Minangkabau Awal Abad ke-20
Awal abad ke-20 merupakan periode penting dalam perkembangan intelektualisme di Minangkabau, khususnya di bidang agama. Salah satu hasil dari perkembangan intelektual di Minangkabau pada awal abad 20 ialah banyaknya hasil karya tulis yang lahir dari ulama-ulama saat itu. Data mengenai karya tulis ulama yang muncul pada dekade awal abad 20 belum terekam dengan baik, namun dapat dipastikan lebih dari seratus karya tulis (Putra, 2017: 135).
Pada periode ini mulai bermunculan juga kitab-kitab tafsir di Nusantara, tak terkecuali di Minangkabau. Sejumlah ulama di Minangkabau menjadi pemeran utama atas keberlangsungan penulisan tafsir Al-Qur’an (Putra, 2021: 176). Nama-nama seperti Haji Abdul Karim Amrullah dengan al-Burhan, Syeikh Sulaiman Arrasuli dengan Risālah al-Qaul al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān, Mahmud Yunus dengan Tafsir Qur’an Karim Bahasa Indonesia, Abdul Latif Syakur dengan al-Da’wah wa al-Irsyād ilā Sabīl al-Rasyād, adalah tokoh-tokoh Minangkabau yang turut berkontribusi dalam perkembangan tafsir di Indonesia.
Selain karyanya yang terkenal, al-Da’wah wa al-Irsyād ilā Sabīl al-Rasyād, Abdul Latif Syakur ternyata juga menulis sebuah kitab tafsir berjudul Tafsīr Āyāt Yā Ayyuhā al-Nās yang selama ini kurang mendapat perhatian.
Manuskrip Tafsīr Āyāt Yā Ayyuhā al-Nās
Tafsīr Āyāt Yā Ayyuhā al-Nās karya Syekh Abdul Latif Syakur saat ini masih tersimpan dalam bentuk manuskrip. Manuskrip tersebut disimpan secara pribadi oleh Khuzaimah, ahli waris Syekh Abdul Latif Syakur. Meskipun belum diterbitkan secara luas, manuskrip ini telah terdaftar dalam katalog daring Lektur Kemenag dengan nomor pengenal “LKK_PYK2015_Mengatas 02”. Naskah terdiri dari 52 halaman. Teks ditulis dalam bahas Arab dan Melayu Minangkabau dengan menggunakan aksara Arab Melayu atau Jawi (Fadila, 2020: 87-90).
Teks ini secara umum membahas ayat-ayat yang diawali dengan kata-kata yā ayyuhā al-nās yang diterjemahkan oleh Syekh Abdul Latif Syakur dengan ‘hai bangsa manusia’. Redaksi yā ayyuhā al-nās yang ditafsirkan oleh Syekh Abdul Latif Syakur hanya 17 ayat dari beragam surat yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Kuantitas tersebut berbeda dari jumlah total 21 ayat Al-Qur’an yang berawalan yā ayyuhā al- nās, sebagaimana yang terdapat pada al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fādzi al-Qur’ān al-Karīm (Fadila, 2020: 73-74).
Aspek Lokalitas dalam Tafsīr Āyāt Yā Ayyuhā al-Nās
Tafsir Al-Qur’an di Minangkabau jika dilihat dari sisi corak (laun) tafsir, mayoritas bercorak al-Adab wa al-Ijtima’ī, seperti tafsir al-Burhān karya Haji Abdul Karim Amrullah dan Risālah al-Qaul al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān karya Syeikh Sulaiman Arrasuli. Karya tafsir tersebut menawarkan gagasan tafsir yang mengakomodir lokalitas dan bahkan dalam karya tafsir tersebut akan ditemui kritik dan korelasi antara budaya lokal dengan Islam (Putra, 2021: 319). Adapun dalam menelaah Tafsīr Āyāt Yā Ayyuhā al-Nās, tulisan ini akan memaparkan beberapa aspek lokalitas yang meliputi latar belakang penulisan, keterserapan bahasa, sampel, dan adagium lokal, serta kritik terhadap kolonialisme.
Tafsir Āyāt Yā Ayyuhā al-Nās dilatarbelakangi oleh keinginan Syekh Abdul Latif Syakur untuk mengumpulkan ayat-ayat Allah yang diawali dengan yā ayyuhā al-nās sebagai salah satu bentuk metode dakwahnya kepada masyarakat Minangkabau. Ia berusaha membuat masyarakat lebih akrab dengan Al-Qur’an dengan cara yang mudah dipahami, yaitu dengan membahas tema-tema tertentu, dalam hal ini ayat-ayat yang dimulai dengan kalimat yā ayyuhā al-nās.
Syekh Abdul Latif Syakur juga menginformasikan pada halaman 2 teks dalam kolofon bahwa naskah tersebut ditulis di Balingka pada tanggal 19 Maret 1949, ketika terjadi pertempuran di daerah tersebut. “Sekianlah pendahuluan karangan ini sementara kita di dalam suasana darurat dijelma oleh musuh. Wa tawakkal ‘ala Allah! Hormat diri hamba wa al-salam ‘alaykum Haji Abdul Latif Syakur Sabtu 19 Jumadil Awal 1368 Η 19 Maret 1949 M Di Balingka sedang bertempur” (Syakur, 1949: 2).
Berdasarkan kutipan kolofon di atas, dijelaskan bahwa naskah tafsir ini diproduksi atau ditulis pada tahun 1949 M dalam keadaan darurat. “Dijelma oleh musuh” menunjukkan bahwa situasi darurat tersebut disebabkan oleh serangan atau ancaman dari musuh. Tahun penulisan teks bertepatan dengan agresi militer Belanda, sehingga pada halaman-halaman berikutnya, Syekh Abdul Latif Syakur menunjukkan semangat untuk menentang dan mengkritik kolonialisme yang dilakukan Belanda (Fadila, 2020: 4).
Selain latar belakang penulisan tafsir di atas, aspek lokalitas bisa ditemukan dalam beberapa penggunaan bahasa Minang yang diadopsi ke dalam naskah tersebut. Hal ini terlihat dari penggunaan kata-kata dan diksi khas Minangkabau, seperti bakato (berkata), tagah (cegah), petus (petir), dan lain-lain. Penggunaan bahasa lokal ini menunjukkan bahwa Syekh Abdul Latif Syakur ingin agar tafsirnya dapat dipahami oleh masyarakat Minangkabau secara umum.
Syekh Abdul Latif Syakur juga menyerap adagium lokal Minangkabau dalam tafsirnya. Hal ini terlihat dari kutipan naskah ketika menafsirkan surah al-Nisā’ [4]: 1, beliau menulis adagium lokal, “bakato di bawah-bawah manyawuk di hilia-hilia”. Dalam konteks penafsiran ayat ini, Abdul Latif Syakur menafsirkan ulu al-arhām dengan berkaum, berkerabat, dan berbangsa, menekankan untuk memeliharan persatauan dan hubungan kekeluargaan sebagai sesama anak bangsa.
Beliau melanjutkan penjelasan penafsiran tersebut dengan uraian meskipun semua manusia bersaudara, namun seringkali terjadi perselisihan dan perpecahan karena berbagai faktor. Ia menganalogikan hal ini dengan dua orang anak kecil yang awalnya akur namun akhirnya bertengkar saat dewasa. Kemudian Abdul Latif Syakur mengumpamakan kaum Barat yang datang ke Indonesia dengan mengutip adagium lokal Minangkabau, “bakato di bawah-bawah manyawuk di hilia-hilia”.
Adagium ini menggambarkan sifat licik dan manipulatif penjajah Barat. Mereka datang dengan berpura-pura baik dan ramah, namun sebenarnya memiliki niat buruk untuk menjajah dan merampas kekayaan Indonesia. Dalam konteks penafsiran surah al-Nisā’ [4]: 1, kutipan pepatah lokal tersebut juga mengingatkan untuk memelihara persatuan sebagai sesama bangsa serta selalu waspada dan tidak mudah tertipu dengan penampilan luar seseorang.
Uraian di atas telah menunjukkan bagaimana Syekh Abdul Latif Syakur menghidupkan penafsirannya dengan memasukkan unsur-unsur lokal yang dekat dengan kehidupan masyarakat Minangkabau. Penggunaan analogi lokal, seperti pertikaian antara dua anak kecil yang semula akur, membantu menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga persatuan meskipun ada potensi perselisihan. Lebih lanjut, penggunaan adagium lokal “bakato di bawah-bawah manyawuk di hilia-hilia” memberikan gambaran konkret adanya kepekaan Syekh Abdul Latif Syakur terhadap konteks sosial dan budaya masyarakatnya.
Aspek lokalitas dalam tafsir Syekh Abdul Latif Syakur tidak hanya sebatas penggunaan bahasa dan budaya Minangkabau, tetapi juga mencerminkan kritik tajam terhadap kolonialisme Belanda. Tafsir ini menjadi cerminan dari respons Syekh Abdul Latif Syakur terhadap kedatangan Belanda dan perilaku mereka terhadap bangsa Indonesia. Melalui pepatah Minang yang dipilih, menegaskan bahwa Syekh Abdul Latif Syakur adalah orang yang anti kolonial. Sikap anti kolonial ini diperkuat dengan mendeskripsikan watak orang-orang Belanda yang datang ke Indonesia sebagai berikut: “Berkehendak membeli bahan-bahan yang kefarduan mereka, tetapi lama menjadi penjajah pengenas darah.”
Ungkapan di atas adalah sebuah bentuk sikap licik Belanda yang digambarkan oleh Syekh Abdul Latif Syakur melalui tafsir ini. Menurutnya juga, sikap Belanda ini adalah bentuk sebuah penghianatan yang nyata terhadap bangsa Indonesia. Maka dari itu Syekh Abdul Latif Syakur menyadarkan bangsa Indonesia dan mengajak untuk menentang penghianatan tersebut dengan pernyataan berikut: “Buat mencegah dan melawan khianat itu, bersatulah kita yang kaum kerabat sebangsa senusa supaya teguh dan aman.” (Fadila, 2020: 192-193).
Syekh Abdul Latif Syakur menunjukkan bahwa penafsiran Al-Qur’an dapat diwarnai dengan nuansa lokal, sehingga lebih mudah dipahami dan diresapi oleh masyarakat setempat. Kearifan lokal yang terjalin dalam penafsiran tidak hanya memperkaya khazanah tafsir Nusantara, tetapi juga menunjukkan relevansi Al-Qur’an dengan konteks sosial budaya masyarakat yang mengitarinya.
Referensi
Fadila, Zikra. “Naskah Tafsir Āyāt Yā Ayyuhā al-Nās Syekh Abdul Latif Syakur (1882-1963): Tafsir Kebangsaan dari Ranah Minang Abad XX.” Tesis Magister Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2020.
Gusmian, Islah. “Tafsir Al-Qur’an Bahasa Jawa: Peneguhan Identias, Ideologi, dan Politik,” Suhuf, Vol. 9, No. 1. Juni 2016.
Putra, Aldomi, dkk. “Lokalitas Tafsir Al-Qur’an Minangkabau: Studi Tafsir Minangkabau Abad ke-20,” Al-Quds: Jurnal Studi Alquran dan Hadis, Vol. 5, No. 1. 2021.
Putra, Aldomi. Tafsir Al-Qur’an Minangkabau Epistemologi Lokalitas dan Dialektika: Studi Tafsir Minangkabau Abad ke-20. Tangerang Selatan: IMTI Jabodetabek. 2021.
Putra, Apria. “Ulama dan Karya Tulis: Diskursus Keislaman di Minangkabau Awal Abad 20,” Fuaduna: Jurnal Kajian Keagamaan dan Kemasyarakatan, Vol. 9, No. 2. 2017.
Syakur, Abdul Latif. Tafsīr Āyāt Yā Ayyuhā al-Nās. Manuskrip. Balingka. 1949.