Tabayyun sebagai Solusi Qur’ani dalam Menyikapi Hoaks di Media Sosial (Perspektif Quraish Shihab)

Media online adalah salah satu media yang paling sering digunakan khalayak untuk mencari informasi, sesuai dengan tujuan media sosial untuk memberikan informasi. Dengan kata lain, media sosial berfungsi untuk menyebarkan informasi kepada khalayak, dan khalayaklah yang memilih media sosial mana yang akan mereka gunakan untuk mendapatkan informasi.

Penyebaran berita yang dilakukan di media sosial termasuk sangat efektif dengan berbagai bentuk seperti teks, audio dan visual, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi khalayak untuk mencari informasi di media online. Kemunculan media sosial memberikan kebebasan bagi masyarakat agar ikut berkompetisi dalam menyebarkan informasi dan peristiwa yang sedang terjadi di sekeliling mereka (Kurnia & Rizki, 2023: 182).

Bacaan Lainnya

Hanya saja beberapa dari pemberitaan terkait tidak sepenuhnya mengandung informasi aktual. Hal ini disebabkan oleh kemajuan pesat dalam komunikasi global, yang berdampak pada kebebasan bermedia sosial yang sering digunakan untuk menyebarkan fitnah untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Media sosial memiliki kemampuan untuk menyebarkan berita dengan cepat, tetapi ironinya, membuat orang semakin tidak waspada dan mudah terprovokasi.  Informasi dibagikan melalui media sosial tanpa seleksi. Karena itu, sebagian besar informasi yang disampaikan adalah bohong (Sambo et al., 2017: 36-37).

Menurut Fensi, hoax adalah berita palsu yang berarti bahwa berita tersebut tidak memiliki data, fakta, atau keontetikan (Saidah, 2023: 157).

Dalam Al-Qur’an, istilah “berita bohong” atau “hoaks” berasal dari kata “لافك”, yang berarti “keterbalikan” (seperti gempa yang membalikkan negeri), tetapi yang dimaksudkan di sini adalah sebuah kebohongan besar. Karena kobohongan adalah ketika memutarbaikkan fakta.

Menurut Mutammimah orang-orang yang membuat hoaks (kebohongan) muncul dari orang-orang pembangkang (Mutammimah, 2020). Dalam Al-Qur’an, disebut dengan kata “’uṣbah” (عصبة), yang berasal dari kata “’aṣaba” (عصب), yang pada mulanya berarti mengikat dengan keras. Dari kata ini, lahir kata “muta’aṣṣib” (متعصّب) yang berarti fanatik (Shihab, 2002: 296).  

Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa hoaks adalah segala bentuk pemberitaan dan penyebaran informasi tanpa diketahui kebenarannya dengan adanya kepentingan pribadi.

            Media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Snapchat, dan WhatsApp adalah tempat gosip, berita terbaru, dan berita terkini dengan cepat tersebar. Hadirnya media sosial merupakan wujud jenis komunikasi baru dengan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi.

            Komunikasi saat ini bukan hanya tentang menyampaikan informasi, namun juga bertujuan untuk membentuk pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude). Dengan adanya tujuan tersebut, dikhawatirkan munculnya stigma di masyarakat yang lahir dari berbagai pemberitaan bohong (hoaks) yang tersebar bebas diberbagai media sosial.

Oleh karena itu, manusia dalam mejalankan kehidupannya memerlukan adanya kontrol diri agar tidak terperangkap pada kebebasan yang mutlak tanpa memikirkan efek yang akan ditimbulkan, aturan yang relevan diperlukan terutama untuk kebebasan berpendapat secara langsung dan melalui media sosial. Sebagai petunjuk hidup manusia, maka aturan yang telah digariskan al-Qur’an dalam konteks komunikasi sosial menjadi sangat relevan untuk disampaikan.    

Atas dasar urgensi tersebut, maka etika bermedia sosial mencakupi segala aspek termasuk pengaplikasian dalam aktivitas bermedia sosial. Salah satu etika bermedia sosial adalah dengan tidak menyebarkan berita hoaks termasuk dalam menyikapinya. Adapun solusi Al-Qur’an dalam menyikapi hoaks adalah dengan ber-tabayyun.

Kata tabayyun berasal dari akar kata dalam bahasa Arab tabayyana, yatabayyanu, tabayyunan yangmasing-masing berarti tampak, jelas, atau terang (Munawwir, 1984: 47).  yang berarti mencari kejelasan sampai situasi menjadi jelas dan benar keadaannya.

Secara etimologis berarti meneliti dan memilah berita. Namun, jangan tergesa-gesa dalam membuat keputusan tentang masalah yang berkaitan dengan hukum, kebijakan, atau hal-hal lainnya sebelum jelas permasalahannya (Dhaif, 2011: 80).

Secara leksikal, tabayyun berarti tergesa-gesa menilai sesuatu tanpa didahului oleh upaya untuk mendapatkan informasi yang benar dan tanpa meneliti dan memerikasa kebenaran.

Sedangkan pengertian secara istilah dalam Islam adalah sikap terburu-buru atau kurang hati-hati, tidak seksama, dan tidak teliti dalam memberi gambaran atau penilaian tentang apa yang terjadi pada kaum muslimin atau manusia secara keseluruhan, serta cara menerima informasi, tanpa pemahaman yang dalam atau penelitian yang mendalam tentang kenyataan dan kondisi yang melingkupinya (Aṭ-Ṭabari, 1968: 139-140).

            Sehingga dapat disimpulkan bahwa tabayyun adalah upaya untuk mencari kebenaran, menyaring sebelum berbagi informasi untuk memastikan keakuratan sebuah berita atau informasi.

Seorang muslim harus memastikan bahwa informasi yang mereka peroleh benar. Hal ini dilakukan untuk menghindari kiṡb, gibah, fitnah, dan namīmah. Dalam Al-Qur’an, umat Islam diajarkan untuk selalu memberikan penjelasan saat menerima berita. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan bersikap tabayyun, seperti yang disebutkan dalam Surah Al-Hujurāt.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ 

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menipakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (QS. Al-Hujurāt [49]: 6)

Kata “إن” in/jika digunakan dalam ayat tersebut, yang biasanya digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang diragukan atau kedatangan seorang fasik kepada orang-orang beriman yang tidak mungkin atau jarang terjadi. Kata  (فاسق)fāsiq terambil dari kata (فسق)  fasaqa yang digunakan untuk menggambarkan buah yang telah rusak atau terlalu matang sehingga kulitnya terkelupas.

Kata (نبأ) naba’ berarti berita yang penting. Sedangkan kata (خبر) “khabar”, yang berarti “berita” secara umum, Kata (بجهالة) bi jahālah dapat berarti tidak mengetahui, dan dapat juga dikaitkan dengan kejahilan, yaitu perilaku seseorang yang kehilangan kontrol dirinya sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar.

Dalam ayat tersebut, kita diminta untuk menjalankan tindakan kita berdasarkan pengetahuan, sebagai lawan dari jahālah, yang berarti kebodohan, dan untuk melakukannya berdasarkan pertimbangan logis dan nilai-nilai yang ditetapkan Allah Swt. sebagai lawan dari makna kedua dari jahālah. (Shihab, 2004: 237-238).

Bentuk implementasi tabayyun dalam menyikapi berita hoaks diantaranya:

Pertama, masalah dikembalikan kepada Rasulullah saw. ketika beliau masih hidup, dan kemudian ketika beliau wafat, dikembalikan kepada Al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw., atau melalui pihak lain. Namun, pihak yang dimasudkan adalah mereka yang jujur dan berintegritas.

Kedua Pentingnya saring sebelum sharing, perlunyamemilah informasi apakah penting atau tidak, dan juga memperhatikan siapa yang menyebarkan informasi tersebut, apakah dapat dipercaya atau tidak.

Ketiga validitas kebenaran sebuah informasi tidak ditentuan dari banyaknya orang yang menyebarkan infomasi tersebut.   

Keempat menanyakan langsung kepada orang yang bersangkutan.

Kelima tidak bersikap menutup diri sama sekali (ekslusif) dari berbagai informasi namun lebih bersikap teliti terhadap suatu informasi bukan dengan langsung menolak.

        Maraknya penyebaran berita hoaks yang jika tidak diiringi dengan upaya yang tepat dalam menyikapinya, maka hal demikian akan semakin memperkeruh keadaan dan bahkan menyebabkan konflik baru. Oleh karena itu, Al-Qur’an dengan jelas mengajarkan umat Islam bagaimana memahami dan merespon berita dengan cerdas.

        Tabayyun menjadi bagian solusi Qur’ani dalam mengatasi hoaks tersebut, melalui sikap tabayyun seseorang akan lebih berhati-hati dalam menyaring, menerima dan menyebarkan informasi yang sangat dengan mudah didapatkan melalui media sosial, menghindarkan diri dari berbagai bentuk prasangka buruk, dan menjadi manusia yang lebih tenang dalam menyikapi pemberitaan yang masih bersifat spekulatif, tidak valid, dan tidak akurat.     

Daftar Pustaka

Dhaif, Syauqi. (2011). Al-Mu’jāmul al-Wasīṭ, Juz I, Mesir: Al-Maktabah Shurouq Ad-Dauliyyah.

Fensi, F. (2018). Fenomena Hoax: Tantangan terhadap Idealisme Media dan Etika Bermedia, Bricolage: Jurnal Magister Ilmu Komunikasi, 4 (02), h. 133.

Kurnia, Irvan Agung & Ratri Rizki. (2023). Tayangan Youtube Asumsi dalam Pandangan Mahasiswa, Jurnal Bandung Conference Series, 2 (1), h. 182.

Masriadi, Sambo dkk. (2017). Pengantar Jurnalisme Multiplatform, Depok: Prenadamedia Group.

Mutammimah, Binti. “Membendung Hoaks di Tengah Pandemi: Perspektif Islam”. Jurnis (2020), diakses pada tanggal 12 April 2024, https://jurnalislam.com/membendung-hoaks-di-tengah-pandemi-perspektif-islam/html. 

Munawwir, Warson Ahmad. (1984). Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif.

Saidah, Indah Siti. (2023). Konsep Tabayyun dalam menyikapi Berita Hoax di Media Sosial Perspektif Tafsir al-Azhar Karya Buya Hamka, Gunung Djati Conference Series, 19 (1), hal 157).

 Shihab, M. Quraish. (2004). Tafsir Al-Mishbāh, Cet.II; Jakarta: Lentera Hati.

_______. (2002). Tafsir Al-Misbāh, Vol.9; Jakarta : Lentera Hati.

Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir. (1968). Jāmi’u al-Bayāni ‘An Ta’wīli Ay al-Qur’an, Juz V, Kairo: Maktabah ibn Taimiyah.

Widodo W., Budoyo, S., Pratama. T. G. W., dan Soeprijanto, T. (2019). Hoax di Indonesia: Suatu Kajian. Jurnal Meta-Yuridis. 2(1), 69-78.     

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *