Kurusetra Tafsīr al-`Ilmī: Tafsir Saintifik Di Tengah Penerimaan dan Gugatan Sarjana Muslim Tradisional dan Kontemporer [Bagian – 2]

Tafsir Saintifik keberadaannya di antara dua kutub: penerimaan dan penentangan mencipta dinamika yang unik dan resisten. Para proponen dan litigantnya tidak benar-benar kuasa membuat publik untuk menyetujui ataupun menolak seluruhnya. Dari dulu hingga kini selalu begitu. Dua kubu yang bersengketa mengajukan justifikasi masuk akal yang baik untuk dimengerti. Masing-masing pihak diisi oleh para kawakan mufasir.

Pada barisan penjaja dan pendukung tren ilmiah ada nama Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 604 H), al-Hasan bin Muhammad bin Husain al-Qummī al-Naisābūri (w. 850 H) [ingat kembali lakab Nadldlām al-A’raj/Penyair Pincang], Muhammad bin `Abdillah al-Zarkasyī (w.794 H), `Abd al-Rahmān bin Abi Bakr al-Suyūți (w. 911 H), Abũ al-Fadl al-Mursī (655 H).

Bacaan Lainnya

Walau tak terang-terangan menyatakan keberpihakan atas infiltrasi sains dalam hermeneutika al-Qur’an, penerimaan mereka ditafsirkan dan tersimpulkan melalui kekompakan meneguhkan universalitas kandungan al-Qur’an. Abu Fadl al-Mursī, dinukil berkala dan diamini al-Suyūți di kitabnya Mu’tarak al-Aqrān, al-Iklīl fī Istinbāț al-Tanzīl, dan al-Itqān, meminjam kalimat Ibn `Abbās, “law dlā’a lī `iqāl ba’īr lawajadtuhu fī kitāb-llāh (andai aku kehilangan tali kekang unta pasti kutemukan kembali dalam (melalui) al-Qur’an)—untuk menekan keparipurnaan pengetahuan al-Qur’an (`Abd al-Rahmān bin Abī Bakr al-Suyūțī, 2020: 1910).

Apa yang sebenarnya ingin dikatakan al-Mursī di atas sederhana: jangankan sekadar sains, tali kekang unta yang hilang bisa dicari dalam al-Qur’an. Bagi beberapa orang itu tampak hiperbolis, namun pernyataan itu menjuntai pada firman Tuhan Qs. al-An’ām [6]: 38 dan al-Nahl [16]: 89; tak ada yang luput dari al-Qur’an dan ia menjelaskan seluruh persoalan.

Dari nama-nama di atas, sebagian tak hanya mendukung, bahkan benar-benar melakukan kajian sains dalam tafsirnya. Dua di antaranya al-Rāzī dan al-Qummī. Bisa dilihat dengan saksama dari karya keduanya. Dalam Mafātih al-Ghaib al-Rāzī, penafsiran atas Qs. al-Nahl [16]: 68-69, menampilkan pengamatanya terhadap lebah: rumah hexagon yang sangat sempurna secara tata arsitektur dan penggunaan tambur sebagai kompas dan penanda arah pulang (al-Rāzī, 1981: 71-72).

Al-Qummi pun setali tiga uang dengan al-Rāzī (kenyataannya memang Qummī banyak mengambil keterangan dari al-Rāzī). Buka Gharā’ib al-Qur’ān wa Raghā’ib al-Furqān dan simak penafsiran Qs. al-Baqarah [2]: 102. Jelas di sana ia memasukkan keterangan mengenai jenis sihir, kiat-kiat kesehatan dan pantangan bagi orang mimisan (al-mar’ūf) dan penyintas ayan (al-mașrū’), serta kaidah dan diktat natural sciences tentang adanya hukum kausasi-determinis antara kondisi fisiologis dan psikologis (inna al-ahwāl al-jismāniyyah tābiatun li al-ahwāl al-nafsāniyyah).

Untuk yang terakhir itu al-Qummī mengambil keterangan dari al-Syifā Ibn Șīnā yang sanadnya bersambung pada Aristoteles. Ia mencontohkan perubahan fisik ayam betina sebab psikologinya condong maskulin (ayam tomboi?): suara kukuruyuk-nya dan keberaniannya semakin kelaki-lakian. Perubahan itu ditandai munculnya taji (Jawa: jalu) pada kaki ayam betina (al-Naisābūrī, 1996: 346-347).

Pasca tokoh yang disebut di awal elan dari tendensi sains dalam tafsir ini nian berkembang bertala-tala sebujur meningkatnya ilmu pengetahuan dan literasi umat Islam. Spirit untuk menguak misteri alam yang tak sempat terucapkan sebelumnya menemukan momentum melalui kerja Muhammad Abduh (w.1905) dan ‘sejawat sepemikirannya’ seperti: Muhammad Jamāl al-Dīn al-Qāsimī, Mahmūd Syukri al-Ālūsī, syaikh Țanțāwī Jawharī, Mușțafā Șādiq al-Rāfi’ī.

Jika dibandingkan model penafsiran sains Abduh dkk. dengan pendahulunya didapati ada gradasi wacana. Awalnya diskursus sains hanya sebagai anotasi yang ditambahkan pada ayat yang diinterpretasi. Namun sejak abad 20, persisnya di tangan Abduh, mulai ‘berani’ mengutak-atik makna lema tertentu yang itu tidak ‘umum’. Misalnya, Abduh mengartikan țayr yang ada pada surat al-Fīl sebagai organisme kecil yang dikenal mikroba di era ini—dan ia memahami kejadian bencana pasukan gajah sebagai ‘disaster wabah’ yang beda sama sekali dengan catatan mayoritas (`Abduh, 1922: 157-158).

Atau, selain yang diperbuat Abduh, ada upaya menggeret ayat tertentu untuk ditempelkan pada kesimpulan sains yang masih ‘kabur’ kepastiannya. Barangkali bisa dibahasakan ayatisasi tetapan sains. Lihat pada demonstrasi yang ajeg oleh `Abd al-Razzāq Naufal (Naufal, 1984b: 200). Ia amat percaya diri dalam Allāh wa `Ilm al-Hadīs, buka fasase Suknā al-Kawākib, memfatwakan adanya kehidupan di planet lain (ia menyebut Mars). Simpulan ini tak memberi syak sebab, bagi Naufal, Qs. al-Isrā’ [17]: 44 telah memberi clue yang cukup jelas dan mendukung hipotesa dalam teori panspermia (Naufal, 1984a: 240).

Upaya radikal ini menjadi sifat distingtif manuver tafsir sains di era modern atau kontemporer. Motivasi di baliknya juga sudah tak lagi sesederhana mengais makna di luar domain hukum an sich, tetapi beranjak pada pembuktian ilmiah yang belum sempat, atau tidak mampu diungkap, oleh masyarakat di saat pewahyuan berlangsung.

Semua muslim berpadu kepercayaan: al-Qur’an sebagai mukjizat. Abduh berangkat dari postulat (musallamāt) itu. Ia lalu menjelaskan pusparagam mukjizat dalam beberapa hal: struktur kebahasaan (uslūb), syariat, yang supranatural, dan hal-hal gaib. Pada galibnya mukjizat barusan sudah terbeber sejak Islam awal (hingga kini pastinya). Tidak dengan sains. Zaman lampau begitu ‘terbatas’ untuk menjangkaunya. Ini menjadi giliran dan tugas muslim sekarang.

Senada itu Muhammad Jamāl al-Dīn al-Qāsimī (w. 1914 M [konon ia memiliki ingatan fotografis]), pengagum tulus Muhammad Abduh, meminjam komentar para astronom yang meneguhkan: pelik-pelik sains seolah telah disediakan untuk umat belakangan (fa-kaannahā hadzihi al-āyāt ju’ilat fī al-qur’ān mu’jizāt li al-muataakhirīn). Bila tempo dulu kebahasaan al-Qur’an dan syariat yang disarikan darinya menjadi ‘pelemah dan pengunggul’ zamannya, maka di masa ini dengan pengedepanan sains umat Islam dikaruniai mukjizat berupa ayat kauniyah. Ihwal ini baru benar-benar ‘dirayakan’ sedemikian rupa dalam gerakan penafsiran saintifik saat ini (al-Qāsimī, 2003: 210-213)

Karena ayat kauniyah sama bernilai mukjizat sebagaimana kebahasaannya, maka pasti relevan bertautan dengan ilmu eksak alih-alih saling meniadakan. Itu ucapan Mahmūd Syukrī al-Ālūsī (w.1922 [cucu dari Mahmūd al-Ālūsī pemiliki tafsir Rūh al-Ma’ānī])—dalam Mā Dalla `Alaihi al-Qur’ān. Persisnya begini kalimatnya: mā asyāra ilaihi allahu huwa al-haqq alladzī lā yumkinu an tunāqidla ma’ahu al-haqāiq al-`ilmiyyah allatī yutsbituhā al-bahtsu itsbātan qāți’an (al-Ālūsī, 1997: 4).

Merujuk pada intensi itu semua ulama merumuskan definisi tafsir sains sebagai usaha menyeiringkan ayat-ayat kitab suci pada teori dan terminologi ilmu alam. Penulis tafsir genre sains selalu memusatkan diri untuk merilis masai-masai sains dan filsafat dari statement al-Qur’an. Pengertian ini oleh ulama yang bersikap ketat (bahkan yang galak sekalipun) terhadap penafsiran saintifik dikontraskan dari i’jāz al-Qur’an. Al-Tafsīr al-`Ilmī itu satu hal, dan al-I’jāz al-`Ilmī itu hal lain. Walau keduanya dalam kasus-kasus tertentu dan terbatas kadang berarsiran. Di sini lokus perdebatannya (al-Qaradlāwī, 2000: 396-397).

Tak semua yang termuat dalam tafsir saintifik berarti adalah mukjizat ilmiah. Wilayah tafsir sains itu luas, tidak dengan I’jāz `ilmī cenderung terbatas (karena al-Qur’an memang bukan semata kitab sains). Tafsir sains mensyaratkan penguasaan terhadap disiplin tertentu dari cabangan ilmu alam guna untuk mendekati al-Qur’an. Berbeda dengan mukjizat ilmiah. Ia dapat diterima segera oleh semua lapisan kalangan lintas zaman sesaat setelah membacanya dan mengerti maknanya.

Agar lebih terang perbedaan keduanya begini: tafsir ilmi dalam kerjanya melibatkan banyak pendekatan filsafat alam (astronomi, biologi, kimia, geologi, aritmetika, dan seterusnya). Sementara I’jaz `Ilmī tidak demikian. Ia berisi pemberitaan al-Qur’an yang andal tentang sesuatu dan terbukti secara eksperimental. Ingat kembali ayat yang bercerita tahap perkembangan janin (ațwār al-janīn), kaidah zaujiyyah (creation in pairs: semua serba berpasangan), aksioma air pangkal kehidupan dan semisalnya—yang semuanya terafirmasi oleh ilmu pengetahuan. Ulama memasukkan I’jaz `Ilmi ke dalam bagian I’jāz bayānī. Di antara dua domain itu percaturan terjadi pada aras yang pertama (tafsir saintifik).

Mahmūd Syaltūt (w.1963) melayangkan bantahan keras namun bernas kepada semua penerap metode saintifik ini. Poin-poin kritik Syaltūt: satu, upaya hermeneutikasi ayat-ayat melalui sains tidak hanya gagal dus semakin menjauhkan pelakunya dari tujuan pokok penurunan al-Qur’an. Dua, kerap terjadi pemaksaan takwil. Tiga, membawa al-Qur’an pada teritorial pengetahuan yang terbuka untuk difalsifikasi dan direvisi. Poin terakhir menyembulkan efek domino tak sepele. Di masa depan tak mustahil sakralitas al-Qur’an disoal (Syaltūt, 2004: 10-12).

Agar itu tak terjadi, Syaltūt mendorong upaya ‘penyucian’ al-Qur’an dari dua hal: pencatutan al-Qur’an demi laba sektarian (ta’wīl al-qur’ān wifaqa al-madzāhib) dan ayatisasi temua sains (tafsīr al-qur’ān `alā muqtadlā al-nadlariyāt al-`ilmiyyah).

Di tempat lain keengganan datang dari Syauqī Dla’īf. Ia memandang ketidaklaikan tafsir santifik sebab, baginya, tafsīr `ilmī hanyalah produk ketidakseriusan (tajannah `an al-jāddah). Salah total, ia menyebut Abduh dan kritiknya memang diarahkan padanya, yang berkebiasaan buruk mengisbat teori ilmiah menggunakan teks al-Qur’an.

Murid kinasih Abduh yakni Muhammad Rasyīd Ridlā (w.1936) juga ‘kurang sudi’ dengan gagasan ilmiah yang banyak diselundupkan dalam tafsir. Kekurangsudian itu tercurah dalam sekapur sirih tafsir al-Manār cetakan kedua. Tanpa aling-aling ia menyebut Fakhr al-Rāzī melakukan penyimpangan-penyimpangan: memuat diskursus aritmetika, astronomi, gagasan Yunani—yang kesemuanya itu menyempal jauh dari ayat yang dibicarakan.

Persis belaka dengan Abu Hayyān (w. 745 H) saat menyitir pendapat sebagian ulama yang mengomentari tafsir Mafātih al-Ghayb, “al-Rāzī dalam tafsirnya menjelaskan banyak hal kecuali tafsir itu sendiri: qāla fīhi kulla syai’ illā al-tafsīr (Yūsūf, 1993: 511).

Naasnya, Rasyīd Ridlā menyayangkan, perilaku ini langgeng diwarisi sebagian orang sesudahnya. Btw, saya penasaran apa Abduh juga menjadi subjek kecamannya. Jika iya, berarti dia fair. Suatu saat jika berkesempatan bermimpi Rasyid Ridlā saya akan mengajukan pertanyaan ini dengan membawa Tafsīr Juz `Amm karya gurunya itu.

Ākhir al-kalām, demikianlah selisih pendapat yang terjadi sehubungan keabsahan tafsir santifik. Meski beda dalam banyak sisi, mereka sama dalam keyakinan ketaktertandingan al-Qur’an (mukjizat). Namun perlu dipermaklumkan di sini, ini pendirian hamba yang fana dan bukan siapa-siapa, salah besar jika melakukan klaim pada kesimpulan tertentu dari temuan sains hanya untuk menyatakannya lebih benar dari yang lain—lebih-lebih menyangka bahwa pembelaan ini bagian dari dogma agama.

Misal Anda mengatakan bahwa gagasan bumi datar itu benar dan didukung oleh ayat al-Qur’an. Lantas Anda memvonis ‘dosa besar’ kelompok bumi bulat karena menyalahi sains yang ditempeli ayat. Di saat itulah sejatinya Anda berbuat kriminal atas agama. Al-Ghazali menegaskan, man dzanna ann al-munādlarah fī ibțāli hadzā min al-dīn faqad janā `alā al-dīn wa dla’afa amrahu (siapa saja yang menyangka menggagalkan suatu gagasan dari ilmu alam sebagai bagian dari agama maka ia telah melakukan kriminalitas dan memperlemah agama). Wallāhu a’lam bi al-șawāb.

 

REFERENSI

`Abd al-Rahmān bin Abī Bakr al-Suyūțī. (2020). Al-Itqān fī `Ulūm al-Qur’ān. Wizārat al-Syu’ūn al-Islāmiyyah (MOIA).
`Abduh, M. (1922). Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Tafsīr Juz `Amma) (3rd ed.). Mațba’ah Mișr.
al-Ālūsī, M. S. (1997). Mā Dalla `Alaihi al-Qur’ān Mimmā Ya’dludu al-Hai’ah al-Jadīdah al-Qawīmah al-Burhān (2nd ed.). al-Maktabah al-Islāmī.
al-Naisābūrī, H. al-Q. (1996). Gharā’ib al-Qur’ān wa Raghā’ib al-Furqān (1st ed., Vol. 1). Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah.
al-Qaradlāwī, Y. (2000). Kaifa Nata’āmal Ma’a al-Qur’ān al-`Adlīm (3rd ed.). Dār al-Syurūq.
al-Qāsimī, M. J. al-D. (2003). Mahāsin al-Ta’wīl (2nd ed., Vol. 1). Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah.
al-Rāzī, M. (1981). Mafātih al-Ghayb (Vol. 20). Dār al-Fikr.
Naufal, `Abd al-Razzāq. (1984a). Allāh wa al-`Ilm al-Hadīts. Dār al-Mișr.
Naufal, `Abd al-Razzāq. (1984b). Al-Qur’ān wa al-`Ilm al-Hadīts. Dār al-Kutub al-`Azalī.
Syaltūt, M. (2004). Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm al-Ajzā’ al-`Asyarah al-Ūlā (12th ed.). Dār al-Syurūq.
Yūsūf, ibn M. (Abū H. al-A. (1993). Tafsīr al-Bahr al-Muhīț (1st ed., Vol. 1). Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *