Perhatian Islam untuk Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Sains (science) diambil dari kata latin scientia yang berarti pengetahuan. Sunddan Trowbribge merumuskan bahwa Sains merupakan kumpulan pengetahuan dan proses. Sedangkan Kuslan Stone menyebutkan bahwa Sains adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan itu.Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan. “real science is both product and process, inseparably joint” (S, 2003, p. 11).

Pada tahun 1980 diadakan Konferensi Dunia tentang Pendidikan Islam II di Islamabad, Pakistan yang merekomendasikan pengelompokan ilmu menjadi dua macam, yaitu; ilmu perennial/abadi (naqliyah) dan ilmu acquired/perolehan (‘aqliyah). Berikut termasuk dalam kelompok ilmu perennial adalah; al-Qur’ān (meliputi; qira’ah, hifz, tafsir, sunnah, sirah, tauhid, usul fiqh, fiqh, bahasa Arab/uslub al-Qur’ān yang terdiri atas fonologi, sintaksis dan semantik), dan ilmu-ilmu bantu (meliputi; Metafisika Islam, Perbandingan Agama, dan Kebudayaan Islam).

Sedangkan yang termasuk dalam ilmu acquired adalah; seni (meliputi; seni dan arsitektur islam, bahasa, sastra), ilmu-ilmu intelektual/studi sosial teoritis, (meliputi; filsafat, pendidikan, ekonomi, ilmu politik, sejarah, peradaban islam, geografi, sosiologi, linguistik, psikologi, dan antropologi), ilmu-ilmu alam/teoritis (meliputi; filsafat sains, matematika, statistik, fisika, kimia, ilmu-ilmu kehidupan, astronomi, ilmu ruang, dan sebagainya), ilmu-ilmu terapan (meliputi; rekayasa dan teknologi, obat-obatan, dan sebagainya), dan ilmu-ilmu praktik (meliputi; perdagangan, ilmu administrasi, ilmu perpustakaan, ilmu kerumahtanggaan, ilmu komunikasi) (Kosim, 2008, p. 130).

Islam sangat memperhatikan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, hal ini membuat seorang tokoh orientalis bernama Franz Rosenthal mengatakan tentang besarnya perhatian Islam terhadap ilmu dia menyatakan bahwa sebenarnya tak ada satu konsep pun yang secara operatif berperan menentukan dalam pembentukan peradaban Islam di segala aspeknya, yang sama dampaknya dengan konsep ilmu.
Hal ini tetap benar, sekalipun di antara istilah-istilah yang paling berpengaruh dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin, seperti “tauhid” (pengakuan atas keesaan Tuhan), “al-din” (agama yang sebenar-benarnya), dan banyak lagi kata-kata yang secara terus menerus dan bergairah disebut sebut.

Tak satupun di antara istilah-istilah itu yang memiliki kedalaman dalam makna yang keluasan dalam penggunaannya, yang sama dengan kata ilmu itu. Tak ada satu cabang pun dalam kehidupan intelektual kaum muslimin yang tak tersentuh oleh sikap yang begitu merasuk terhadap “pengetahuan” sebagai sesuatu yang memiliki nilai tertinggi, dalam menjadi seorang muslim (Kosim, 2008, p. 125).

Pendapat Franz membuat Islam yang dikatakan sebagai agama tidak berlandaskan ilmu, dengan mengkaji kembali Islam dalam segala aspeknya harus dilandaskan dengan ilmu sebagaimana hadis Nabi, yaitu “Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka raihlah dengan landasan ilmu. Barangsiapa yang menginginkan akhirat maka raihlah dengan landasan ilmu”.

Imam al-Ghozali memiliki pandangan bahwa ilmu dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu fard{u ‘ain dan ilmu fard{u kifayah. Ilmu fard{u ‘ain adalah ilmu yang wajib dipelajari setiap muslim terkait dengan tatacara melakukan perbuatan wajib, seperti ilmu tentang salat, berpuasa, bersuci, dan sejenisnya.
Sedangkan ilmu fard{u kifayah adalah ilmu yang harus dikuasai demi tegaknya urusan dunia, seperti; ilmu kedokteran, astronomi, pertanian, dan sejenisnya (Kosim, 2008, p. 128). Jadi dalam konsep al-Ghozali tidak semua ilmu kita wajib menguasainya tetapi hanya sekedar mengetahuinya saja.

Kemudian pendapat dari Shams al-Dîn al-Amulî pada abad 9/15 dalam bukunya “Nafa’is al-Funun” (unsur-unsur berharga sains) setelah membuat list dari hampir seluruh cabang ilmu yang berkembang di dunia Islam memberikan dua klasifikasi. Dalam klasifikasi pertama, ilmu-ilmu terbagi dua: ilmu-ilmu filosofis dan ilmu-ilmu non-filosofis. Bagian pertama yang terdiri dari ilmu teoritis dan praktis mencakup metafisika, matematika, etika, ekonomi dan politik.

Bagian kedua yang terdiri dari ilmu-ilmu keagamaan dan non agama mencakup aqliyyah dan naqliyyah. Dalam klassifikasi kedua, ilmu-ilmu terbagi kepada ilmu-ilmu awal (awa’il) dan ilmu-ilmu lanjutan (awakhir). Bagian pertama mencakup ilmu-ilmu semacam matematika, kedokteran, kimia, astronomi, geografi, etika, politik, ekonomi dan sebagainya.

Sedangkan bagian kedua mencakup kesusestraan, ilmu syar’iyyah, tasawwuf, sejarah, dan sebagainya (Abduh, 2017, p. 4). Tujuan dari pengklasifikasian yang dilakukan oleh para ulama menegaskan tentang komplektisitas ilmu dalam Islam. Hal tersebut menandakan Islam memiliki ajaran untuk selalu mengembangkan khazanah ilmu dalam Islam. Ibadah hanyalah amal kita menuju Allah, tapi ilmu lah jalan menuju rida Allah.

Kemudian tafsir ilmiah dan kemukjizatan ilmiah memiliki perbedaan yang signifikan, yaitu tafsir ilmiah adalah kajian-kajian tentang arti atau hadis dalam tinjauan validitasnya dari ilmu pengetahuan alam.
Sedangkan mukjizat ilmiah adalah pemberitaan al-Qur’ān atau sunnah Nabi tentang hakikat yang dibenarkan oleh ilmu eksperimental akhir-akhir ini, dan ketidakmungkinan mengetahui hal tersebut pada zaman Nabi (Madjid, 2002, p. 123).

Perkembangan ilmu telah dikembangkan sejak awal peradaban Islam, walaupun hanya sebatas memperhatikan, tidak sampai kepada observasi lebih lanjut. Para pemikir keilmuan dan cendekiawan Muslim di masa-masa awal membagi variasi ilmu pada intinya kepada dua bagian.

Pertama, adalah al-ulum al-naqliyyah, yakni ilmu-ilmu yang disampaikan Tuhan melalui wahyu, tetapi melibatkan penggunaan akal. Kedua adalah al-ulum al-‘aqliyah, yakni ilmu-ilmu intelek/sarjana, yang diperoleh hampir sepenuhnya melalui penggunaan rasionalitas dan pengalaman empiris.
Kedua bentuk ilmu ini secara bersama-sama disebut al-ulum al-husuli, yaitu ilmu-ilmu perolehan. Isitilah terakhir ini digunakan untuk membedakan dengan “ilmu-ilmu” yang diperoleh melalui ilham (kasyf) (Abduh, 2017, p. 4).

Sejarah pun mencatat Islam melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang sebenarnya menjadi peletak asas dasar keilmuan yang berkembang pada saat ini. Kita sebut saja Ibn al-Haytham yang masih terdengar asing oleh telinga kita. Padahal dia merupakan ahli optik dan ahli fisika eksperimentalis pada abad 11. Karyanya “al-Manadir” menjadi refrensi optik ketika itu, bahkan terdapat fakta yang mengatakan bahwa Newton telah terpengaruh oleh teori al-Haytham, karena pada abad pertengahan Eropa telah mengenal teori tersebut.

Bidang mateatika ada al-Khawarizmi, dalam bidang fisika astronomi ada Ibnu Qatir yang mempelajari gerak melingkar planet Merkurius mengelilingi matahari, Abdurraham al-Khazini penemu jam air sebagai alat pengukur waktu.

Kemudian ada sosok Abu Rayian al-Biruni seorang penemu persamaan sinus dan menyusun sebuah ensiklopedi Astronomi Al-Qanan al-Mas’adiy. Di dalamnya ia memperkenalkan istilah-istilah ilmu Astronomi (falak) seperti zenith, ufuk, nadir, memperbaiki temuan Ptolemeus. Tak luput dia juga mendiskusikan tentang hipotesis gerak bumi.

Setelah itu ada juga Abdurrahman Al-Jazari, ahli mekanik (ahli mesin) yang hidup tahun 1.100 M, membuat mesin penggilingan, jam air, pompa hidrolik dan mesin-mesin otomatis yang menggunakan air sebagai penggeraknya, dan dalam bidang kedokteran ada Ibnu Sina dengan kitabnya “al-Syifa” (Abduh, 2017, pp. 16–20).

Pada akhirnya dalam paparan ini hanya ingin mendorong kepada sarjana/cendekiawan maupun umat muslim pada umumnya untuk selalu memperhatikan tanda-tanda kebesaran Allah, karena Allah sendiri telah memerintahkan kita untuk senantiasa menggali dan melakukan observasi terhadap apa yang telah ada.

Banyak sekali selain ayat-ayat yang menarasikan untuk selalu berpikir/tadabbur. Hal ini dilakukan untuk melestarikan dan mengembangkan khazanah keilmuan Islam khususnya di bidang sains alam. Alam dan manusia merupakan satu kesatuan yang saling membantu satu sama lain. Manusia memperoleh oksigen dari tumbuhan serta makanan dari hewan atau tumbuhan. Begitupun manusia memiliki kewajiban terhadap hewan dan alam/tumbuhan, yaitu menjaga kesimbangannya dan melestarikan serta memanfaatkan segala sesuatu yang ada manfaat dan tidak ada manfaat sekalipun.

Referensi
Abduh, M. (2017). Sumbangan Imam Muhammad Abduh kepada Sains dan Teknologi (A. F. Musa (ed.); A. N. Amir (trans.)). Islamic Rennaissance Front.
Kosim, M. (2008). Ilmu Pengetahuan Dalam Islam: Perspektif Filologis-Historis. Jurnal Tadris, 03(02).
Madjid, N. (2002). Mukjizat Al-Qur’ān dan Belenggu Kebebasan Manusia. In I. K. Hamdan, T. Limrung, & H. T. Sutardjo (Eds.), Mukjizat Al-Qur’ān dan Sunnah Tentang IPTEK (III). Gema Insani Press.
S, A. (2003). Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam di Indonesia.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *