Artikel ini mencoba untuk membuka dialog antara teori psikologis Fine dan pesan-pesan Al-Qur’an, dengan harapan mencapai pemahaman yang lebih holistik tentang perbedaan gender. Cordelia Fine dalam karyanya yang berjudul “Delusions of Gender: How Our Minds, Society, and Neurosexism Create Difference,” menghadirkan argumen yang kritis terhadap pandangan tradisional tentang perbedaan gender. Fine menyoroti bahwa stereotip gender tidak semata-mata berasal dari perbedaan biologis antara pria dan wanita, tetapi juga dipengaruhi secara signifikan oleh faktor sosial dan budaya.
Menurutnya, banyak aspek dari identitas gender seseorang tidak ditentukan secara alamiah atau biologis, melainkan terbentuk oleh norma-norma, nilai-nilai, dan ekspektasi sosial dalam masyarakat. Dalam hal ini, pandangan gender yang ada dalam masyarakat merupakan hasil dari proses sosial yang melibatkan interaksi kompleks antara individu dan lingkungan mereka (Cordelia Fine, Delusions of Gender: How Our Minds, Society, and Neurosexism Create Difference, hal. 131).
Selain itu, Fine juga menyoroti konsep neuroseksisme, yaitu kecenderungan untuk menafsirkan dan menggeneralisasi perbedaan biologis antara pria dan wanita ke dalam stereotip gender (Cordelia Fine, Delusions of Gender, hal. 161). Hal ini mencakup keyakinan yang mengakar bahwa perbedaan dalam kemampuan, minat, dan perilaku antara pria dan wanita adalah hasil dari perbedaan biologis yang mendasar, tanpa mempertimbangkan pengaruh kuat faktor-faktor sosial dan lingkungan.
Oleh karena itu, kritik Fine terhadap pandangan tradisional tentang perbedaan gender bertujuan untuk menggarisbawahi kompleksitas faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pembentukan identitas gender dan menantang asumsi yang sering kali menjadi dasar untuk praktek-praktek sosial dan kebijakan publik.
Cordelia Fine mencerminkan ketidaksetujuannya terhadap pandangan bahwa perbedaan-perbedaan gender, terutama yang diduga “bawaan”, dapat secara otomatis membenarkan atau menjelaskan kesenjangan gender yang ada dalam masyarakat. Secara ilmiah, konsep bahwa perbedaan gender bersifat bawaan dari segi biologis telah menjadi subjek perdebatan dalam literatur psikologi.
Studi tentang neuroplastisitas menunjukkan bahwa otak manusia mampu beradaptasi dan berubah sepanjang kehidupan sebagai respons terhadap pengalaman dan lingkungan sekitarnya (Porat Antonius, Vertikalitas Otak & Peringkat Humanitas Manusia, hal. 144). Ini menunjukkan bahwa pengalaman, sosialisasi, dan faktor lingkungan lainnya dapat memengaruhi perkembangan otak dan pembentukan koneksi neuron, yang pada gilirannya dapat memengaruhi perilaku, keterampilan, dan preferensi individu. Selain itu, tekanan sosial dan norma-norma budaya dapat membentuk pilihan karier, minat, dan perilaku rumah tangga.
Meskipun ada perbedaan dalam struktur dan fungsi otak antara pria dan wanita, tidak tepat untuk menyimpulkan bahwa perbedaan-perbedaan ini secara otomatis menentukan perilaku dan preferensi gender. Sebaliknya, penafsiran yang lebih holistik dan multidimensional diperlukan untuk memahami kompleksitas perbedaan gender dalam masyarakat secara ilmiah.
Siapa tokoh yang menegaskan bahwa perbedaan gender ditentukan oleh perbedaan biologis?
Salah satu penelitian yang mencoba untuk menemukan korelasi antara faktor biologis dan perbedaan-perbedaan gender adalah penelitian yang dilakukan oleh Simon Baron-Cohen, seorang psikolog terkenal yang mempelajari autisme dan kecerdasan emosional. Baron-Cohen telah melakukan beberapa penelitian yang menunjukkan perbedaan dalam struktur dan aktivitas otak antara pria dan wanita.
Dalam ilmu psikologi, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai aspek, terutama dalam ekspresi emosi. Meskipun kedua jenis kelamin memiliki rentang emosi yang sama, perempuan cenderung lebih ekspresif dalam mengekspresikan emosi mereka. Mereka lebih cenderung menunjukkan emosi secara verbal dan non-verbal, seperti melalui ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan nada suara (Yuswohady, dkk. Womanology: The Art of Marketing to Woman, hal.. 31).
Baron-Cohen telah mengajukan argumen bahwa perbedaan-perbedaan ini memiliki dasar biologis, karena penelitiannya menemukan bahwa perbedaan dalam neuroanatomis tersebut muncul bahkan pada anak-anak yang belum terpapar oleh pengaruh sosial dan budaya yang signifikan. Argumen ini menunjukkan bahwa faktor-faktor biologis, seperti perbedaan dalam struktur otak, dapat berkontribusi terhadap perbedaan-perbedaan gender dalam perilaku dan preferensinya.
Apa yang menarik dari kajian Cordelia Fine?
Salah satu hal yang menarik dari kajian dalam buku Cordelia Fine adalah pendekatannya yang multidisipliner terhadap studi gender. Fine mengintegrasikan pemahaman tentang neurosains dengan analisis kritis terhadap konstruksi sosial gender. Dia menunjukkan bagaimana pandangan gender dalam masyarakat tidak hanya tercermin dalam norma dan nilai-nilai, tetapi juga terbentuk oleh interpretasi ilmiah yang bias dan terbatas.
Hal ini didukung oleh berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa pikiran manusia rentan terhadap bias kognitif, seperti konfirmasi bias dan pemilihan informasi yang memperkuat keyakinan yang sudah ada. Dia menyoroti bagaimana penelitian neurosains sering kali diinterpretasikan secara diskriminatif. Penelitian semacam ini sering kali mencoba untuk menemukan penjelasan biologis atas perbedaan-perbedaan psikologis atau perilaku antara pria dan wanita, seperti perbedaan dalam kemampuan kognitif, preferensi, atau kecenderungan terhadap penyakit mental tertentu.
Bagi Fine, penelitian semacam itu cenderung menyederhanakan kompleksitas gender menjadi determinan biologis yang berasumsi bahwa perbedaan-perbedaan antara pria dan wanita terutama atau sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor biologis, seperti struktur otak atau kadar hormon.
Selain itu, Fine menantang pandangan yang melekat bahwa perbedaan biologis antara pria dan wanita secara otomatis mengarah pada perbedaan dalam kemampuan, minat, dan perilaku antara kedua gender. Dia menekankan pentingnya menyadari bahwa stereotip gender bukanlah refleksi dari realitas biologis yang absolut, tetapi hasil dari interaksi kompleks antara faktor-faktor biologis, sosial, dan budaya.
Pendekatan Fine terhadap gender telah dikritik oleh mereka yang menganggapnya bersifat behavioristik, dan karena tidak mempertimbangkan apa yang disebut psikiatri sebagai gangguan identitas gender. Kritik juga mengarah pada ketidaksetujuan terhadap pendekatan Fine terhadap isu identitas gender, terutama dalam konteks gangguan identitas gender atau disforia gender.
Psikiatri mengenali gangguan identitas gender sebagai kondisi di mana seseorang mengalami ketidakcocokan antara identitas gender mereka yang dialami secara internal dan jenis kelamin yang ditetapkan pada saat lahir. Fine tidak memberikan cukup perhatian atau pemahaman yang memadai terhadap pengalaman individu yang menghadapi masalah identitas gender.
Namun, seperti yang diungkapkan oleh Fine sendiri, bahwa ia tidak mengikuti pandangan behavioristik atau determinisme sosial dalam perkembangan individu. Sebaliknya, ia mendukung pandangan yang menganggap jalur perkembangan sebagai hasil dari interaksi yang terus-menerus dan dinamis antara otak, genetika, dan lingkungan. Hal ini sejalan dengan pemahaman ilmiah tentang pengaruh genetika, epigenetika, dan pengalaman lingkungan dalam membentuk perkembangan manusia, termasuk pembentukan identitas gender.
Pendekatan ini mencerminkan pandangan bahwa perkembangan manusia tidak ditentukan secara tunggal oleh faktor biologis atau lingkungan, tetapi merupakan hasil dari interaksi kompleks antara keduanya.
Namun, sejauh mana Al-Qur’an memberikan panduan tentang hal ini?
Al-Qur’an tidak secara khusus membahas perbedaan psikologi antara laki-laki dan perempuan. Namun, ada beberapa ayat yang dapat diinterpretasikan sebagai memberikan wawasan tentang perbedaan-perbedaan dalam fitrah atau kodrat antara laki-laki dan perempuan. Interpretasi terhadap ayat-ayat ini dapat bervariasi tergantung pada konteks budaya, sejarah, dan metode interpretasi yang digunakan.
Salah satu ayat yang sering dikutip terkait dengan perbedaan kodrat atau fitrah antara laki-laki dan perempuan adalah Surah An-Nisa/4: 34. Ayat ini menyatakan bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab sebagai pemimpin atau pelindung bagi wanita, dan bahwa Allah telah memberikan kelebihan kepada laki-laki dalam beberapa aspek. Namun, interpretasi terhadap ayat ini telah menjadi subjek perdebatan, dengan beberapa intelektual muslim yang menekankan bahwa tanggung jawab laki-laki sebagai pemimpin harus diinterpretasikan dengan keadilan dan kesetaraan, sementara yang lain menafsirkannya dengan cara yang lebih patriarkal karena dinilai sejalan dengan pesan teks itu sendiri dan konteks historis turunnya ayat tersebut.
Secara zahir memang terdapat ayat Al-Quran yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, “walaisa al-dzakaru kal untsa,” dan laki-laki tidaklah seperti perempuan (QS. Ali Imran/3: 36). Dari segi linguistik, kata “al-dzakar” (laki-laki) dan “al-untsa” (perempuan), secara langsung mengacu pada jenis kelamin atau gender. Dalam bahasa Arab, kata “kal” biasanya digunakan untuk menegaskan perbandingan atau perbedaan antara dua hal. Oleh karena itu, secara harfiah, ayat ini menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan tidak sama.
Dalam konteks ilmiah, pemahaman tentang perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan adalah fakta. Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan fisik dan fisiologis yang jelas, seperti dalam struktur tubuh, hormon, dan fungsi biologis. Selain itu, ada perbedaan dalam sistem endokrin, sistem imun, dan faktor-faktor genetik yang memengaruhi respons tubuh terhadap berbagai jenis stres, baik fisik maupun psikologis.
Meskipun demikian, perbedaan biologis ini tidak secara langsung menentukan peran atau kemampuan individu dalam masyarakat. Al-Qur’an, sebagai kitab suci yang membawa pesan keadilan juga membuka ruang bagi perempuan untuk berkiprah di wilayah publik, seperti QS. Al-Mumtahanah/60: 12. Ayat ini berisi tentang bai’at (janji setia/komitmen) yang diberikan oleh perempuan mukmin kepada Nabi Muhammad SAW untuk ikut serta berpartisipasi dalam membangun masyarakat yang berlandaskan keadilan dan etika. Karena itu, meskipun ada faktor biologis yang mempengaruhi respons individu, prinsip-prinsip Al-Qur’an memastikan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk berkontribusi dan berkembang dalam masyarakat
Top of Form
REFERENSI
Antonius, Porat. Vertikalitas Otak & Peringkat Humanitas Manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018.
Fine, Cordelia. Delusions of Gender: How Our Minds, Society, and Neurosexism Create Difference, New York: Norton & Company, 2010.
Yuswohady, dkk. Womanology: The Art of Marketing to Woman, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.