Khitan Perempuan, Syiar Agama atau Budaya yang Merugikan? Menelisik Tafsir Qs. An-Nahl [16]: 123
Di seluruh dunia, kita akan mudah menemukan ragam budaya masyarakat soal bagaimana memperlakukan perempuan. Seringkali, budaya perlakuan khusus tersebut membawa kerugian bagi pihak perempuan. Sebut saja salah satunya budaya khitan perempuan dengan memotong klitoris secara ekstrem dan berlebihan. Praktik ini biasanya diiringi keyakinan sebagai jalan peredam hasrat seksual (Mulia, 2014). Namun sebagian masyarakat muslim memandang khitan perempuan sebagai fitrah perempuan dan syiar Islam. Lantas bagaimana diskusi mengenai persoalan ini mengalir dan direspon oleh para sarjanawan Islam maupun kalangan medis?
Khitan Perempuan Perspektif Medis
WHO (World Health Organization) secara tegas menyebut bahwa khitan perempuan atau Female Genital Mutilation (FGM) merupakan bentuk pelanggaran hak asasi anak-anak dan perempuan. Melansir laman WHO, fakta mengungkapkan bahwa lebih dari 200 juta anak perempuan dan perempuan dalam berbagai rentang usia saat ini telah mengalami praktik FGM di 30 negara. Khususnya di Afrika, Timur Tengah, dan Asia. FGM sendiri sebagian besar dilakukan pada perempuan muda antara usia bayi hingga 15 tahun.
WHO menyatakan bahwa praktik khitan pada perempuan tidak memberikan manfaat kesehatan sama sekali, malah seringkali menimbulkan komplikasi yang pada akhirnya sangat merugikan dan membahayakan perempuan, seperti pendarahan hebat, kista, infeksi, masalah saat buang air kecil dan melahirkan hingga risiko kematian. Tidak heran jika pengobatan komplikasi kesehatan akibat FGM diperkirakan menghabiskan biaya sebesar US$ 1,4 miliar per tahun (WHO, 2024).
Sejalan dengan respons dunia internasional, terutama dalam tiga dekade terakhir terkait bahaya khitan perempuan, Indonesia juga mengambil langkah serupa. Pada 2014, Menteri Kesehatan RI mengeluarkan Permenkes RI No. 6 Tahun 2014 yang berisi pencabutan Permenkes sebelumnya di tahun 2010 tentang Sunat Perempuan.
Pencabutan ini berdasarkan pertimbangan bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/Menkes/Per/XII/2010 tentang Sunat Perempuan dipandang sudah tidak sesuai dengan dinamika perkembangan kebijakan global dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan (Menkes RI, 2014).
Wacana Khitan Perempuan di Dunia Islam
Berbeda dengan WHO dan Pemerintah, MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada 2008 mengeluarkan fatwa no. 9A tentang Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan. MUI menetapkan status hukum khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam.
Dalam fatwa tersebut, MUI terlihat berusaha bersikap moderat dalam menyikapi khitan perempuan, MUI tetap menganjurkannya tetapi dengan beberapa catatan khusus, terutama penekanan bahwa khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan.
Praktik khitan perempuan cukup dengan menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris, tidak boleh sampai memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan kerugian bagi perempuan. Oleh karena itu menurut MUI pelarangan sepenuhnya tanpa terkecuali terhadap khitan perempuan bertentangan dengan ketentuan syariat (MUI, 2008).
Lain MUI, lain pula Darul Ifta al-Mishriyyah. Lembaga Fatwa resmi Mesir tersebut cenderung mendukung pelarangan sepenuhnya terhadap khitan perempuan. Bahkan, tanpa ragu fatwa tersebut menyatakan khitan perempuan hanya sebatas produk budaya dan bukan ibadah. Ketika zaman berkembang dan berubah, wajar bila pandangan terhadap khitan perempuan pun berubah. Maksudnya, masyarakat dahulu dengan pengetahuan kala itu menganjurkan khitan perempuan, akan tetapi seiring berkembangnya ilmu medis pandangan seperti itu semestinya diubah (Darul Ifta, 2021).
Selain lembaga fatwa, banyak cendekiawan muslim yang juga penggiat kesetaraan gender di Indonesia menggaungkan pemikirannya terkait khitan perempuan. Tidak sedikit yang berusaha mengkritisi dan merekonstruksi bangunan fikih klasik tentang khitan perempuan yang disinyalir sangat terpengaruh oleh budaya patriarki dan dinilai sangat bias gender.
Sebut saja Kiai Husein Muhammad dalam karyanya, Fiqh Perempuan. Ia mengatakan bahwa dari perspektif kebutuhan seksualitas misalnya, khitan perempuan sangat berbeda dengan khitan lelaki. Khitan terhadap lelaki, yaitu dengan memotong kulit yang menutupi hasyafah (kulup), terbukti sehat dan bermanfaat secara medis.
Karena selain menghilangkan bagian yang menyimpan kotoran dan berpotensi menimbulkan penyakit kelamin, khitan pada lelaki juga akan menambah kenikmatan dan memperlama hubungan seksual. Sehingga lelaki dapat menikmati dan memenuhi kebutuhan biologisnya secara optimal. Ini artinya khitan pada lelaki sangat positif dan memiliki banyak manfaat (Muhammad, 2021: 104).
Sebaliknya, khitan pada perempuan justru sangat negatif. Selain belum terbukti manfaatnya secara medis—bahkan banyak menyebabkan komplikasi dan masalah kesehatan—juga dari sudut kebutuhan seksualitas akan mengurangi kenikmatan ketika berhubungan seksual. Sebab ujung klitoris yang dihilangkan merupakan organ seks perempuan yang cukup sensitif terhadap gesekan dan rangsangan.
Bahkan dalam praktik khitan yang ekstrem, misalnya yang dipraktikkan oleh masyarakat di beberapa daerah di Afrika, khitan dilakukan dengan memotong bibir kecil (labia minora). Cara seperti ini seringkali menyebabkan trauma psikologis bagi perempuan, karena ia tak dapat menikmati hubungan seksual sama sekali. Bahkan tidak sedikit yang berujung kepada kematian (Muhammad, 2021: 105).
Selain menyebutkan mudarat yang akan didapat perempuan baik secara medis, fisik, psikologis maupun seksualitas, Kiai Husein dalam bukunya juga menelusuri hadis-hadis yang dianggap sebagai landasan khitan perempuan beserta kualitasnya. Ia berkesimpulan bahwa tidak ada satu pun hadis sahih terkait perintah khitan perempuan (Muhammad, 2021: 114).
Di tempat lain, Musdah Mulia menilai khitan perempuan tidak sekadar perintah agama atau adat-tradisi. Namun di dalamnya telah tersusupi hasrat melanggengkan relasi gender yang timpang, patrialkal dan tidak adil dan bertujuan mengontrol seksualitas serta fungsi reproduksi perempuan (Mulia, 2014).
Senada dengan keduanya, Faried F. Saenong dalam Khitan Perempuan: Sunnah atau Kekerasan Seksual(?) berkesimpulan bahwa hukum khitan perempuan makruh bahkan haram. Karena menurutnya, tidak ada dalil yang qath’i (pasti) serta sharih (jelas) yang bisa dijadikan pijakan dianjurkannya khitan perempuan (Saenong, 1996: 152).
Adakah Dalil Pasti Khitan Perempuan?
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat memetakan mereka yang menolak khitan perempuan menganggap tidak ada dalil pasti baik Al-Quran maupun hadis yang menganjurkan khitan perempuan. MUI sendiri dalam fatwanya mengutip ayat Al-Quran yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan khitan perempuan. Hadis-hadis yang dihadirkan pun tergolong hadis dla‘if, kualitasnya lemah.
Dapat dikatakan MUI seperti mengikuti apa adanya tiga Imam Madzhab yang membolehkan khitan perempuan, serta menganggapnya sebagai kemuliaan (makrumah) bila dilaksanakan, sedang Imam al-Syafi‘i (w. 204 H.) malah mewajibkan khitan perempuan berdasar pada hadis, meski dinilai sahih, tapi hadis tersebut tidak berbicara secara eksplisit mengenai perintah atau anjuran khitan perempuan.
Pada kenyataannya, setelah melalui kajian lebih lanjut, banyak ulama berkesimpulan bahwa tidak ada dalil sahih yang jelas-jelas memerintahkan khitan perempuan. Sebut saja al-Syaukani (w. 1250 H) dan Sayyid Sabiq (w. 1420 H), bahkan Quraish Shihab juga perpandangan demikian dan mengembalikan persoalan khitan perempuan kepada saran medis (al-Syaukani, 1993: 1/146) (Sabiq, 1977: 1/37) (Shihab, 2019).
Di samping itu, ternyata tidak ditemukan satu pun literatur hadis, sejarah maupun sirah nabawiyah yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. beserta keluarganya melakukan khitan terhadap para istri maupun anak-anak perempuannya (UNICEF, 2016: 41).
Tafsir Qs. An-Nahl Ayat 123
Nyatanya tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit maupun implisit berbicara tentang khitan. Namun praktik khitan ini seringkali dikaitkan dengan ajaran (millah) Nabi Ibrahim, dan umat Islam diperintahkan untuk mengikutinya (Muhammad, 2021: 102). Dalam suatu hadis diceritakan bahwa Nabi Ibrahim berkhitan pada usia 80 tahun dengan menggunakan kapak (HR. Bukhari dan Muslim).
Ayat yang biasanya dianggap memiliki makna harus mengikuti millah Nabi Ibrahim, termasuk khitan, yaitu Qs. An-Nahl [16]: 123:
ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Kemudian, Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim sebagai (sosok) yang hanif dan tidak termasuk orang-orang musyrik.”
Mufasir awal kenamaan, al-Ṭabarī (w. 310 H) menafsirkan ayat perintah mengikuti millah atau ajaran Nabi Ibrahim di atas sebagai perintah bertauhid, mengesakan Allah serta menjauhi penyembahan terhadap berhala seperti telah dipraktikan masyarakat jahiliah kala itu. Al-Thabari sama sekali tidak menyinggung khitan ketika menafsirkan ayat di atas (al-Ṭabarī, 1967: 17/320).
Begitu pula al-Qurṭubi (w. 671 H) ia menyatakan maksud ayat di atas adalah mengikuti akidah yang merupakan ajaran inti (ushūl) Nabi Ibrahim bukan persoalan-persoalan yang sifatnya cabang (furū’iyah). Dapat kita pahami bahwa ajaran inti yang dimaksud adalah tauhid (al-Qurṭubi, 1964: 10/ 198).
Senada dengan keduanya, Ibn ‘Asyur (w. 1393 H), seorang mufasir kontemporer memaknai ayat di atas sebagai pemberitahuan bahwa syariat Islam berpijak pada ajaran inti Nabi Ibrahim. Bukan perintah sesungguhnya agar Nabi Muhammad mengikuti plek-ketiplek ajaran Nabi Ibrahim, karena Rasulullah tentu tidak mengetahui secara rinci bagaimana keseluruhan ajaran Nabi Ibrahim (‘Asyur, 1984: 14/318).
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa para mufasir pun tidak ada yang menafsirkan ayat tersebut sebagai landasan perintah khitan perempuan. Melainkan perintah untuk mengikuti ajaran pokok (akidah) Nabi Ibrahim, yaitu untuk mengesakan Allah Swt, bukan keseluruhan ajaran Nabi Ibrahim secara rinci.
Semua produk fikih masa lalu boleh jadi adalah pandangan pada masanya. Sama seperti Quraish Shihab, sebab tidak ada ayat Al-Qur’an atau hadis sahih yang berbicara tentang khitan perempuan, penulis lebih setuju persoalan ini mesti dikembalikan pada pandangan medis.
“Kalau memang dokter menganjurkan, agama akan merestui. Kalau tidak menganjurkan, agama tidak merestui,” terangnya (Shihab, 2019).
Daftar Bacaan
Al-Qurṭūbī (1964). al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān. (Kairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah).
Al-Syaukani (1993). Nail al-Awṭar. (Mesir: Dar al-Hadiṣ).
Al-Ṭabarī (1967). Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl āy al-Qur’ān. (Mesir: Dār al-Ma‘ārif).
Dar al-Ifta (2021). Ḥukm Khitān al-Ināṡ fi al-Syari’at al-Islāmiyyah. Fatawa Dar al-Ifta al-Miṣriyyah No. 5832 https://shorturl.at/nBJV8 (diakses Jumat, 10 Mei 2024, 10.26 WIB)
Ibn ‘Asyūr (1984). al-Taḥrīr wa al-Tanwīr. (Tunis: al-Dār al-Tūnisiyah li al-Nasyr).
Menkes RI (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/Menkes/Per/Xii/2010 Tentang Sunat Perempuan.
Muhammad, H. (2021). Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender. (Yogyakarta: IRCiSoD).
MUI (2008). Fatwa MUI No. 9A Tahun 2008 Tentang Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan. Jakarta: Komisi Fatwa MUI.
Mulia, M. (2014). “Sunat Perempuan dalam Perspektif Islam”. Jurnal Perempuan. https:// www.jurnalperempuan.org/blog/sunat-perempuandalam-perspektif-islam (diakses Senin, 6 Mei 2024, 11.20 WIB)
Sabiq, S. (1977). Fiqh al-Sunnah. (Kairo: Dar al-Fikr).
Saenong, F. (1996). Khitan Perempuan: Sunnah atau Kekerasan Seksual(?). Tabloid Sehat (Jakarta: P3M).
Shihab, Q. (2019). “Hidup Bersama Al-Qur’an, Ep 60: Sunat Perempuan”. Kanal Youtube Semua Murid Semua Guru https://youtu.be/4ZjtIeugNRo?si=JyJV89czoCnJcBUI (diakses Jumat, 10 Mei 2024, 10.11 WIB).
UNICEF (2016). Al-Manẓūr al-Islāmī li-Ḥimāyat al-Aṭfāl min al-‘Unf wa al-Mumārasāt al-Ḍārra. (Cairo: al-Azhar University). pp. 36-42.
WHO (2024). Female genital mutilation. WHO Newsroom. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/female-genital-mutilation (diakses Selasa, 7 Mei 2024, 10.16 WIB)