Janji merupakan salah satu pelita harapan yang membuat seorang insan bertahan dalam segala kondisi dan cobaan. Hal itulah yang membuat umat muslim Palestina masih kokoh pasang badan, mempertahankan tanah air mereka, merebut kebebasan yang telah direnggut dari kehidupannya selama ini. Janji adalah hal yang manis, lebih manis daripada secawan madu yang membuat orang yang merasakannya akan terbelenggu dalam candu. Setiap insan mampu berkata “janji” namun sayangnya rawan untuk diingkari. Tuhan-pun juga berjanji, apakah hal itu merupakan sesuatu yang pasti? Oleh karenanya pada pembahasan ini penulis hendak membahas salah satu ayat (janji) yang difirmankan Allah SWT dalam Q.S Ibrahim (14) ayat 47. Allah Swt. berfirman:
فَلَا تَحْسَبَنَّ اللّٰهَ مُخْلِفَ وَعْدِهٖ رُسُلَهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ ذُو انْتِقَامٍۗ
“Maka karena itu jangan sekali-kali kamu mengira bahwa Allah mengingkari janji-Nya kepada rasul-rasul-Nya. Sungguh, Allah Maha perkasa dan mempunyai pembalasan.”
Pada lafadz فَلَا تَحْسَبَنَّ, jika ditinjau dari kaidah amar-nahi dalam halnya nahi (larangan) pada ayat ini merujuk pada satu tujan tertentu. Dalam kaidah nahi sesuatu yang menunjukan satu larangan adalah mutlak hukumnya untuk ditinggalkan, yang artinya lebuah larangan menjunjukan arti akan haramnya suatu hal sampai kemudian ada indikator yang mengalihkannya. Dan sebagaimana yang pahami oleh para pakar kebahasaan, sebelum sesuatu itu dituntut untuk ditinggalkan, maka huruf Laa (لا) yang berarti “larangan” merupakan tanda yang mendasarinya. Adapun larangan dalam hal ini tidak semata-mata kosong dari makna, ada banyak tujuan yang hendak dicapai di dalamnya. Salah satunya adalah ayat ini yang bertujuan untuk memberikan dampak buruk pada mereka yang menghiraukannya. (Shihab, 2021: 176-177)
Dalam lafadz فَلَا تَحْسَبَنَّ pula terdapat tanda yang bertujuan untuk menguatkan firman Allah Swt. di atas, yakni nun taukid tsaqiilah (ن) yang terletak pada akhir fiil mudhari (تَحْسَبَ). Jika ditinjau dari segi maknanya (semantik), sesuai dengan kaidah ilmu bahasa arab adalah bermakna lebih, artinya menguatkan dengan sangat terhadap muakkad (hal yang dikuatkan).(MZ, Muhammad Wafi, 2021: 343) Kemudian jika dilanjut dengan lafadz selanjutnya فَلَا تَحْسَبَنَّ اللّٰهَ مُخْلِفَ وَعْدِهٖ رُسُلَهٗ, yang berarti “Maka karena itu jangan sekali-kali kamu mengira bahwa Allah mengingkari janji-Nya kepada rasul-rasul-Nya…” dapat dimaknai bahwa secara tegas dan sangat kuat, apabila ada orang yang hanya mengira bahwa Allah Swt. tidak melaksanakan janjinya maka hal itu akan berdampak sangat buruk terhadap orang tersebut. Apalagi, sampai meyakini bahwa Allah Swt. tidak memenuhinya. Jelas Allah Swt tidak lengah terhadap hal apapun sebagimana ter-maktub dalam ayat sebelumnya yang berbunyi:
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللّٰهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظّٰلِمُوْنَ ەۗ اِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيْهِ الْاَبْصَارُۙ
“Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak,” (Q.S Ibrahim [14]: 42)
Sekecil apapun perbuatan seorang insan pastinya akan mendapatkan balasan dari Allah Swt. sebagaimana firman-Nya pula dalam Al-Qur’an surah Al-Zalzalah (99) ayat 8-9.
Jika ditinjau dari segi bahasan-Nya kedua ayat di atas (Q.S Ibrahim [14]: 42 dan 47) terlihat memiliki munasabah (hubungan) antar ayat. Hal ini dikerenakan Q.S Ibrahim (14) ayat 42 s.d 52 fokus membahas kekuasaan Allah Swt. yang tidak lengah atas perbuatan orang-orang dzalim.
Adapun pada Q.S Ibrahim (14) ayat 47 ini merupakan bahasan terkait peringatan Allah Swt. yang sangat tegas lagi kuat terhadap orang-orang dzalim bahwa, Allah Swt. tidak akan mengingkari janji yang telah ia berikan kepada para utusannya. Maksudnya janji untuk memberikan kemenangan itulah bentuk kekuasaan dan keperkaaan Allah Swt. ia maha perkasa termasuk untuk memberi balasan terhadap orang-orang yang berbuat durhaka kepadanya, tidak ada seorang-pun yang dapat menghalanginya untuk memberikan balasan apalagi sampai mengalahkannya. (Al-Mahalli, 2012: 335)
Sebagaimana ter-maktub dalam Q.S Ibrahim (14) ayat 42, balasan Allah Swt. merupakan balasan yang ditangguhkan sampai hari kiamat kelak, dimana pada hari itu orang-orang dzalim akan mendapatkan balasan (azab) yang sangat pedih, sehingga membuat kekosongan di hati mereka. Kepedihan yang orang-orang dzalim itu alami termasuk kesulitan yang mereka dapatkan. Harapan dan permintaan mereka untuk kembali ke dunia ditolak oleh Allah Swt. merupakan kesulitannya. Penolakan itu dikerenakan Allah Swt. telah memberikan banyak contoh dan perumpamaan berupa kisah umat-umat terdahulu yang Allah Swt. binasakan karena kedzalimannya. Inilah janji Allah Swt. yang disampaikan kepada rosul-rosulnya berupa pembalasan di akhirat kelak. Seumpama pembalasan dendam seseorang terhadap musuh-musuhnya karena telah mendzalimi atau menyakiti teman-temannya. (Al-Bantani, 2019: 574)
Bahkan menurut Al-Qusyairi, meskipun ia seorang wali yang dalam arti ialah seorang yang memiliki kedekatan spesial dengan Allah, tidak akan mampu menghalangi Allah Swt. untuk membalas kedzoliman manusia. Allah Swt. akan menuntut pertanggung jawaban untuk setiap tidakan dan menuntut keadilan bagi seluruh makhluknya. Hal itu benar adanya, dan ialah sumber kebenaran sesungguhnya. (Al-Qusyairi, 2007: 130)
Adapun tujuan dari firman Allah tersebut tiada lain adalah untuk mengingatkan kepada manusia bahwa ia tidak lengah dan tidak mungkin ingkar janji terhadap para Rosul yang merupakan pilihannya dan pasti ia akan menolongnya. Hal ini sebagaimana te-maktub dalam Q.S Ghafir ayat 51:
اِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُوْمُ الْاَشْهَادُۙ
“Sesungguhnya Kami akan menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tampilnya para saksi (hari Kiamat),”
Dalam Q.S Al-Mujadilah ayat 21 juga disebutkan:
كَتَبَ اللّٰهُ لَاَغْلِبَنَّ اَنَا۠ وَرُسُلِيْۗ اِنَّ اللّٰهَ قَوِيٌّ عَزِيْزٌ
“Allah telah menetapkan, “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.” Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa.”
Adalah sebuah kekeliruan jika manusia berfikir dan menyatakan bahwa, Allah Swt. lalai akan hal tersebut. Kebenaran akan janji tersebut ditegaskan kembali oleh susunan objek katanya yang mana, kata وعده lebih didahulukan dari kata رسله. Susunan kata tersebut merupakan sebuah penegasan bahwa, Allah Swt. tidak akan pernah mengingkari janji-Nya sedikitpun pada siapapun terlebih pada rosul-sorul-Nya. Sebagaimana dikatakan ان الله لا يخلف الميعاد “sesungguhnya Allah Swt. Tidak akan mengingkari janjinya”, begitulah kurang lebih yang dimaksud Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib-Nya. (Ar-Razi, 2012: 134-135)
Dari pemaparan ayat di atas sangat jelas bahwa janji Allah Swt. untuk menolong hamba-Nya terkhusus bagi para utusan-Nya merupakan hal yang sangat pasti. Perkara ini juga merupakan landasan bagi seluruh amal manusia, bagi mereka yang berbuat taat harus tetap bersemangat, dan bagi mereka yang hendak bermaksiat agar sesegera mungkin bertaubat. Allah Swt. tidak mungkin lengah dari segala perbuatan manusia, janji-Nya akan membalas perbuatan baik dan buruk merupakan suatu keniscayaan. Janji tersebut seperti ketika Allah Swt. memberikan bala bantuan-Nya berupa 1000 malaikat untuk membantu pasukan muslim di Perang Badar hingga akhirnya meraih kemenangan (Q.S Al-Anfal [8]: 9-10). Juga Ketika Muhammad Al-Fatih mengepung Konstantinopel pada tahun 1453 M. ia tidak tahu apakah ia akan keluar sebagai penakluk atau ditaklukan. Namun Al-Qur’an ada dihatinya dan meyakini bahwa, apabila pasukannya adalah sebaik-baik pasukan, maka pertolongan Allah Swt. pasti akan tiba.
Bagitupun saudara muslim di Palestina, kalau bukan karna meyakini bahwa Allah akan menolong mereka, sudah sejak dulu mereka pasti telah menyerah. Namun keyakinan bahwa Allah Swt. akan menolong mereka, sampai saat ini mereka masih mempertahankan kehormatan negaranya. Para pendahulu kita sangat meyakini bahwa, janji Allah Swt. benar-benar nyata. Seperti ketika Perang Yarmuk berkecamuk, yang mana kala itu pasukan muslim hanya berjumlah sekitar 40.000 orang, harus gentar melawan pasukan Romawi yang jumlahnya mencapai 200.000 orang. Namun Panglima Khalid bin Walid tidak demikian, ia terus memberikan semangat kepada pasukannya yakin dan meyakinkan bahwa, sebesar apapun pasukan Romawi dihadapannya tidak seberapa jika dibandingkan dengan pasukan muslim yang memiliki Allah sebagai penolongnya.
Begitupun manusia di zaman ini, hidup sejatinya merupakan peperangan. Perang yang teramat besar karna melawan hawa nafsu yang merupakan musuh terberat. Akan celaka mereka yang dikalahkannya dan akan bahagia mereka yang menaklukannya. Oleh karena itu ber-tafakrur dan yakin akan janji Allah Swt. bahwa Ia adalah sebaik-baik penolong, dan mengingat bahwa segala amal akan mendapatkan balasan-Nya merupakan bentuk perlawan terhadap hawa nafsu agar kita senantiasa diberikan kekuatan untuk menaklukannya, guna memperoleh derajat mulia di sisi Allah Swt. dan memperoleh kedamaian di dunia maupun di akhirat.
Referensi
Al-Bantani, Muhammad Nawawi. 2019. Tafsir Munir: Marah Labid. Jilid 1. 1st ed. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Al-Mahalli, Jalaluddin dan Jalaluddin As-Suyuthi. 2012. Tafsir Jalalain. 1st ed. Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah.
Al-Qusyairi, Abdul Karim. 2007. Tafsir Al-Qusyairi: Lathaif Al-Isyarat. Jilid 2. 2nd ed. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Ar-Razi, Fakhruddin. 2012. Tafsir Al-Kabir: Mafatihul Ghaib. Jilid 16. Dar El-Hadist.
MZ, Muhammad Wafi, dan Bahauddin Mursalim. 2021. Khazanah Andalus: Menguak Karya Monumental Alfiyah Ibnu Malik. 3rd ed. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Shihab, M. Quraish. 2021. Kaidah Tafsir. 7th ed. Tanggerang: Lentera Hati.