Agama, Sepak Bola, dan Perubahan Sosial

Islam Sebagai Agama

Menurut Daniel C. Dennett, agama adalah sistem sosial yang mana para pengikutnya bersumpah untuk percaya pada satu atau lebih agen supranatural yang mereka cari berkahnya. (Daniel C. Dennett: 2022, 8). Fans klub sepak bola adalah sekelompok orang dengan sistem sosial tertentu karena ada semacam jaringan hubungan yang terpola di sana yang dimulai dari individu, kelompok, hingga institusi yang membentuk koherensi.

Pada titik tertinggi koherensi pada fans klub sepak bola, terbentuk komunitas dengan simbol warna, logo, pakaian seragam, bendera, semboyan, budaya, hingga ritual dan nyanyian. Klub sepak bola sebagai identitas bisa menentukan seseorang berkawan dengan siapa, tertawa dengan siapa, bersedih dengan siapa, bahkan saat satu sama lain tidak saling mengenal secara pribadi kecuali mengetahui bahwa bersama mencintai klub sepak bola yang sama. Menurut Mark Doidge, jika agama diartikan oleh Emile Durkheim sebagai berkumpul secara teratur di ruang sakral untuk melakukan ritual kolektif di mana individu mengidentifikasi diri sebagai bagian dari sebuah komunitas, maka klub sepak bola adalah agama dan fans adalah umat beragama. (Mark Doidge).

Bacaan Lainnya

Ada fans yang menyebut klubnya sebagai agama seperti “Man Utd the Religion” yang bahkan ada kanal YouTube-nya. Martin Smith, seorang yang mengaku humanis dan cenderung ateis, menyebutkan bahwa sepak bola adalah agama bagi kaum humanis dengan alasan sepak bola membuat jutaan orang di seluruh dunia melakukan perjalanan ratusan hingga ribuan mil untuk menonton pertandingan dan itu hanya sebanding dengan saat tiga puluh ribu orang tiba-tiba meninggalkan rumah dan keluarga mereka bermigrasi ke Timur Dekat karena panggilan Kristus untuk Perang Salib (Martin Smith). Mungkin juga setara dengan perjalanan ribuan mil dari seluruh penjuru bumi pada tahun 2024 untuk menunaikan ibadah haji oleh 1,8 juta manusia.

Dengan segala kemiripan antara agama dengan klub sepak bola, ada satu hal yang tidak ada di dalam fans klub sepak bola tetapi ada di dalam agama, yaitu agen supranatural. Secinta-cintanya penggemar kepada Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi, keduanya tidak diyakini sebagai agen supranatural, namun tidak lebih daripada sosok menakjubkan. Manchester United pun tidak menjadi agen supranatural bagi penggemarnya meskipun para fans tetap teguh iman dalam mendukungnya di tengah kekalahan dan kegagalan yang datang bertubi-tubi.

Islam sebagai agama tidak sama dengan klub sepak bola selain karena di dalam Islam ada agen-agen supranatural, juga sejak awal Islam adalah gerakan keagamaan dalam arti relasi dengan agen supranatural. Gerakan sosial, ekonomi, dan politik yang hadir setelahnya hanyalah konsekuensi yang harus diambil untuk menjaga gerakan keagamaan ini tetap tumbuh dan berkembang dan tidak hilang dari panggung sejarah. Ini mengikuti pandangan Fred M. Donner yang menanggapi pendapat Ernest Renan. (Fred M. Donner: 2015, xix). Dalam pandangan inilah Artikel ini melihat Islam sebagai penggerak perubahan sosial.

Islam dan Perubahan Sosial
Perubahan sosial yang dimaksud di sini adalah kontribusi Islam bagi kehidupan yang lebih adil dan manusiawi. Menurut Moeslim Abbdurrahman, hal itu ditandai dengan komitmen Islam pada masalah ketimpangan sosial. (Moeslim Abbdurrahman: 2003, 176). Dalam hal ini, perlu ada analisis tentang problem, peluang, dan upaya.

Dimulai dari problem. Ini mungkin sulit untuk diterima tetapi ada kemungkinan benar, yaitu bahwa sebagai bagian dari deretan panjang agama-agama yang hadir di panggung dunia, Islam memiliki kemungkinan telah mengalami revisi dan penyesuaian dengan zaman selama lebih ratusan tahun untuk sampai hadir di saat ini dan dinikmati oleh milyaran manusia. Meski sulit diterima, menolaknya tidak gampang. Tidak ada data yang cukup meyakinkan bahwa apapun yang diyakini oleh umat Islam saat ini persis apa adanya sebagaimana terjadi pada zaman Nabi Muhammad saw masih hidup. Jika persis, mengapa begitu banyak variasinya saat ini?

Hal di atas perlu disebutkan karena energi umat Islam yang harusnya untuk berkomitmen kepada ketimpangan sosial menjadi habis hanya untuk menunjukkan diri mana yang paling benar di antara begitu banyak variasi Islam. Sebaiknya diyakini bahwa memang Islam saat ini tidak lagi sama persis dengan sebagaimana pertama kali hadir di Gua Hira dan memastikannya sama adalah perkejaan sia-sia. Kalaupun masih sama, maka tidak ada kekuatan yang cukup untuk memastikan mana yang masih sama di antara begitu banya variasi. Bisa juga dengan keyakinan bahwa variasi yang hadir semuanya benar seperti keping-keping puzzle yang jika disusun dengan baik akan menghasilkan kebenaran yang lebih besar dan lebih benar.

Pada tahun 2007 sebuah grup nasyid bernama Raihan asal Malaysia merilis single yang berjudul “Iman Mutiara”. Salah satu lirik lagu itu menyebut “iman tak dapat diwarisi”. Agama memang tidak bisa diwarisi sebagaimana kegantengan dan kecantikan yang diwariskan lewat gen orang tua atau kakek-nenek. Agama lebih merupakan hasil dari interaksi kultural melalui bahasa dan simbolisme yang semuanya berkembang seturut perkembangan zaman.

Selanjutnya, peluang. Jika dibandingkan dengan klub sepak bola, peluang Islam untuk menjadi penggerak perubahan sosial jauh lebih besar karena adanya dua hal yang tidak dimiliki oleh klub sepak bola, yaitu agen-agens supranatural dan kehendak untuk melanggengkan Islam lewat gerakan sosial, ekonomi, dan politik. Dua hal ini sesungguhnya agak berisiko membuat Islam menjadi musuh kemanusiaan. Agen-agen supranatural bisa membuat penganutnya menjadi radikal karena keyakinan bahwa merekalah yang paling direstui oleh agen-agen supranatural tersebut. Dampaknya, gerakan sosial, ekonomi, dan politik yang dihasilkan menjadi eksklusif. Karena itu, tulisan lain melangkah ke upaya.

Selanjutnya, upaya. Agar gerakan perubahan sosial terus terjadi, agen-agen supranatural berguna sebagai sumber inspirasi gerakan yang memberi berkah di setiap langkah, memaklumi kegagalan, memaafkan kesalahan, dan memberikan tujuan yang jauh lebih besar daripada individu masyarakat dan bahkan jauh lebih besar dari segala yang tampak. Agen-agen supranatural itu adalah pijakan awal sekaligus tujuan akhir dari semua gerakan.

Salah satu contoh saat gerakan sosial, ekonomi, dan politik lebih menghabiskan energi untuk memperdebatkan variasi Islam daripada komitmen kepada ketimpangan sosial adalah ketika perdebatan berakhir pada mana sistem ekonom yang riba dan mana tidak, yang penting sesuai syariat. Apa yang dimaksud dengan “syariat”? Tentu bukan yang paling memberdayakan manusia, paling transparan, dan paling jauh dari monopoli. Seringkali, ketimpangan sosial bukan yang utama.

Daftar Bacaan

Abbdurrahman, Moeslim, Islam Sebagai Kritik Sosial, Jakarta: Erlangga, 2003
Dennett, Daniel C., Breaaking the Spell: Agama Sebagai Fenomena Alam, Jakarta: KPG, 2022
Doidge, Mark, “Football Is More Than a Secular Religion”, dalam https://www.agakhancentre.org.uk/past-exhibitions/football-and-religion/football-more-than-secular-religion/.
Donner, Fred M., Muhammad dan Umat Beriman: Asal-usul Islam, Jakarta: Gramedia, 2015
Smith, Martin, “Football Football: Religion for Humanists?”, dalam https://humanists.uk/humanistlife/football-religion-for-humanists/.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *