Dalam membincang moralitas dan prinsip-prinsip kehidupan, Utilitarianisme John Stuart Mill dan ajaran Al-Qur’an adalah dua pandangan yang dominan, masing-masing membawa perspektif yang unik. Dalam analisis komparatif ini, penulis akan mengeksplorasi kesamaan dan perbedaan antara pandangan utilitarianisme yang diperkenalkan oleh John Stuart Mill dengan ajaran-ajaran moral yang tercantum dalam Al-Qur’an, serta bagaimana keduanya dapat berinteraksi dan saling melengkapi untuk membentuk landasan etika yang lebih komprehensif.
Utilitarianisme adalah suatu teori etika yang memiliki akar dalam pemikiran filsafat moral yang menyatakan bahwa kebaikan atau moralitas suatu tindakan dapat diukur berdasarkan konsekuensi yang dihasilkan oleh tindakan tersebut (Syamsuri, Dialektika Al-Qur’an dan Budaya Patriarki Perspektif Historis Humanis, hal. 40). John Stuart Mill, seorang filsuf dan ekonom Inggris, merumuskan teori ini dalam esainya yang berjudul “Utilitarianism” pada tahun 1861.
Prinsip utama utilitarianisme adalah bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan akumulasi kebahagiaan yang maksimal bagi semua individu yang terlibat. Dalam penilaian moral, utilitarianisme mempertimbangkan konsekuensi langsung dari tindakan-tindakan tersebut, tanpa memandang apakah tindakan tersebut sesuai dengan aturan moral yang mapan atau tidak.
Meskipun teori ini telah dikritik sejak awal kemunculannya, utilitarianisme telah mendapatkan popularitas yang signifikan dan dianggap sebagai salah satu kerangka etika yang paling berpengaruh dalam filsafat moral. Hal ini disebabkan oleh pendekatan sistematisnya dalam menilai konsekuensi tindakan dalam konteks kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
John Stuart Mill dan Jeremy Bentham merupakan dua tokoh yang memperkenalkan teori utilitarianisme pada abad ke-19. Utilitarianisme berkembang dari gagasan Bentham tentang konsekuensialisme moral, yang menekankan bahwa tindakan itu baik jika menghasilkan konsekuensi yang paling positif bagi sebanyak mungkin orang. Mill menyempurnakan teori ini dengan menekankan kualitas kebahagiaan sebagai faktor yang penting.
Menurut Bentham dan Mill, kebahagiaan adalah satu-satunya hal yang memiliki nilai intrinsik, yang berarti kebahagiaan itu sendiri yang menjadi tujuan, bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan lain (Widodo Dwi Putro, Filsafat Hukum, hal. 233). Oleh karena itu, tujuan utama etika menurut utilitarianisme adalah memaksimalkan jumlah kebahagiaan secara keseluruhan. Prinsip ini dikenal sebagai “prinsip utilitas” atau “prinsip kebahagiaan terbesar”.
Meskipun Mill sejalan dengan Bentham dalam banyak prinsip dasar etika, dia juga memiliki perbedaan utama. Mill berusaha mengembangkan bentuk utilitarianisme yang lebih luas yang dinilai lebih bersesuaian dengan moralitas manusia. Berikut adalah beberapa konsep inti dalam utilitarianisme John Stuart Mill:
Pertama, Prinsip Kebahagiaan. Konsep terpenting dalam utilitarianisme adalah prinsip kebahagiaan. Mill menyatakan bahwa satu-satunya tujuan moral adalah untuk mencapai kebahagiaan, dan kebahagiaan dianggap sebagai akhir yang diinginkan dalam dirinya sendiri. Kebahagiaan, dalam konteks ini, didefinisikan sebagai kondisi perasaan nikmat dan kepuasan hidup yang positif, yang mencakup aspek-aspek seperti kesenangan, kepuasan, dan kesejahteraan subjektif.
Hal ini mengimplikasikan bahwa dalam memilih tindakan yang benar, individu harus mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan tersebut terhadap kebahagiaan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, keputusan moral dapat dipandang sebagai upaya untuk memaksimalkan kebahagiaan atau manfaat bagi semua pihak yang terlibat.
Kedua, Kualitas Kebahagiaan. Mill menghadirkan distinksi antara dua jenis kebahagiaan yang berbeda: kebahagiaan yang tinggi (high-quality happiness) dan kebahagiaan yang rendah (low-quality happiness). Kebahagiaan yang tinggi merujuk pada pengalaman yang lebih mendalam dan berkelanjutan yang melampaui kesenangan fisik semata. Ini mencakup aspek-aspek intelektual dan moral dari kehidupan manusia, seperti kebebasan berpikir, kesempatan belajar, dan pencapaian yang memberikan kepuasan yang berkelanjutan.
Di sisi lain, kebahagiaan yang rendah mengacu pada kesenangan sensorik atau fisik yang bersifat sementara dan kurang memuaskan secara keseluruhan. Mill menekankan bahwa kebahagiaan yang tinggi memiliki nilai intrinsik yang lebih tinggi daripada kebahagiaan yang rendah, karena melibatkan aspek-aspek yang lebih bermakna dalam kehidupan manusia.
Pandangan Mill tersebut sejalan dengan prinsip ajaran Al-Qur’an. Konsep kebahagiaan dalam Al-Qur’an tidak terbatas pada kesenangan fisik semata, tetapi mencakup perasaan kepuasan, kesejahteraan emosional, dan kedamaian batin yang timbul dari hubungan yang baik dengan Tuhan, serta perilaku moral dan sosial yang baik terhadap sesama manusia. Sebagai contoh, salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang menggambarkan konsep kebahagiaan dalam konteks ketaatan kepada Allah adalah Surah Ar-Ra’d ayat 28:
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (QS. Al-Ra’d/13: 28).
Ayat di atas dapat dipahami dalam konteks ilmiah sebagai refleksi dari konsep kesejahteraan psikologis yang terkait dengan praktik spiritual dan keberagamaan. Ini menunjukkan bahwa konsep-konsep spiritual dan moral dalam Al-Qur’an dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Ketiga, Prinsip Kesetaraan Kebahagiaan. Dalam utilitarianisme, kebahagiaan setiap individu dianggap memiliki nilai yang sama, dan prinsip kesetaraan kebahagiaan menyatakan bahwa kebahagiaan setiap orang harus diperhatikan secara sama dan setara dalam menentukan tindakan yang benar. Prinsip ini mencerminkan pendekatan egalitarian dalam evaluasi moral tindakan yang diambil.
Hal ini juga terkait dengan gagasan dalam neurosains dan psikologi bahwa ada pola aktivitas otak yang serupa di antara individu-individu yang mengalami kebahagiaan. Ini menunjukkan bahwa, walaupun kebahagiaan bersifat subjektif dan dipengaruhi oleh faktor-faktor individual, ada aspek universal dari pengalaman kebahagiaan yang dapat dikenali dan diukur secara obyektif.
Keempat, Konsekuensialisme. Konsekuensialisme, sebagai kerangka etika dalam utilitarianisme menekankan penilaian moralitas sebagai suatu tindakan berdasarkan konsekuensi atau hasil yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. Dalam utilitarianisme, yang merupakan salah satu bentuk konsekuensialisme, kebenaran suatu tindakan dinilai berdasarkan kemampuannya untuk menghasilkan akumulasi kebahagiaan yang maksimal bagi seluruh individu yang terlibat.
Konsekuensialisme dalam utilitarianisme sering dianalisis dalam konteks perdebatan tentang konsekuensialisme versus deontologi, dimana deontologi menekankan kewajiban moral yang bersifat intrinsik atau tidak bergantung pada hasil yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. Meskipun demikian, utilitarianisme terus menjadi salah satu pendekatan etika yang dominan dalam filsafat moral, terutama karena pendekatannya yang sistematis dalam menilai dan mempertimbangkan konsekuensi tindakan dalam konteks kebahagiaan dan kesejahteraan individu.
Kelima, Kritik terhadap Hedonisme. Meskipun Mill adalah seorang utilitarian, dia juga mempertimbangkan kritik terhadap pendekatan hedonisme (Laurentius Tarpin, Ketika Aku Harus Memilih, hal. 55). Dia menekankan pentingnya kebahagiaan yang tinggi, yang mencakup kebahagiaan intelektual dan moral, daripada hanya fokus pada kenikmatan fisik semata. Konsep-konsep ini membentuk kerangka kerja teoretis utilitarianisme John Stuart Mill, yang memberikan dasar bagi evaluasi moral tindakan-tindakan dalam konteks mencapai kebahagiaan orang banyak.
Analisis Komparatif: Kesamaan dan Perbedaan
Al-Qur’an, sebagai sumber ajaran moral utama dalam agama Islam, memberikan pandangan tentang prinsip-prinsip keadilan, kebaikan, dan keseimbangan dalam kehidupan manusia. Al-Qur’an menekankan pentingnya berbuat baik, menghindari kemungkaran, dan menghormati hak-hak sesama manusia. Prinsip-prinsip ini dianggap sebagai panduan utama bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari.
Kita dapat menemukan beberapa kesamaan dalam hal prinsip-prinsip etika yang diperjuangkan. Keduanya menekankan pentingnya keadilan, kebaikan, dan kebahagiaan bagi individu dan masyarakat. Namun, ada juga perbedaan signifikan yang perlu diperhatikan. Beberapa perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama, Dasar Filosofis. Utilitarianisme Mill didasarkan pada prinsip utilitas, dimana tindakan dinilai berdasarkan konsekuensi-konsekuensi yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Sementara itu, pandangan moral dalam Al-Qur’an didasarkan pada wahyu yang mengatur perilaku dan moral manusia untuk mencapai kebahagiaan yang sejati.
Kedua, Sumber Otoritas. Utilitarianisme Mill tidak memiliki otoritas tertinggi atau sumber yang baku untuk menentukan apa yang dianggap benar atau salah, kecuali penilaian rasional dan pengamatan empiris mengenai konsekuensi tindakan. Sementara itu, Al-Qur’an dianggap sebagai sumber otoritatif dalam Islam, yang memberikan panduan dan aturan moral yang dianggap sebagai petunjuk langsung dari Allah.
Ketiga, Keabsolutan dan Relativisme. Utilitarianisme Mill memiliki karakteristik relativisme moral, dimana tindakan dianggap baik atau buruk tergantung pada konsekuensinya yang berubah-ubah dalam konteks tertentu. Sementara itu, Al-Qur’an menyajikan ajaran-ajaran moral yang lebih bersifat absolut, dimana prinsip-prinsip moral dianggap sebagai kebenaran yang tetap dan universal, tidak tergantung pada situasi atau kondisi khusus.
Referensi
Putro, Widodo Dwi. Filsafat Hukum, Jakarta: Kencana, 2024.
Syamsuri, Dialektika Al-Qur’an dan Budaya Patriarki Perspektif Historis Humanis, Malang: Madza Media, 2024.
Tarpin, Laurentius. Ketika Aku Harus Memilih: Hidup dan Bertindak dalam Dunia yang Kompleks, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2023.