Dalam dunia akademik, khususnya dalam kajian gender, sering terjadi bias konsepsi antara Gender dan Seks/Jenis kelamin. Miskonsepsi ini dapat kita temukan dalam banyak kajian terkait gender. Seperti ketika mengkaji tentang Kesetaraan-Gender. Diskusi yang terjadi dalam kajian tersebut justru membahas tentang Kesetaraan-Jenis-Kelamin. Atau feminisme yang, kendati memperjuangkan feminitas atau femaleness, justru nge–break the feminity labelling.
Penulis melihat perlunya klarifikasi atas konsep gender. Bias konsepsi ini sering mengantarkan pada ke-nggak-nyambung-an ketika terjadi diskusi terkait gender. Dalam tulisan ini, penulis mengambil contoh konsep 5 gender di masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan, ditambah dengan pendekatan interdisipliner.
Gender berasal dari bahasa Latin, Gener–Genus, yang berarti jenis, ras, spesies (OED, 2024). Menurut Oakley, Sex dan Gender adalah klasifikasi jenis manusia dari konsep yang berbeda. Sex / jenis Kelamin adalah klasifikasi berdasarkan genital biologis alat reproduksi. Sedangkan gender, adalah produk budaya (Oakley, 1985: 16).
Konsep gender yang dipahami pada umumnya adalah konsep gender biner. Dalam kajian biologis, manusia hanya terbagi menjadi 2 jenis berdasarkan jenis kelaminnya. Yaitu, pria dan wanita. Jika gender didasarkan pada jenis kelamin semata, maka, gender hanya ada dua/ biner. Konsep gender biner ini tentu tidak akan berlaku bagi makhluk hidup lain karena ada yang tidak berjenis kelamin, berkelamin ganda, dan trans (nb: jika benar gender itu biner).
Konsep gender biner ini melahirkan kategorisasi sifat maskulin dan feminin. Lebih jauh, konsep gender biner juga melahirkan stereotype tentang bagaimana penyandang gender maskulin dan feminin berpikir, berperilaku, bekerja dan sebagainya. Stereotype ini menybabkan keharusan, secara sosial, kepada kedua jenis kelamin untuk berpikir, berperilaku, bekerja dan sebagainya sebagaimana gender masing-masing keduanya seharusnya.
Dalam realitas kehidupan, interaksi antar manusia melahirkan kebiasaan dan kebudayaan. Dalam hal gender, laki-laki dan perempuan niscaya berinteraksi. Interaksi dari keduanya akan menikahkan berbagai sifat-sifat. Karenanya, ada sifat keperempuanan dalam laki-laki, pun sebaliknya. Sifat keperempuanan dan kelaki-lakian yang penulis maksud adalah sifat-sifat yang dalam konsep gender biner dikategorikan sebagai feminin dan maskulin.
Dalam konsep gender biner, sifat maskulin mewakili kekuatan, perlindungan, kemandirian, persahabatan, disiplin, persaingan, militerisme, agresi, kebiadaban, dan kebrutalan. Sedangkan, feminitas mewakili kelemahan, kerapuhan, ketidakberdayaan, emosi, kepasifan, domestikasi, pengasuhan, daya tarik, kemitraan, kelebihan, dan godaan (Meyeriwuts, 2008: 1351).
Jika melihat dari konsep gender dalam budaya masyarakat adat Bugis, konsep gender lebih kepada pengelompokan jenis kelamin seseorang dan cara ia menjalani hidup, baik dalam gaya hidup (lifestyle), berpenampilan (clothing), berperilaku (behaviour), peran sosial dan ritual (social and ritual roles), praktik seksual (sexual practice), dan hasrat erotis (erotic desires). Untuk memudahkan pemahan, penulis meminjam kategorisasi gender biner.
Dalam masyarakat adat Bugis, gender terbagi menjadi lima. Pertama, Oroane (Laki-laki Maskulin), Makkunrai (Perempuan Feminin), Calabai (Laki-laki Feninin), Calalai (Perempuan Maskulin) dan Bissu’ (Gender Netral). Kategorisasi ini tidak hanya berdasarkan jenis kelamin, tapi juga dari bagaimana ia berpakaian, berperilaku, bekerja dan aspek-aspek sosial budaya lainnya.
Seorang antropolog yang meneliti gender masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, mengatakan dalam tulisannya bahwa, “Gender ideal (laki-laki harus maskulin, perempuan harus feminin) itu terlalu strict untuk masyarakat Bugis.” (Sharyn, 2007: 17). Uniknya, masyarakat Bugis telah lama memiliki istilah khusus untuk manusia berjenis kelamin pria dan berperilaku feminin, calabai, dan sebaliknya bagi calalai.
Bissu’ yang dianggap sebagai tokoh perantara atau mediator antara Tuhan dan Manusia berasal dari kata mabessi yang berarti “bersih” (Andini, 2017: 25). Bissu’ bukan berada di antara, tapi beyond dari keempat gender tersebut. Bissu’ adalah laki-laki yang bercirikan bunga di kepala dan badi’ di panggul mereka. Atribut tersebut sebagai simbol keluhuran sifat feminin dan maskulin pada dirinya (Sharyn, 2007: 26).
Pada era Order Lama, 1965, DI/TII melancarkan Operasi Toba’ yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Operasi ini bertujuan untuk men-taubat-kan (toba’) masyarakat. Target operasi ini adalah penganut ajaran (faith) lokal seperti Kejawen dan Arajang. Pada operasi ini, tokoh-tokoh masyarakat bugis seperti Sanro (Dukun/Orang Pintar Bugis), termasuk Bissu’ juga menjadi sasaran dan banyak yang dipermalukan dengan digunduli, bahkan dibunuh (Andini, 2017: 30).
Operasi Toba’ memberi dampak negatif kepada para gender selain Oroane dan Makkunrai. Laki-laki yang tidak berperilaku dan berpenampilan ‘selayaknya’ laki-laki, atau sebaliknya bagi perempuan, dianggap telah tersesat oleh kelompok ini. Mereka pada selanjutnya mendapatkan banyak diskriminasi dan bullying akibat paham konsep gender biner yang dianutnya (Stables, 2021).
Karya penelitian gender yang perlu diperhitungkan juga adalah, Sex and Temprament milik seorang antropolog bernama Margaret Mead. Dalam pembacaannya, Mead melihat bahwa, genderisasi di 3 sampel yang ditelitinya didasarkan pada jenis pekerjaan dan pakaian yang kemudian membuat perilaku orang tersebut menjadi sebuah-perilaku gender-tertentu (Mead, 1977: 279-280).
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah gender manusia bersifat li-dzātihi atau li-ghayrihi? Apakah seseorang bergender feminin karena dirinya memiliki sifat feminin? Atau ia feminin karena ia menggunakan atribut feminin? Jika gender bersifat li-dzātihi, maka, aspek-aspek yang ditampilkan feminis dapat dikategorikan sebagai feminin. Dengan begini, maka, atribut seperti busana, karakter dan gaya hidup manusia feminin menjadi tergenderisasi.
Apakah seseorang adalah calalai karena ia berperilaku calalai? Jika demikian, maka gender dapat menjadi tidak terbatas jumlahnya, sebagaimana bertambahnya LGBT menjadi LGBTQ hingga LGBTQQIAAP dan LGBTQIA2+S. Atau ia adalah calalai karena ia adalah wanita dengan behaviour oronae?
Pada dasarnya, atribut-atribut, pekerjaan dan perilaku bersifat netral gender. Namun, jika melihat sejarah manusia dalam bertahan hidup dari masa ke masa, atribut, pekerjaan dan perilaku dianggap lahir dari jenis kelamin tertentu. Karena ia lahir dari jenis kelamin tertentu, maka ia dikategorikan bergender tertentu.
Memasak, contohnya. Apakah ia adalah pekerjaan feminin? Pada dasarnya, memasak adalah basic-skill manusia untuk dapat bertahan hidup. Tapi, pada masa manusia masih berburu untuk mendapatkan sumber makanan, manusia berjenis kelamin wanita tidak lebih unggul dibanding pria, sehingga, pembagian peran pun diniscayakan. Pria berburu bahan masakan dan wanita mengolah bahan masakan. Pola ini berlanjut ke era peperangan hingga kini (Kollock, 1985: 35).
Pria, dengan keunggulan biologisnya untuk pekerjaan fisik, akan lebih menguntungkan dalam berperang. Atribut-atribut (bahkan warna) yang sekarang dikenal bergender maskulin pun lahir dengan pola yang sama sebagaimana memasak tergenderkan. Begitu pula dengan sifat-sifat keindahan dan kelembutan yang tergenderisasi. Manusia yang tidak ikut berperang, sifat kelembutannya akan lebih menonjol dibanding sifat lain. Dan yang terakhir ini terjadi pada wanita.
Dalam budaya Bugis, sekalipun ada istilah tersendiri bagi pria-feminin (calabai), wanita-maskulin (calalai), dan gender netral (bissu’), kategorisasinya bersifat li-ghayrihi. Baik calabai, calalai atau bissu’, mereka bergender demikian karena menganggap perilaku dan karakter mereka berbeda sebagaimana oroane dan makkunrai berperilaku dan berkarakter.
Banyak bidang pekerjaan yang telah netral dari gender. Sebagai contoh, manager. Manager tidak lagi tergenderkan sebagai pekerjaan maskulin atau feminin, dulu disebut sex-roles. Ia telah netral berkat telah banyaknya penjabat pekerjaan tersebut dari kedua jenis kelamin, yang sebelumnya dimonopoli oleh pria sehingga tergenderkan sebagai pekerjaan maskulin.
Bukti lain bahwa kesadaran gender netral mulai meningkat juga dapat dilihat dari mulai banyaknya pakaian-pakaian yang netral gender. Pakaian-pakaian ini biasa disebut unisex. Pantas bagi pria dan wanita.
Pertanyaan selanjutnya, apakah gender itu fitrah atau pilihan? Ayat yang sering dikaitkan dalam hal ini adalah surah Al-Rum (30): 30. Baik mufassir kontemporer seperti Ibn ‘Asyur, ataupun mufasir sufistik seperti Al-Allusi, keduanya tetap mengisyaratkan bahwa kata fitrah di ayat itu pun bersifat temporal, karenanya Allah memerintahkan pendirian.
Sekalipun ayat ini ditarik kekonteks orientasi gender, maka, pernikahan homoseksual perlu diperjuangkan. Namun, ini bertentangan dengan prinsip hifdz-nasl. Tetapi, lagi, apakah produk tafsir dapat disalahkan dengan kaidah ushul, sedangkan kaidah ushul juga lahir berkat penafsiran? Pertanyaan ini kita simpan untuk nanti.
Penulis tidak menemukan urgensi kategorisasi gender secara ideal. Penelitian-penelitian terkait urgensi gender justru hanya membahas di ranah jenis kelamin atau posisi hirarkis. Seperti pembolehan pria-feminin dalam kompetisi wanita. Aturan ini justru hanya melanggengkan patriarki dengan pemberian kesempatan mendominasi wanita bahkan pada kompetisi fisikal khusus wanita.
Atau aturan menikah dalam budaya 5 gender Bugis. Pernikahan homogender adalah ilegal sekalipun heteroseksual, sedangkan heterogender adalah legal sekalipun homoseksual (Sharyn, 2007: 28). Homoseksual ini tentu bertentangan dalam ajaran mayoritas ulama Islam yang berpendapat bahwa pernikahan yang sah hanyalah heteroseksual.
Dalam kajian sejarah peradaban, genderisasi digunakan untuk menciptakan hirarki bangsa. Dengan genderisasi, Amerika menciptakan kesan “si paling maskulin” pada bangsanya dan me-feminisasi bangsa lain, termasuk India yang disebut olehnya sebagai pasif, emosional dan tidak jantan. Dengan genderisasi, Amerika berhasil membuat India ‘merasa’ butuh bergantung (depends on) padanya (Meyeriwuts, 2008: 1350). Pernah dengar “Negara Paling Ramah”?
Perbedaan (mungkin juga perubahan) fungsi dan penggunaan kata gender niscaya terjadi. Karena, secara bahasa pun, gender hanya berarti “jenis” (selevel dengan ras). Gender tidak berarti feminin, apalagi berarti perempuan. Perubahan ini terjadi tergantung pada siapa penggunanya, digunakan untuk apa juga dalam konteks apa.
Karenanya, penting kiranya bagi pengkaji gender untuk menjelaskan terlebih dahulu konsep gender seperti apa yang dikajinya. Memfilter referensi terkait gender hanya pada penelitan dengan konsep gender yang sama dengan pengkaji. Tidak sedikit kajian tentang gender yang justru menggunakan istilah gender untuk menggantikan kata perempuan. Atau pengkaji kesetaraan gender namun enggan menyetarakan gender diluar konsep biner.
Terlebih bagi peneliti Al-Qur’an dan tafsir di Indonesia yang berfokus gender. Dengan paham gender biner yang menjadi mayoritas di Indonesia, juga tidak adanya term gender dalam Al-Qur’an, harus lebih berhati-hati. Bangunan variabel penghubung antara teks Al-Qur’an dengan konsep gender serta klarifikasi konsep gender menjadi sangat tricky.
Penulis berharap, ada penelitian lebih lanjut terkait urgensi konsep gender yang lebih mendalam dan esensial. Tidak sekedar pembelaan terhadap komunitas tertentu atau menormalisasi budaya tertentu. Terlebih hanya berlindung dalam slogan “demi keadilan dan hak asasi manusia”. Terkadang, manusia lebih suka menjadi ‘pahlawan kemanusiaan’, dibanding menjadi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Andini, Batari Oja, The Islamization in Bugis Society during the Darul Islam Era under Kahar Muzakar in 1960s, DINIKA, Vol. II, No. 1, 2017
Davies, Sharyn Graham, Challenging Gender Norms: Five Genders among Bugis in Indonesia, Thomson Higher Education, USA: 2007
Ellemers, Naomi, Gender Stereotypes, Annual Review, 2018
Kollock, Peter, dkk, Sex and Power in Interaction: Conversational Privileges and Duties, American Sociological Review, Vol. 50, 1985
Mead, Margaret, Sex and Terperament in Three Primitive Society, Routledge, London: 1977w
Meyerowits, Joanne, The History of “Gender”, Yale University, American Historical Review, Amerika: 2008
Oakley, Ann, Sex, Gender and Society, London: 1972, (edisi revisi: 1985)
Oxford English Dictionary, GENDER, Oxford University Press, 2024, https://www.oed.com/dictionary/gender_n?tab=etymology&sort=DateOldFirst&tl=true#3044893 diakses pada tanggal 28 Juli 2024
Stables, Daniel, Asia’s isle of five separate genders, BBC: 13 Maret 2021, https://www.bbc.com/travel/article/20210411-asias-isle-of-five-separate-genders diakses pada tanggal 29 Juli 2024