Humor dalam Dakwah menurut Al-Qur’an: Kajian atas Nilai Hikmah dalam QS. An-Nahl ayat 125

Dalam dakwah, metode penyampaian pesan yang efektif menjadi kunci agar ajaran Islam dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat. QS. An-Nahl ayat 125 memberikan pedoman utama dalam berdakwah, yaitu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan dialog yang santun. Ketiga prinsip ini menunjukkan pentingnya pendekatan yang bijak, fleksibel, dan penuh empati. Dalam hal ini, humor dapat menjadi metode yang menarik dan relevan untuk menyampaikan pesan-pesan Islam. Humor tidak hanya mampu mencairkan suasana, tetapi juga membantu da’i lebih dekat dengan audiens, sehingga pesan yang disampaikan lebih mudah diterima.
Namun, humor dalam dakwah bukan sekadar untuk menghibur. Dalam Islam, humor harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti tidak menyakiti, tidak merendahkan, serta tetap mengandung pesan hikmah dan edukasi. Rasulullah SAW juga menggunakan humor di waktu-waktu tertentu sebagai bentuk kebijaksanaan dalam berdakwah, tetapi tetap menjaga kesopanan dan etika. Oleh karena itu, humor dalam dakwah harus selaras dengan nilai-nilai hikmah dalam QS. An-Nahl ayat 125, sehingga dapat menjadi sarana yang efektif tanpa kehilangan nilai-nilai keislaman.

Bacaan Lainnya
Makna hikmah dalam berdakwah

Kata hikmah memiliki beberapa makna yang perlu dipahami untuk menemukan arti sebenarnya. Dalam bahasa Indonesia, hikmah dapat diartikan sebagai: (1) kebijaksanaan, atau (2) kemampuan luar biasa yang sering disebut sebagai kesaktian. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki hikmah adalah individu yang diberkahi dengan kebijaksanaan mendalam atau keistimewaan luar biasa. Sementara itu, istilah “kata-kata hikmah” mengacu pada ungkapan atau pernyataan yang sarat dengan nilai kebijaksanaan dan makna yang mendalam. (Alhidayatillah, 2019:28). Dalam tafsirnya, Al-Alusi menjelaskan bahwa hikmah adalah kemampuan untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya, serta pemahaman mendalam tentang agama, baik dari Al-Qur’an maupun hadis (Al-Baghdādī, 2001:285).
Ibnu Asyur mengartikan hikmah sebagai kesempurnaan ilmu dan pengamalan yang sesuai dengan ilmu tersebut. Sementara itu, Ibnu Rajab mendefinisikan hikmah sebagai segala sesuatu yang mencegah kebodohan dan menghindarkan dari keburukan (Asyūr, 1996:461).
Dalam bahasa Arab, istilah da’wah berasal dari bentuk mashdar yang memiliki arti panggilan, ajakan, atau seruan. Kata ini berakar dari kata kerja da’a, yad’u, da’watan, yang bermakna memanggil, mengajak, atau menyeru. Secara umum, da’wah sering dikaitkan dengan konsep lain seperti tabligh, amr ma’ruf nahi munkar, mau’izhah hasanah, tabsyir, indzhar, wasiyah, tarbiyah, dan ta’lim. (Saputara, 2011:1) Secara umum, dakwah merupakan aktivitas mengajak atau menyeru umat manusia agar tetap berada di jalan Allah. Kegiatan ini dilakukan secara menyeluruh, baik melalui ucapan, tulisan, pemikiran, maupun perbuatan. Tujuannya adalah untuk menyampaikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran universal yang sejalan dengan ajaran Islam. (Muhyidin, 2002:19)
Dakwah juga merupakan proses transformasi ajaran dan nilai-nilai Islam dengan tujuan membimbing umat manusia agar dapat menjalankan Islam dengan baik serta memiliki akhlak yang mulia. Dengan demikian, dakwah bertujuan menciptakan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dakwah dipahami sebagai sebuah sistem yang mengupayakan tercapainya tujuan dengan tepat melalui berbagai komponen yang mendukungnya (Alhidayatillah, 2019:34).
Islam merupakan agama dakwah, sehingga setiap Muslim dianjurkan untuk menjadi teladan bagi orang lain melalui tindakan dan perilaku sehari-hari. Dalam menjalankan dakwah, diperlukan pendekatan yang efektif agar pesan yang disampaikan dapat mencapai tujuan dengan baik. Al-Qur’an menguraikan tiga metode dakwah yang disebutkan dalam Surat An-Nahl ayat 125.
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ ١٢٥
 “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah424) dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk”.
Ayat ini menguraikan tiga metode dalam berdakwah, yaitu bil hikmah (dengan kebijaksanaan), mauidzatil hasanah (nasihat yang baik), dan mujadalah (dialog yang penuh kesantunan). Dari ketiga pendekatan tersebut, penulis memilih untuk memusatkan perhatian pada metode dakwah bil hikmah, karena pendekatan ini memiliki keistimewaan dalam menyampaikan pesan dengan cara yang lembut dan penuh kesantunan.
Ayat tersebut menekankan pentingnya hikmah sebagai sifat utama dalam metode dakwah, serta perlunya mengikuti langkah-langkah yang mencerminkan kebijaksanaan. Ayat ini memberikan gambaran praktis tentang bagaimana seorang da’i dapat mengajak manusia ke jalan yang benar, yaitu dengan membimbing mereka untuk menerima dan mengikuti ajaran agama secara bijaksana (Bastomi, 2016:349). Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa dakwah yang efektif memerlukan persiapan matang, termasuk memahami situasi dan kondisi medan dakwah.
Metode dakwah bil hikmah diartikan sebagai ajakan yang dilakukan dengan kebijaksanaan, menggunakan argumen yang logis dan filosofis, penuh kesabaran, serta mengikuti prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan risalah kenabian. Metode ini menyesuaikan pendekatan dengan kondisi mad’u (audiens), seperti tingkat pendidikan, usia, keadaan psikologis, dan budaya mereka. Seorang da’i yang menggunakan metode bil hikmah terlebih dahulu memahami karakteristik mad’u agar pesan dakwah lebih efektif tersampaikan (Mistarija, 2021:83). Kesesuaian metode dengan kondisi mad’u sangat menentukan keberhasilan dakwah.
Metode dakwah bil hikmah juga menjadi solusi dalam mencegah manusia dari perbuatan zalim. Rasulullah SAW mencontohkan dakwah dengan metode ini melalui teladan sikap dan perilaku yang baik, serta sopan santun kepada semua orang. Hal ini dikenal dengan istilah akhlaq al-karimah (akhlak mulia). Nabi Muhammad SAW diberi predikat oleh Allah sebagai uswatun hasanah (teladan terbaik) sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Ahzab ayat 21. Dengan pendekatan tersebut, banyak orang Arab yang tertarik pada ajaran Islam dan akhirnya mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai bentuk Penerimaan terhadap Allah dan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya.
Etika Humor dalam Dakwah
Humor merupakan permainan logika yang menyampaikan pesan tertentu. Dalam humor, makna atau pesan sering kali didekonstruksi dan direkonstruksi, menciptakan elemen kejutan yang membuat orang tertawa (Hilmi, 2019:90). Rekonstruksi makna inilah yang menjadikan humor dapat diterima di masyarakat. Dalam konteks dakwah, humor bukan hanya alat hiburan, tetapi juga dapat menjadi strategi yang efektif untuk menyampaikan pesan agama (Khofifatul Azizah, 2024:46).
Dalam sirah nabawiyah, Nabi Muhammad SAW dikenal memiliki sifat humoris. Salah satu kisah yang menunjukkan hal ini terjadi ketika seorang nenek bertanya apakah dirinya akan masuk surga. Rasulullah menjawab bahwa nenek-nenek tidak akan masuk surga, yang membuatnya menangis. Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa di surga, semua wanita akan diubah menjadi muda dan cantik seperti bidadari.
Kisah ini menunjukkan bahwa humor dalam Islam diperbolehkan. Rasulullah menggunakan humor untuk menyampaikan dakwah dengan cara yang santai, menyenangkan, dan tetap menjaga kesopanan. Humor beliau tidak pernah berlebihan atau melanggar norma, melainkan memberikan kabar gembira tanpa menimbulkan dampak negatif. Dalam dakwah, humor dapat menjadi alat yang penting untuk menarik perhatian audiens, terutama dalam metode komunikasi satu arah yang sering digunakan oleh para da’i.
Namun, penting untuk diingat bahwa Islam melarang candaan yang berlebihan. Humor dalam dakwah sebaiknya hanya sebagai sisipan, bukan inti dari penyampaian pesan (Ridwan, 2010:942). Jika tidak berhati-hati, humor dapat berujung pada jatuhnya harga diri seseorang, ghibah, atau bahkan melukai perasaan orang lain. Oleh karena itu, humor dalam dakwah harus digunakan dengan bijak agar tetap efektif dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dalam menggunakan humor dalam dakwah, ada beberapa prinsip penting yang harus diperhatikan. Pertama, humor tidak boleh mengandung kebohongan, karena hal ini dapat merusak kepercayaan dan nilai kejujuran. Kedua, humor harus bebas dari unsur ghibah atau penghinaan terhadap individu, suku, atau bangsa, agar tidak menimbulkan perpecahan atau menyakiti perasaan orang lain. Ketiga, bercanda sebaiknya tidak dilakukan secara berlebihan hingga menghabiskan waktu tanpa manfaat. Keempat, humor harus disesuaikan dengan konteks, sehingga tidak digunakan dalam situasi yang serius atau saat kondisi sedang sedih, karena setiap keadaan membutuhkan pendekatan komunikasi yang tepat. Terakhir, bercanda yang berlebihan dapat merusak wibawa seorang da’i, sehingga ia menjadi kurang dihormati dan berisiko dipermainkan oleh orang lain (Marwan, 2013:105). Dengan mengikuti prinsip-prinsip ini, humor dapat menjadi sarana dakwah yang efektif tanpa mengorbankan kesopanan dan kehormatan.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan humor dalam dakwah diperbolehkan karena dapat memberikan efek positif, baik dari segi fisik, psikologis, maupun sosial, dalam membangun hubungan antara da’i dan mad’u. Namun demikian, terdapat beberapa aturan yang harus diperhatikan oleh da’i ketika menyisipkan humor dalam dakwah. Da’i perlu memperhatikan dua aspek utama humor, yaitu aspek etika dan estetika.
Dari segi etika, seorang da’i harus menghindari humor yang bersifat rasis, menghina, atau mengeksploitasi individu secara negatif. Dari segi estetika, humor yang digunakan harus memenuhi kriteria rekreatif, inovatif, dan aplikatif. Selain itu, humor perlu disampaikan secara proporsional, hanya sebagai sisipan, dan tidak boleh melebihi esensi utama pesan dakwah yang bersifat fundamental.
Selain itu, da’i juga harus mengikuti panduan berhumor yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Misalnya, humor tidak boleh menggunakan simbol-simbol Islam sebagai bahan candaan, tidak mengandung unsur ghibah, dan tidak dilakukan dengan meniru perilaku atau sifat yang khas dari lawan jenis. Dengan mematuhi prinsip-prinsip ini, humor dapat menjadi alat dakwah yang santun, bermanfaat, dan tetap selaras dengan ajaran serta nilai-nilai Islam.
Daftar Pustaka
Al-Baghdādī, S. al-D. S. M. al-A. (2001). Rūh al-Ma’ānī fī Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm wa al-Sab’ al-Maṡānī ,2001,. Bairut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah.
Alhidayatillah, N. (2019). Urgensi Dakwah Bil Hikmah pada Generasi Millenial. Idarotuna, 1(2), 33–46. https://doi.org/10.24014/idarotuna.v1i2.7024
Asyūr, I. (1996). al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, Juz 2 (Bairut: Dār al-Fikr).
Bastomi, H. (2016). Dakwah Bil Hikmah Sebagai Pola Pengembangan Sosial Keagamaan Masyarakat, h. 34. Jurnal Ilmu Dakwah, 36, 349.
Hilmi, M. (2019). Humor Dalam Pesan Dakwah. Jurnal Ilmu Dakwah, 38(1), 87. https://doi.org/10.21580/jid.v38.1.3972
Khofifatul Azizah, L. U. N. (2024). Strategi Dakwah Gus Iqdam Pada Channel Yputube Gus Iqdam Official. Journal of Islamic Communication, 5(1), 48–69.
Marwan, I. (2013). Rasa Humor Dalam Perspektif Agama. Jurnal Al-Turas.
Mistarija, M. (2021). Urgensi Media Digital Dalam Berdakwah. AL Hikmah: Jurnal Dakwah Dan Ilmu Komunikasi, 8(1), 79–91.
Muhyidin, A. (2002). Dakwah Dalam Perspektif Al-Qura’an: Studi Kritis Atas Visi, Misi dan Wawasan. Pustaka Setia.
Ridwan, A. (2010). Humor Dalam Tablig Sisipan Yang Sarat Estetika. Jurnal Ilmu Dakwah, 942.
Saputra, W. (2012). Pengantar Ilmu Dakwah,. Raja Gerafindo Persada.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *