Kerentanan Metodis dalam Penafsiran Nash Aliran Radikalisme

Pemahaman radikalisme telah menjadi isu yang sangat hangat di Indonesia, pemahaman radikalisme memiliki implikasi ke ranah terorisme. Hal tersebut dikarenakan pemahaman radikalisme diwujudkan dalam bentuk aksi nyata. Aksi radikalisme ini sering memiliki wacana mengenai penggantian negara pada bentuk syari’at Islam. Jika diwujudkan dalam bentuk aksi, pemahaman radikalisme masuk pada aksi kekerasan dengan mendalihkan alasan agama demi membentuk suatu perubahan (Emna Lisa, 2014: 7).

Salah satu kecenderungan dari pemahaman radikalisme adalah penafsiran tekstualis, mereka menolak adanya studi kritis terhadap nash. Padahal ada pemahaman hermeneutik yang berangkat dari filsafat yang mengatakan bahwa nash baik Al-Qur’an maupun hadis harus dipahami dan ditafsirkan dan mendialogkan dengan realitas sosial masa sekarang (Komaruddin Hidayat, 1996: 137).

Bacaan Lainnya

Sejatinya hal tersebut telah menghilangkan nilai ideal ajaran Islam, dimana Islam mengajarkan ajaran yang membawa perdamaian. Hal tersebut dicoreng oleh pemahaman radikalisme yang mengatasnamakan agama. Padahal pemahaman radikalisme telah melaukan eksploitasi nash dengan mnafsirkan sesuai kebutuhan golongan kemudian digunakan sebagai dasar penghakiman terhadap yang tidak sejalan dengan pemahamannya (Lub Liyna Nailata, 2018: 22).

Para aliran radikalisme misalnya memaknai jihad sebagai perang suci terhadap umat agama lain. Mereka mengimani jihad sebagai sebuah perintah suci untuk memerangi umat agama lain dan merupakan suatu kewajiban dalam rangka menegakkan “hukum Tuhan”. Mereka beraggapan, karena Nabi Muhammad SAW dalam masa hidupnya melakukan peperangan, maka setiap orang Islam harus mengikuti teladan Nabi Muhammad SAW. Mereka cenderung beranggapan bahwa umat agama lain harus di-Islamkan walaupun dengan cara pemaksaan (Hamid Enayat, 1982: 2).

Kekeliruan argumen kaum radikalisme tentu harus disikapi dengan serius, tapi bukan melakukan tindakan kekerasan dan kembali melakukan teror, justru argumen tandingan sebagai pemahaman moderat perlu dimunculkan. Terkait pemahaman nash dengan berbagai pendekatan sehingga esensi Islam sebagai pembawa perdamaian terwujud.

Indikasi dan Kecenderungan Radikalisme

Pemahaman radikalisme memiliki kecenderungan melakukan penolakan terhadap kondisi yang sedang berlangsung, penolakan tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan bahkan perlawanan. Penolakan yang dilakukan terhadap ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dipandang memiliki tanggung jawab terhadap kondisi yang ditolak. Tidak hanya berhenti pada sikap penolakan, mereka berusaha mengganti tatanan dengan tatanan lain. Bentuk lain adalah sikap emosional dan intoleran terhadap pemikiran yang tidak sesuai dengan golongannya (Tarmizi Thaer, T.th: 17).

Sikap penafsiran terkait pemahaman penegakan syari’at Islam, negara Islam dan khilafah adalah sikap lanjutan dari penafsiran nash dengan mereduksinya dengan aspek kepentingan. Sikap yang muncul dikarenakan penafsiran nash dan dimasukan dengan doktrin yang kuat akan memuncukan suatu sikap radikal. Mereka membangun peimikiran Islam garis keras. Gerakan ini tidak hanya melekat pada gerakan Islam tekstualis tetapi juga pada gerakan politik (Endang Turmudi, 2005: 10).

Argumen Tandingan: Sebuah Kritis Pemahaman Radikalisme

Islam dimaknai sebagai keharusan teologis dan politik dengan bersamaan, hal tersebutlah yang dipahami oleh Islam Radikal. Dengan kata lain, bahwa selain bersandar pada aspek teologis atau ketuhanan, Islam secara politik harus dijalankan dengan aspek jihad. Mereka melakukan penguatan argumen dengan ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan secara tekstual, seperti ada Surat Al-Baqarah ayat 120 “tidak akan rela baik yahudi maupun nasrani sehingga engkau tunduk kepadanya”.  Ayat ini dipahami bahwa orang Yahudi maupun Nasrani merupakan komunitas yang harus diwaspadai dan dapat diperangi sewaktu-waktu.

Kaum Islam radikal menjadikan nash sebagai sumber penghakiman terhadap kelompok lain. Kenyataan ini dilihat dari banyak munculnya praktik kekerasan dengan alasan agama (terorisme). Mereka menolak pluralitas dan juga pemahaman Islam yang inklusif. Kalangan radikalis mengabaikan aspek sejarah nash, dan menolak pengembangan interpretasi kontekstual. Padahal pemahaman kontekstual diperlukan untuk memahami tujuan dari syari’at itu sendiri. Dalam pemahaman teks harus memperhatikan pertimbangan aspek terkait historisitas dan konteks, mendahulukan tindakan rasional dan menjaga kejujuran (Khaled Abou El-Fadl, 2004: 98).

Makna jihad sendiri tidak semata-mata berperang dengan senjata, akan tetapi berperang melawan hawa nafsu, bahkan harta. Seperti dalam surat At-Taubah ayat 24. Jadi jihad memiliki makna yang universal dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bersama. Jika seseorang telah zakat dan berinfaq maka telah melaksanakan jihad. Jihad disini sama sekali tidak memiliki makna anarkisme.

Secara historis, makna jihad pada surat Al-Mumtamah ayat 1, ayat ini diturunkan sesaat sebelum Nabi Muhammad SAW meninggalkan Madinah ke Makkah untuk melakukan perjajian Hudaibiyah. Walaupun ketika masuk kota Makkah Nabi membawa pasukan, namun Nabi Muhammad SAW masuk ke Makkah dengan misi perdamian. Maka dari itu makna jihad sangat luas, sehingga kita tidak memiliki argumen bahwa jihad adalah spesifik perang senjata dan sikap anarkisme (Asghar Ali Engineer, 2001: 121).

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan radikalisme merupakan isu hangat yang harus terus diperhatikan. Pemikiran radikalisme merupakan pemikiran yang menghilangkan esensi agama Islam sebagai pembawa kedamian.

Penafsiran tekstualisme dari kalangan Islam radikal tidak memiliki argumen yang kuat dikarenakan penafsiran dilakukan berdasarkan kepentingan golongan dan tidak mempertimbangkan aspek penting lainnya dalam penafsiran guna mengetahui tujuan syari’at. Makna jihad pada setiap nash yang mereka jadikan ayat sebagai justifikasi justru memiliki arti yang universal tidak mutlak terkait perang senjata dengan tindakan anarkisme.

DAFTAR PUSTAKA

 

El-Fadl, Khaled Abou, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter Menuju Otoritatif, (Jakarta: Serambi, 2004
Enayat, Hamid, Modern Islamic Political Thought, Austin: University Of Texas, 1982.
Engineer, Asghar Ali, “Islam and Doctrines of Peace and Non-Violence” Jurnal Ihya Ulumudin, Vol. 3, 2001
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.
Lisa, Emna, “Islam dan Radikalisme”, Jurnal Islamuna, Vol. 1, No. 1, 2014
Nailata, Lub Liyna, “Dekontruksi Paradigma Radikal Dalam Al-Qur’an”, Journal Of Islamic Studies and Humatities, Vol. 3, No. 1, 2018.
Taher, Tarmizi, Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM IAIN Syarif Hidayatullah.
Turmudi, Endang, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2005.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *