Respon Bijak Perdebatan al-Quran Kalâm Allah Swt atau Kalâm Muhammad: Telaah Pandangan Syaikh Ramadhan al-Buthi

Seminar Internasional yang diselenggarakan oleh Universitas PTIQ Jakarta (Selasa, 25 Juni 2024) dihadiri oleh tiga narasumber yaitu Mun`im Sirry (Univ. Notre Dame, USA), Muhammad Nuruddin (Univ. Al-Azhar, Mesir), dan Mikdar Rusdi (Univ. Seri Begawan, Brunei). Terjadi diskusi yang hangat (panas?) dan memang sebelumnya sudah terjadi di media sosial.  Universitas PTIQ Jakarta berusaha mempertemukan keduanya dalam acara seminar yang tujuannya diskusi ilmiah dan mencari titik temu dari keduanya.

Tulisan ini akan sedikit merespon terkait masalah perdebatan al-Quran dengan menelaah sebuah karangan yang menurut penulis perlu dikaji sebagai titik temu di mana letak perbedaan antara perdebatan ini sampai hari ini. Bahkan sejak dulu dari kalangan para ahli kalam sudah terjadi perdebatan yang sengit. Yaitu kelompok Muktazilah dan Ahlusunnah wal Jamâ’ah serta aliran lainnya.

Bacaan Lainnya

Tulisan ini fokus menelaah buku yang dikarang oleh Syaikh Muhammad Ramadhan al-Buthi yang berjudul “Kubrâ al-Yaqînîyât al-Kaunîyât”. Di sini dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah keyakinan termasuk persoalan al-Quran, apakah perkataan (kalâm) Allah atau perkataan Muhammad. Namun, di akhir tulisan ini akan mengutip dari kitab yang lain sebagai bagian dari respon bijak terhadap isu yang diperdebatkan.

Pada bagian kedua karyanya, Syaikh al-Buthi menjelaskan tentang sifat-sifat Allah Swt. Nilai tauhid yang harus ditanamkan adalah, sesungguhnya Allah Swt disifatkan dengan semua sifat yang sempurna dan disucikan dari semua sifat yang kurang, karena sifat ketuhanannya menghendaki sifat yang sempurna (al-Buthi, 1998:108). Ini menunjukkan bahwa Allah Swt Maha Suci dari segala yang kurang.

Syaikh al-Buthi juga menjelaskan, bahwa para ulama telah membagi sifat-sifat Allah Swt menjadi empat; 1) sifat nafsîyah, yakni sifat yang berhubungan dengan dzat Allah Swt (kepribadian), 2) sifat salbîyah, yakni sifat yang menolak apa yang tidak layak bagi Allah Swt, 3) sifat ma’ânî, yakni sifat yang ada pada dzat Allah Swt, dan 4) sifat ma’nawî, yakni sifat yang tetap bagi Allah Swt.

Sampai pada penjelasan sifat ma’nawî, dikatakan adalah setiap sifat yang ada pada Allah Swt yang menghendaki hukum tertentu bagi Allah Swt, seperti sifat ‘ilmu (mengerti), menghendaki Allah disifati dengan Yang Maha Mengetahui (‘āliman). Disini letak perbedaan antara Muktazilah dan mayoritas ulama’ jumhur Ahlussunnah wal Jamâ’ah pada masalah sifat ma’nawî.

Muktazilah mengingkari adanya semua sifat ma’nawî, mereka mengatakan bahwa Allah Swt Maha Mengerti tanpa harus disifati dengan yang namanya ‘ilmu dan Maha Kuasa tanpa harus disandarkan pada sifat yang namanya qudrat. Alasan mereka, hal itu mengakibatkan banyaknya sifat dahulu “qidâm” (ta’addud al-qudamâ’), sedangkan Allah Swt adalah dzat wajib mengerti dan kuasa, maka tidak butuh sifat-sifat yang disandarkan padanya.

Dijawab oleh ulama’ Ahlussunnah, ini semua adalah prasangka (wahm) mereka (Muktazilah) saja. Perkara yang mustahil adalah banyaknya dzat yang Maha Dahulu (ta’addud al-dzawât al-al-qadîmah) bukan banyaknya sifat untuk Allah Swt, sedangkan sifat ilmu (‘alîmîyah) bukan satu-satunya yang paling banyak disandarkan pada Allah Swt. Jadi tidak ada yang namanya butuh dan yang dibutuhkan, oleh sebab itu bisa dipahami bahwa menyandarkan sifat ilmu pada Allah tidak berarti status kesempurnaan Allah disebabkan sifat tersebut.

Masuk pada sifat ma’nawî terkait sifat kalâm (perkataan), sebagaimana yang dijelaskan diatas tentang sifat ma’nawî bahwa perkataan (kalâm) Allah adalah sifat azali yang berada pada dzat Allah Swt. Dengan sifat kalam-nya, Allah Swt disebut “yang memerintah” (âmir), “yang melarang” (nâhin), “pemberi kabar” (mukhbir), dan semuanya ini telah diungkapkan dengan tersusun rapi yakni yang diwahyukan kepada utusannya seperti al-Qurân, Taurat, Injîl, dan Zabûr (al-Buthi, 1998:124).

Dalil tentang ketetapan sifat-sifat Allah Swt adalah nash-nash pasti (qoth’î) dan tetap (tsâbit) dalam al-Quran dan hadis, seperti QS. al-Nisa’ 164 secara jelas Allah Swt berbicara (kallama) kepada Nabi Musa. Sedangkan dalam hadis, Syaikh Buthi menyebutkan tentang Nabi Muhammad Saw yang naik ke langit. Dan masih banyak dalil-dalil al-Quran sendiri yang mengatakan demikian. Inilah yang dipegang oleh kebanyakan ulama Ahlussunnah wal Jamâ’ah baik secara aqlȋ dan naqlȋ.

Syaikh al-Buthi memberikan kesimpulan, bahwa perkataan (kalâm) Allah Swt yang berbentuk bahasa arab memiliki dua makna; pertama, lafadz-lafadz yang diungkapkan dari makna yang berada pada dzat Allah Swt. kedua, makna yang berada pada dzat Allah yang mana dapat diungkapkan dengan lafadz-lafadz, sebagaimana syairnya Ibnu Akhthal yang mashur dalam kalangan ulama ahli kalam. Juga secara langsung Sayyidina Umar mengatakan;

“Saya ingin menyiapkan/menyusun perkataan (maqâlah) dalam diri/hatiku, dan kebanyakan engkau mengatakan pada temanmu bahwa dalam diriku terdapat perkataan (kalâm) yang ingin aku katakan”. Sehingga, ungkapan yang telah dikeluarkan disebut dalîl yang artinya “petunjuk”, dan perkataan yang ada di hati disebut madlûl yang artinya “yang ditunjuk”. Maka, ucapan yang telah diucapkan oleh lisan merupakan tanda apa yang ada dalam hati.

Letak persamaan antara Muktazilah dan Ahlussunnah wal Jamâ’ah adalah sama-sama mengakui bahwa suara dan lafadz itu adalah ciptaan Allah yang statusnya diciptakan (makhlûq) dan baru (hadîst). Ini sudah diketahui bersama dalam kalangan Ahlussunnah. Akan tetapi dibalik kata dan suara itu, Ahlussunnah memberi istilah lain yaitu kalâm yang merupakan sifat yang ada pada dzat Allah Swt. Sifat yang dipersiapkan untuk berbicara dengan Allah yakni al-Quran. Makanya, orang yang membaca al-Quran dikatakan sedang berbicara dengan Allah Swt.

Berbeda dengan Muktazilah, menolak istilah sifat kalâm, mereka tidak menyandarkan sifat qidâm (dahulu) Allah pada sifat kalâm yang ada pada diri dzat Allah (kalâm nafsî). Namun kalâm nafsî dikembalikan pada sifat ilmunya Allah Swt jika bersifat informatif/ khabarȋ (khabar), dan dikembalikan pada sifat kehendak (irâdah) Allah jika berupa perintah dan larangan. Inilah yang melatar belakangi perdebatan al-Quran kalâm Allah apa makluk, dan al-Quran apakah qidâm (dahulu) atau baru (hadîst).

Syaikh al-Buthi juga menjelaskan sejarahnya, bahwa sejak dulu memang terjadi perdebatan antara orang Islam dan gereja dan letak persoalannya pada QS. al-Nisa’ 171. Tepat pada kata al-Masȋh. Namun, uniknya belum ditemukan dalam nash tentang dalȋl kuat yang mengatakan al-Quran adalah perkataan makhluk atau Muhammad Swt, sedangkan yang ada justru sejarah al-Quran yang dikatakan perkataan penyihir (kâhin) atau kalâm Muhammad dan itu dibantah langsung dengan al-Quran sendiri.

Terakhir yang perlu dikatahui bersama adalah bahwa permasalahan apakah al-Quran kalâm Allah atau kalam makhluk merupakan hukum cabang (furû’) dari permasalahan keyakinan (akidah). Hal ini disebutkan Zulfa Musthafa dalam karyanya yang berjudul “Dhawâbith Bahst al-Masâil wa al-Iftâ’ ‘inda Nahdlah al-‘Ulamâ’” (Zulfa, 2023:6):

تنتظم هذه الأحكام الفرعية كافة المسائل الموسومة بالمسائل الاعتقادية وهي المسائل التي اختلف فيها أهل العلم بالكلام قديما، كاختلافهم في رؤية الله، وتحيزه في السماء تعالى الله عن ذلك، ومعاني العديد من الأسماء والصفات، وكون القرآن كلام الله أو مخلوقا، وزيادة الإيمان ونقصانه، وخلود مرتكب الكبائر في النار وعدمه، وغيرها من المسائل المدروسة في علم الكلام.

Terjemah bebasnya: di antara permasalahan keyakinan (I’tiqâd) yang sifatnya cabang (furû’) yaitu perbedaan ahli ilmu tentang kalâm itu qadȋm, melihat Allah Swt, di atas langit, makna-makna asma’ dan sifat, al-Quran kalâm Allah atau makhluk, bertambah dan berkurangnya imam, kekalnya pelaku dosa di neraka dan lainnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut respon bijak yang perlu disampaikan, dalam konteks secara umum dan mengecualikan komunitas akademik—hal ini penting dengan melihat dua tokoh sebelumnya memang memiliki nuansa penyampaian kepada khalayak umum, umat Islam tidak perlu terlalu mempermasalahkan hal yang memang sifatnya cabang dalam agama. Selama masih bersyahadat kepada Allah Swt dan meyakini bahwa sumber al-Quran adalah dari Allah Swt tanpa mengingkari dan lain sebagainya. Maka, orang tersebut masih dikatakan muslim dan saudara seiman. Meskipun, dalam pemikirannya berbeda jauh dari mayoritas umat Islam.

Hal yang perlu ditekankan adalah bijak dalam menyampaikan sesuatu, jika memang apa yang disampaikan akan membawa manfaat dan menambah keyakinan pada umat islam, maka hal itu perlu disampaikan, namun, jika sifatnya mendalam yang sekiranya sulit dipahami oleh kalangan umat Islam, maka alangkah baik cukup disampaikan pada forum tertentu, karena menghindari hal-hal yang mengakibatkan sebaliknya.

Referensi:
Al-Buthi, Muhammad Ramadhan. Kubrâ al-Yaqînîyât al-Kaunîyât, Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997.

Mustafa, Zulfa. Dhawâbith Bahst al-Masâil wa al-Iftâ’ ‘inda Nahdlah al-‘Ulamâ’, Jakarta: Masjid Jami’ Nurul Huda, 2023.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *