Kitab Tafsir al-Burhān karya Abdul Karim Amrullah merupakan salah satu karya monumental yang lahir dari pemikiran seorang ulama besar asal Minangkabau, Sumatra Barat. Abdul Karim Amrullah, dikenal sebagai tokoh terkemuka dari golongan kaum muda, telah memberikan kontribusi besar dalam dunia pemikiran Islam, khususnya dalam menanggapi berbagai praktik mistik berkembang di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan tarekat Naqsyabandiyah.
Melalui karya ini, beliau tidak hanya berusaha untuk menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga untuk memberikan pencerahan dan pemahaman yang lebih jelas kepada umat Islam mengenai ajaran Islam yang murni, jauh dari unsur-unsur khurafat dan bid’ah. Lebih menarik lagi, Abdul Karim Amrullah menulis tafsir ini dalam bahasa lokal Minangkabau dengan aksara Arab-Melayu, sebuah upaya relevan untuk mempermudah pemahaman masyarakat setempat.
Abdul Karim Amrullah menggambarkan maksud tasawwuf (mistik) sebagai upaya untuk membersihkan tujuan iman seseorang dari segala bentuk bid’ah, yaitu tujuan-tujuan yang tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan sunnah Selain itu, tasawwuf juga berfungsi untuk membersihkan rahasia-rahasia dan tujuan tersembunyi manusia dari kemunafikan serta kecemburuan, yang mungkin muncul dengan cara yang sangat halus.
Kritik Abdul Karim Amrullah terhadap Rābitah dalam Tafsir al-Burhān
Dalam konteks kajian ketarekatan, bagi Abdul Karim Amrullah, tarekat bukanlah hal yang asing. Sejak masa kecil, ia telah mengenal tarekat, mengingat ayahnya, Amrullah, merupakan pemimpin tarekat Naqshabandīyah (Hamka:43). Tarekat ini, yang didirikan oleh Bahā’ al-Dīn al-Naqshābandī (717-791 H/1317-1389 M), menjadi bagian integral dari kehidupan spiritual masyarakat di Bayur Maninjau, Sumatera Barat, dengan berbagai amalan yang dilakukan oleh para pengikutnya.
Abdul Karim Amrullah mengkritik praktik rābitah dalam tarekat Naqshabandīyah yang berkembang di Minangkabau. Rābitah dilakukan dengan membayangkan wajah guru saat berzikir, dengan harapan agar doa murid disampaikan kepada Tuhan. Praktik ini juga bertujuan untuk mengatasi keraguan dalam menjalani sulūk (Amrullah:132) Kritik ini mencerminkan ketidaksetujuan terhadap penggunaan perantara dalam hubungan spiritual dengan Tuhan.
Abdul Karim Amrullah menyatakan bahwa tindakan seperti ini tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad. Menurutnya, berdoa melalui rābitah adalah hal yang dilarang oleh Allah. Larangan ini tercantum dalam surah al-Bayyinah ayat 6. Ia menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ وَالْمُشْرِكِيْنَ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِۗ ٦
Menurut Abdul Karim Amrullah, menggunakan perantara atau rābitah untuk tujuan tertentu kepada Allah adalah perbuatan syirik yang dilarang syirik ini berkaitan dengan sifat Allah. Orang yang meyakini adanya kekuasaan selain Allah, seperti dalam menghidupkan, mematikan, dan memberi efek, dianggap melakukan syirik. Orang yang mempersekutukan Tuhan dalam sifat ini dianggap kafir, meskipun ia tetap melaksanakan salat, puasa, zakat, dan ibadah lainnya.
Abdul Karim Amrullah berpendapat bahwa praktik rābitah setara dengan perbuatan syirik, karena melibatkan penyerupaan sifat Allah dengan sifat makhluk yang dianggap dapat menyampaikan keinginan seseorang. Menghadirkan wajah guru dalam praktik sulūk untuk mencapai tujuan tertentu dianggap sebagai memosisikan guru seperti Tuhan. Padahal, Allah adalah Zat Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Abdul Karim Amrullah mengkritik praktik rābitah dalam tarekat, terutama dalam perdebatan ulama di Bukit Surungan 1905 dan Padang 1906 (Hamka:291). Dalam perdebatan tersebut, penganut tarekat Naqshabandīyah kesulitan menghadapi argumen dari kelompok “golongan muda” (Akhria Nazwar,1983:41). Polemik tarekat yang muncul dari pertemuan ulama di Padang ini kemudian mendorong Abdullah Ahmad untuk mengirim surat kepada Ahmad Khatib al-Minangkabawi, meminta penjelasan terkait praktik tarekat yang berkembang di Minangkabau.
Menurut Ahmad Khatib terdapat kesamaan antara penyembahan berhala dan praktik rābitah. Perbedaannya terletak pada fakta bahwa patung berhala diciptakan oleh tangan manusia, sementara guru-guru yang dihormati dalam rābitah hanyalah gambaran yang diciptakan oleh imajinasi hati manusia. Meskipun demikian, kedua hal tersebut dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan cara merendahkan diri dan bersikap tawadhu (Ibid:449).
Praktik rābitah yang diterapkan dalam Tarekat Naqshabandīyah sebagai sarana berzikir, bagi Amrullah, dianggap tidak memiliki dasar yang jelas dalam syariat Islam, sehingga dipandang sebagai bid‘ah dalam agama. Pemahaman yang tampak jelas dari ayat-ayat al-Qur’an dan beberapa hadis Nabi Muhammad menunjukkan bahwa rābitah tidak didasarkan pada nas yang sah, bahkan tindakan tersebut termasuk yang terlarang dalam ajaran Islam.
Respons Abdul Karim Amrullah terhadap Argumen Golongan Tua tentang Rābitah
Shaykh Mungka (1857-1921 M) merupakan salah satu ulama tarekat dari golongan tua yang berusaha mempertahankan ajaran sulūk dengan menulis buku Irghām al-Nufīl Muta’annitin fī Inkārihim Rābitah al-Wāsilin. Sebagai tanggapan atas tulisan tersebut, Abdul Karim Amrullah menulis buku Qāthi‘u Riqāb al-Mulhidīn untuk memberikan respon kritis terhadap pandangan yang disampaikan oleh Shaykh Mungka.
Abdul Karim Amrullah juga menulis beberapa buku yang membahas tarekat, di antaranya Izhār Asātīr al-Mudāllīn fī Tashābubihim bi al-Muhtadīn yang mengkritik Tarekat Naqshabandīyah, yang selesai pada tahun 1907. Selain itu, ia juga menulis al-Suyūf al-Qāti‘ah fī Da‘āwīy al-Kādhibah pada tahun yang sama, yang berisi jawaban atas berbagai pertanyaan terkait persoalan tarekat. Kedua karya ini mencerminkan tanggapan kritis Amrullah terhadap ajaran tarekat.
Shaykh Mungka berpendapat bahwa tawasul dalam praktik sulūk memiliki dasar yang kuat dalam al-Qur’an, khususnya pada surah al-Mā’idah ayat 35.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ٣٥
Menurut Mungka, “wasīlah” dalam ayat tersebut merujuk pada segala sesuatu yang bisa dijadikan sebagai cara atau sarana untuk beribadah dan taat kepada Allah. Wasīlah ini mencakup berbagai metode yang membantu seseorang mendekatkan diri kepada-Nya. Selain itu, wasīlah juga dapat dilakukan melalui perantaraan para awliyā’, yaitu para ulama yang dianggap telah mencapai tingkat kesalehan dan kedudukan sebagai wali Allah (Ibid:444).
Menurut Abdul Karim Amrullah, konsep “al-wasīlah” dalam Surah al-Mā’idah ayat 35 tidak dimaksudkan sebagai praktik rābitah dalam tarekat, yang mengharuskan seseorang membayangkan wajah guru untuk mencapai Allah. Sebaliknya, “wasīlah” yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah cara untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui pelaksanaan amal saleh, yaitu dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Amal saleh ini dapat dicapai dengan menuntut ilmu yang benar, yang dapat mengarahkan seseorang kepada Allah. Amrullah juga menegaskan bahwa tarekat yang tidak sejalan dengan prinsip tauhid, fiqh, dan tasawuf yang sahih justru akan mengarah pada kebinasaan dan kekekalan di dalam neraka. Lebih lanjut, beliau menegur sikap diam para ulama ketika bid‘ah tersebar di masyarakat, karena pembiaran tersebut akan mengundang murka Allah (Ibid:67).
Penafsiran Surah al-Mā’idah ayat 35 Mahmud Yunus, yang mengartikan wasīlah sebagai jalan untuk meraih keridaan Allah. Jalan menuju keridaan Allah hanya dapat diketahui melalui petunjuk-Nya, yang diperoleh melalui ilmu pengetahuan, keteguhan iman, dan amal saleh. Secara substansi, wasīlah menurut Mahmud Yunus adalah menjalankan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Ilmu pengetahuan yang tidak diikuti dengan amal perbuatan tidak akan membawa seseorang mendekat kepada Allah. Oleh karena itu, amal saleh menjadi kunci utama dalam mencapai tujuan spiritual ( Mahmud Yunus,1957:112-113).
Menurut Abdul Karim Amrullah, seorang sufi yang telah mencapai tujuan-tujuan tasawuf sejatinya telah mengikuti Sunnah. Namun, jika seseorang memilih untuk tidak menginginkan kemewahan, memisahkan diri dari orang lain, menolak kenyamanan hidup, dan hanya berfokus pada zikir tanpa usaha untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, maka tindakan tersebut dianggap menyesatkan.
Mengulang-ulang zikir tanpa meningkatkan pemahaman agama atau kontribusi untuk kemajuan umat Islam tidaklah tepat. Pakaian sederhana dan penolakan terhadap kenikmatan duniawi tidak berarti meninggalkan kewajiban untuk menuntut ilmu. Dalam tasawuf yang benar, harus ada keseimbangan antara spiritualitas dan kontribusi untuk kebaikan umat.( Murni Djamal,2002:35)
Sebagai penutup Abdul Karim Amrullah menolak praktik rābitah dalam tariqah Naqsyabandiyah karena dianggap tidak memiliki dasar hukum shar‘ī, meskipun golongan tua di Minangkabau berusaha menghidupkannya di surau-surau yang mereka pimpin. Bagi golongan tua, rābitah adalah media untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui wajah pengganti, yaitu mursyid yang mengajarkan jalan spiritual tarekat. Kritik Abdul Karim terhadap rābitah awalnya mendapat penolakan, terutama dari pendiri tarekat. Namun, seiring waktu, praktik tarekat mengalami kemunduran dan semakin memudar di Minangkabau. Kritik tersebut akhirnya turut berpengaruh pada perkembangan tarekat di daerah tersebut.
Daftar Pustaka
Akhria Nazwar, Ahmad Khatib al-Minangkabawi Ilmuan Islam di Permulaan Abad Ini (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983),
Amrullah, al-Burhān
Djamal, Murni. DR. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-20, terj. Theresia Slamet. Jakarta: INIS, 2002
Hamka. Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Ummida, 1982.
Yunus, Mahmud. Tafsir Qur’an Karim. Jakarta: Mahmudiah, 1957.