melakukan kontekstualisasi terhadap persoalan hak waris tersebut?

Biografi KH Misbah Mustafa

Mishbah Zainal Musthafa atau biasa di panggil mbah Misbah adalah putra dari Zainal Musthafa dan Chodijah, adek kandung dari Bisri Mustafa (penulis tafsir al-Ibrīz). Misbah lahir di Jawa Tengah lebih tepatnya di Rembang pada 1917. Setelah dewasa Misbah adalah salah satu Kyai terkenal di daerah Bangilan dan memiliki Pondok Pesantren bernama Al-Balagh yang terletak di Tuban bagian barat.

Di samping menjadi ulama, Misbah Mustafa aktif di organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Misbah secara struktural tidak tercatat sebagai pengurus NU, akan tetapi pengabdiannya di NU sedikit banyak mempengaruhi bagaimana ia berfikir dan ia menuliskan tafsir Al-Qur’an. (Ni’mah, 2018)

NU adalah wadah bagi umat Islam untuk membahas permasalahan-permasalahan hukum dan sosial yang berkaitan dengan adat dan tradisi masyarakakat. Dalam hal inilah, Misbah sering berseberangan dengan pendapat-pendapat mayoritas ulama NU, hingga ia dikategorikan sebagai ulama NU dengan fikrah pinggiran, yang sering diafiliasikan kepada ulama NU yang memiliki pemikiran berbeda dari mayoritas ulama NU lainnya.

Mishbah juga dikenal sebagai seorang yang berpendirian teguh dan memegang prinsip yang kuat. Ia seringkali merujuk dan kembali kepada apa yang sudah diajarkan oleh ulama salaf, termasuk juga ketika ia dihadapkan dengan persoalan hukum dan tafsir. Misbah adalah ulama yang produktif menulis dan melahirkan banyak karya.

Kitab tafsir al-Iklīl dan Tāj Al-Muslimīn merupakan karya monumentalnya yang sampai sekarang masih banyak dikaji oleh masyarakat perdesaan. Kedua kitab tersebut ditulis menggunakan huruf Jawa Pegon. Kyai Misbah wafat pada Senin 18 April 1994 M atau 7 Dzulkadah 1414 H. Pada saat itu, ia berusia 78 Tahun. (Baidhowi, Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklil Fi Ma’ani al-Tanzil Karya KH Mishbah Musthafa, 2015)

Metode dan Corak Penafsiran

Dalam menafsirkan ayat waris, Misbah memulai dengan terjemah tafsiriyah yaitu mengartikan makna dengan bahasa yang mudah dipahami dan memberi contoh kasus pembagian waris. Setelah itu menambahkan kata (كت) untuk menerangkan keterkaitan ayat ini dengan ayat lain atau hadis Rasulullah dan asbabun nuzul. Setelah itu Misbab Mustafa menganalisa dengan pemikiran rasionalnya.

Kemudian pada bab fāidah (فائدة) Misbah memberikan gambaran masyarakat jāhilīyah bahwa harta waris dulu diberikan kepada anak laki-laki yang sudah balig. Anak yatim (yang belum balig) dan perempuan tidak mendapat waris. Hingga Islam datang dan menetapkan hukum waris. (Musthafa, 1989)

Pada bab tanbīh (تنبه) Misbah mengaitkannya dengan zaman sekarang (zaman waktu Misbah hidup). Misbah prihatin terhadap kondisi masyarakat pada saat itu. Menurut Misbah banyak orang mengaku pandai agama tapi keblinger, bahkan berani menentang ayat Al-Qur’an secara terang-terangan dan mengamalkan semboyan orang-orang kafir nu’minu bi ba’dh wa nakfuru bi ba’dh (kita beriman sebagian ayat Al-Qur’an dan kita bebas mengkufuri Al-Qur’an.

Misbah mengkritisi mujaddid atau pembaru Islam pada waktu itu yang mengeluarkan penemuan bahwa “pada zaman sekarang kita harus meninggalkan ketetapan Al-Qur’an yang memberi bagian waris kepada anak laki-laki dua kali lipatnya anak perempuan, karena pada zaman sekarang banyak orang perempuan yang lebih pandai daripada laki-laki, banyak sekali perempuan yang memberi nafkah laki-laki, jadi bagian anak laki-laki harus sama dengan bagian anak perempuan.”.

Menurut Misbah, para mujaddid tersebut tidak pandai dalam bidang ilmu agama Islam namun mereka hanya ingin menonjolkan dirinya agar dianggap istimewa di kalangan masyarakat. Hal tersebut membuat Misbah prihatin, sehingga ia memberikan komentar dan penafsiran tentang ayat waris.

 “Semua perintah Al-Qur’an itu pasti adil. Jika Al-Qur’an menetapkan bagian anak laki-laki dua kali lipatnya anak perempuan, hal tersebut dikarenakan saat terjadi perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan, orang laki-laki itulah yang memiliki beban berupa kewajiban membina rumah tangga termasuk juga menafkahi istri dan anak-anaknya. Jika orang laki-laki (suami) meninggalkan dalam memberi nafkah kepada perempuan (istri), orang perempuan mempunyai hak menuntut talak orang laki-laki. Jadi pembagian yang ditentukan dalam Al-Qur’an itu ada hubungannya dengan nafkah yang ditanggung oleh orang laki-laki tanpa memandang kedudukan, pintar atau tidaknya dan kaya atau tidaknya.”

Namun, Misbah juga menambahkan jika perempuan menuntut adanya undang-undang persamaan bagian anak laki-laki dan anak perempuan, kewajiban memberi nafkah yang dibebankan kepada laki-laki harus di hapus. Di sini Misbah memberikan pernyataan bahwa pembagian waris antara laki-laki dan perempuan jika harus sama maka konsekuensinya adalah undang-undang pemerintah yang mewajibkan suami memberi nafkah harus dihapuskan.  (Musthafa, Tafsīr Tāj al-Muslimīn Min Kalāmi Rabb al-‘Ālamīn, 1989)

Jika ditinjau dari sumber penafsirannya, Misbah Mustafa menggunakan metode tafsir bi al-ra’yi. Hal ini bisa dilihat dari cara beliau menafsirkan. Misbah menggunakan pemikiran rasional saat menafsirkan ayat waris yang dikaitkan dengan kewajiban memberi nafkah. Bahkan dalam membahas ayat waris, ia memberi penjelasan lebih dari 100 halaman.

Jika ditinjau dari luasnya penjelasan tafsir, Misbah Mustafa termasuk menggunakan metode tafsir ithnābī yaitu menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan detail diikuti penjelasan yang panjang lebar, sehingga pembaca lebih memahaminya. Tidak jarang Misbah Mustafa menggunakan contoh kasus dan perumpamaan.

Jika ditinjau dari tartib ayat, Misbah Mustafa menggunakan metode tahlīlī yaitu menafsirkan ayat Al-Qur’an secara urut dan tartib sesuai dengan urutan mushaf. Untuk corak tafsir di dalam tafsir Tāj Al-Muslimīn, Misbah Mustafa cenderung ke corak sosial kemasyarakatan dan fikih. Di sini penulis menggunkan metode Ridwan Nashir dalam menentukan metode dan corak penafsiran.

Peluang Kontekstualisasi Hak Waris dalam Tafsir Taj Al-Muslimin

Dengan merujuk pada pernyataan sebelumnya, Misbah menegaskan bahwa “dadi pembagian kang ditentuake deneng Al-Qur’an iku ono hubungane karo nafakah kang dipikul deneng wong lanang tanpa pandang kedudukan, pinter utowo orane, sugih utowo orane.” Penulis meyakini, masalah terpenting yang mempengaruhi pembagian waris 2:1 dalam tafsir tersebut adalah “menafkahi atau dinafkahi.”  (Musthafa, Tafsir Taj al-Muslimin Min Kalami Rabb al-‘Alamin, 1989)

Secara tegas, Misbah mendukung konsep 2:1 dalam pembagian waris karena laki-laki memiliki beban dan tanggungjawab lebih dibanding perempuan, termasuk juga memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Berbeda dengan laki-laki, perempuan dalam praktik berumah tangga banyak yang berposisi sebagai seorang yang dinafkahi oleh suami.

Jika argumentasi dan rasionalisasi Misbah sebagaimana penjelasan tersebut, maka pembagian waris 2:1 menjadi persoalan yang adil dan proporsional. Meskipun demikian, konsep ini nampaknya akan lebih memiliki relevansi ketika diaplikasikan dan diimplementasikan di negara seperti India dibanding Indonesia.

Sebab, di Indonesia tingkat kreativitas perempuan dalam hal mencari kerja dan memberikan nafkah kepada keluarga lebih tinggi dari pada perempuan yang ada di India. (Umar, 1999). Sehingga tafsir Misbah terkait hak waris 2:1 kurang relevan bagi kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Ini sekaligus memberikan tanda bahwa hukum perlu didialogkan dengan kondisi sosial dan ekonomi, termasuk hukum siapa yang “menafkahi atau dinafkahi” dalam konteks pembagian hak waris.

Pada bagian ini, penulis tertarik mendiskusikan pernyataan Misbah tentang “pembagian waris antara laki-laki dan perempuan jika harus sama maka konsekuensinya adalah undang-undang pemerintah yang mewajibkan suami memberi nafkah harus dihapuskan.” Bagi penulis, pernyataan tersebut adalah pintu awal bagi proses kontekstualisasi dan memberikan hukum alternatif mengenai hak waris.

Dengan kata lain, ketika diteliti dan dibaca secara kritis, pembagian harta waris 2:1 bukanlah bersifat mutlak. Malah terdapat kecenderungan bahwa hak waris dalam Tāj Al-Muslimīn membuka peluang untuk dikontekstualisasikan sebagaimana kebutuhan zaman, yaitu pembagian harta waris yang adil dan proporsional 2:2.

Namun, Misbah mengajukan syarat bahwa pembagian harta waris 2:2 dapat direalisasikan selama perempuan calon penerima waris berstatus sebagai orang yang menafkahi dari pada dinafkahi. Selain itu, Misbah juga mengajukan opsi agar pembagian waris 2:2 diatur secara resmi dan legal melalui undang-undang yang bersifat mengikat.

DAFTAR PUSTAKA

Baidhowi, A. (2015). Aspek Lokalitas Tafsir Al-Iklil Fi Ma’ani al-Tanzil Karya KH Mishbah Musthafa. Jurnal Nun, Vol. 1, No. 1.

Fakih, M. (2008). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Insist Press.

Ismail, N. J. (2003). Perempuan dalam Pasungan. Yogyakarta: LKiS.

Musthafa, M. (1989). Tafsir Taj al-Muslimin Min Kalami Rabb al-‘Alamin. Tuban: Majlis Ta’lif wa al-Khattat.

Ni’mah, I. S. (2018). Tafsir al Quran dan kritik sosial: studi terhadap Tafsir Taj al Muslimin min Kalami Rabbi al-Alamin karya Misbah Mustafa. Surabaya: UIN Sunan Ampel.

Umar, N. (1999). Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qurʾan. Jakarta: Paramadina.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *