Pada tradisi pendidikan filsafat Yunani masa klasik hingga setibanya di abad Pertengahan (dalam pendidikan Skolastiknya) dikenal dan dipraktikkan secara meluas apa yang disebut dengan The Seven Liberal Arts: Tujuh Seni/Kecakapan Liberal (Iain T, 2020). Di dalamnya terhimpun tujuh macam bidang yang teringkas dalam dua kategori: Trivium dan Quadrivium. Gramatika, logika, dan retorika itu bagian dari Trivium. Sedang empat sisanya: matematika, musik, geometri dan astronomi adalah kandungan dari Quadrivium.
Beberapa perguruan di Barat saat ini masih menerapkan Liberal Arts dalam kurikulmnya. Di sana, trivium dikenal sebagai art of the word—media transimisi informasi dari yang sederhana sampai yang rumit di antara manusia. Adapun quadrivium, kerap disebut arts of number or quantity, piranti yang memungkinkan manusia berinteraksi secara baik bersama tatanan alamiahnya dengan bentuk angka dan jumlah (Finn Cleary, 2024).
Selanjutnya, gagasan-gagasan pengetahuan Yunani yang terkumpul dalam Liberal Arts itu menyeberang ke dunia Islam melalui aktivitas penerjemahan (Graeco-Arabic translation movement). Kesarjanaan Yunani-Arab mencatat arus masif penerjemahan ini terjadi dalam bentangan abad delapan hatta paruh akhir abad sepuluh. Nyaris seluruhnya, untuk tak mengatakan semuanya, buku-buku Yunani sekuler non-sastra dan non-sejarah Kekaisaran Byzantine Timur dan Timur Dekat (Near East) dialihbahasakan ke Arab (Gutas & Dimitri, 1998: 1-8).
Gerakan penerjemahan ini, yang persis dengan berkuasanya dinasti Abbasiyah, berlangsung di Baghdad, tepatnya di Bayt al-Hikmah (The House of Wisdom): pusat penerjemahan dan gudang bagi salinan dan catatan penting pengetahuan disimpan. Sebagian besar subjek pengetahuan warisan dari zaman Helenistik, Romawi, dan zaman antikuiti akhir, Persia, Sansekerta yang dapat kita nikmati sampai detik ini itu telah melewati tahap penerjemahan dan komentar dari para muslim polymath di era medieval. Berbanjar lurus antusiasme pengetahuan yang gegap gempita, ditambah animo para pemimpin atas filsafat, menyediakan keniscayaan kemajuan peradaban yang belum ada padanannya hingga kiwari. Begitu wajar jika sejarah mencatatanya sebagai masa keemasan (golden agaes/al-`așr al-dzahabī).
Dari situ terjadi perjumpaan antara ortodoksi Islam dan beberapa budaya serta wawasan Persia, Sansekerta, India, wabilkhusus Yunani dalam bidang filsafat. Hal ini bisa dibaca secara terang dari karya-karya sarjana muslim raksasa seperti Ibn Sīnā (w.427 H) dan segolongan misterius yang jamak dengan nama Ikhwān al-Șafā’. Dua figur yang disebut barusan, sebetulnya masih banyak, memasukkan wacana filsafat dalam kitabnya (termasuk traktat sains [dulu sains, waktu itu masih menggunakan nama țabī’iyyāt/filsafat alam, bagian integral filsafat sebelum akhirnya berpisah]).
Ibn Sīna membagi pembahasan dalam Al-Syifā’ (The Book of Healing) menjadi empat macam: mantiq (logika), țabī’yyāt (sains), riyādliyyāt (aritmetika), ilāhiyyāt (metafisika). Ikhwān al-Șafā melakukan hal yang sama dalam anggitan ensiklopedisnya Rasāil Ikhwān al-Șafā’ wa Khullān al-Wafā (Treatises of the Brethren of Purity). Kasunyatan ini menandaskan dan mendukung kesimpulan adanya interaksi mendalam antara Islam dan peradaban di luarnya.
Sirkumstansi ini menciptakan nuansa baru dalam horizon pemikiran Islam tak terkecuali merambah pada tren penafsiran al-Qur’an. Dengan kata lain, mulai terjadi perluasan paradigma dalam mendekati al-Qur’an. Salah satu di antaranya pendekatan saintifik (ittijāhat `ilmī fī al-tafsīr). Akar kuno berkecambahnya tafsīr `ilmī digelar mulanya pada masa pertengahan ini. Sosok al-Ghazali (w.505 H) dianggap sebagai promotornya (`Abd al-Majīd `Abd al-Salām al-Muhtasib, 1982: 245-247).
Al-Ghazālī dengan beberapa narasinya terlibat dan bersaham ‘mendemonstrasikan’ tafsir saintifik. Statement-nya kemudian dijadikan landasan bagi mufasir setelahnya untuk menjajaki al-Qur’an dari sudut sains. Di jilid satu Ihyā’ `Ulūm al-Dīn, tepatnya di fasase keempat uraian fī fahm al-qur’ān wa tafsīrih bi al-ra’yi min ghair naql (pemahaman al-Qur’an tak berlandaskan petunjuk atsar)—al-Ghazālī menyitir hadis: inna li al-qur’ān dzahiran wa baținan wa haddan wa mațla’an; arti parafrasalnya: al-Qur’an memiliki dwiarti; eksoterik-esoterik, tersurat-tersirat (Muhammad bin Muhammad al-Ghazālī, 2004: 379).
Hadis yang dikutipnya itu menjadi jangkar dogmatis bagi argumentasinya lebih-lebih saat al-Ghazālī melakukan pembagian lapisan pengetahuan al-Qur’an pada karyanya Jawāhir al-Qur’ān (kitab yang ditulis setelah Ihyā’) atas dua aras utama: satu, `ilm al-qasyr wa al-șadaf (pengetahuan ‘cangkang’); dua, `ilm al-lubāb (pengetahuan subtil/ core). Disiplin ilmu bahasa, sintaksis, morfologi, qira’āt, makhārij al-hurūf dan tafsir tekstual terhitung pengetahuan cangkang. Sedang yang subtil/ core, sebagaimana yang dituturkannya, seperti kisah para nabi, kalam, fikih, usul fikih, hari akhir, dan kehidupan pasca kematian, dan seterusnya tak terhingga (Muhammad al-Ghazālī, 1986: 44-48).
al-Ghazali dengan hakulyakin memastikan semua jenis pengetahuan di masa sekarang dan masa depan tersampul dalam setiap huruf dan larik ayat al-Qur’an. Hanya menunggu yang ahli di masing-masing bidang mengesktraknya. Tentu hal ini menandaskan satu hal: al-Qur’an yang tak bertepi tak akan pernah terungkap seluruh nilainya dari keterbatasan yang ada dalam bahasa ‘keluasan akal’ manusia. Sains yang begitu agung di hari ini, tegas al-Ghazalī, itu hanya bagian terkecil dari ‘satu cidukan’ samudra ilmu al-Qur’an.
Merepetisi paparan sebelumnya, traktat sains yang tersebar dalam al-Qur’an hanya mungkin diraih oleh pakarnya. Al-Ghazālī berangkat memberikan gambaran: tiada mungkin Qs. al-Syu’arā’ [26]: 80 (ayat syifā’) dan semisalnya dipahami oleh yang tidak mengerti ilmu medis. Begitu halnya Qs. al-Rahmān [55]: 5, Qs. Yūnus [10]: 5, Qs. Al-Qiyāmah [75]: 8-9, Qs. Al-Fāțir [35]: 13, Qs. Yāsīn [36]: 38—mempercakapkan ihwal pergerakan benda langit dan atau rotasi planet—mustahil dicerna kecuali terbatas pada eksper astronomi dan selenologi. Prinsip asasiah ini berlaku bagi tema serumpun liyannya sebut saja: embriologi, mineralogi, dan seterusnya.
Secara personal al-Ghazālī menganggap ilmu macam sains tak begitu berarti sebab tak berkonsekuensi langsung dan pasti pada ‘kelayakan’ hidup dan akhirat (la yatawaqqaf `alā ma’rifatihā șalāh al-ma’āsyi wa al-ma’ādi). Oleh karena alasan tersebut, al-Ghazālī merasa tak perlu memperpanjang bahasannya. Walau demikian, rumusan al-Ghazālī inilah yang mendasari para mufasir setelahnya untuk mengudari sisi-sisi saintifik al-Qur’an. Namun, keberterimaan tafsir `ilmī di tengah sebagian sarjana muslim tradisonal juga kontomporer tak berarti ia bebas akan kecaman dan gugatan. Bagaimana kurusetra tafsir santifik digelar, ikutilah berlangsungnya perdebatan itu di bagian kedua sekuel dari tulisan pertama ini.
REFERENSI
`Abd al-Majīd `Abd al-Salām al-Muhtasib. (1982). Ittijāhāt al-Tafsīr fī al`Așr al-Rāhin (1st ed.). Maktabah al-Nahdhah al-Islāmiyyah.
Finn Cleary. (2024). Understanding the Trivium and Quadrivium. HillsdaleCollege.
Gutas, & Dimitri. (1998). Greek Thought, Arab Culture : The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (2nd-4th & 8th-10th C.) (1st ed.). Routledge.
Iain T. (2020). Philosophy and the Liberal Arts. LiberalArts.
Muhammad al-Ghazālī, M. bin. (1986). Jawāhir al-Qur’ān (2nd ed.). Dār Ihyā’ `Ulūm.
Muhammad bin Muhammad al-Ghazālī. (2004). Ihyā’ `Ulūm al-Dīn. Dār al-Hadīts.