Al-Qur’an dan Objektivisme Moral: Telaah Metaetis terhadap Konsep-Konsep Etis Al-Qur’an

Metaetika merupakan salah satu cabang dari filsafat moral yang memusatkan perhatiannya pada upaya memahami, menganalisis, dan menjustifikasi makna dari berbagai konsep dan terminologi yang digunakan dalam wacana etika normatif. Kata meta, yang dalam bahasa Yunani berarti setelah atau melampaui, dalam istilah metaetika menunjukkan bahwa perbincangan filosofis di dalamnya melampaui percakapan dalam etika normatif (Chakraborti, 2023). Apabila etika normatif berusaha untuk menjelaskan tindakan apa saja yang mesti dilakukan atau dihindari oleh seseorang, maka metaetika akan berfokus pada penyelidikan filosofis terkait makna kebaikan, keburukan, dan lain-lain sebagai konsep etis.

Salah satu pertanyaan mendasar yang menjadi fokus metaetika berkaitan dengan status ontologis dari konsep nilai etis. Yakni, apakah suatu konsep etis merujuk kepada realitas faktual ataukah didasarkan pada hasil konstruksi semata. Dalam sejarah filsafat Barat, dilema moral semacam ini terekam dalam perdebatan yang terjadi antara Sokrates dengan Euthyphro berkenaan dengan hakikat nilai kesalehan (Blackburn, 2001). Di kemudian hari, perdebatan monumental ini dikenal sebagai Euthyphro Dilemma. Secara sederhana, perdebatan Euthyphro Dilemma berpusat pada definisi kesucian, apakah suatu tindakan menjadi saleh karena dewa-dewi mencintainya? Ataukah dewa-dewi mencintai tindakan tersebut karena nilai kesalehan secara intrinsik melekat padanya?

Bacaan Lainnya

Pada tradisi agama-agama Abrahamik, perdebatan Euthyphro Dilemma menempati posisi sentral pada pembahasan etika keagamaan (Mathewes, 2010). Di belahan dunia Islam, para sarjana Muslim, khususnya pada abad-abad formatif Islam, juga memperdebatkan Euthyphro Dilemma secara intens (Mutahhari, 2004). Dalam perbincangan mengenai karakter kebaikan dan keburukan (mas’alah al-ḥusn wa al-qubḥ), sarjana-sarjana Muslim kemudian terbagi ke dalam dua posisi etis yang berlawanan secara diametral: theistic subjectivism dan moral objectivism.

Theistic subjectivism merupakan posisi etis yang berpandangan bahwa kebenaran etis adalah segala sesuatu yang disetujui dan diperintahkan oleh Tuhan. Pandangan demikian juga dikenal dengan ethical voluntarism atau divine command theory. Sebab, ia meyakini bahwa konsep nilai etis mesti dipahami dalam terang kehendak Tuhan yang terangkum dalam perintah dan larangannya pada kitab suci. Maka, kebaikan dan keburukan adalah apa yang diperintahkan atau dilarang oleh Tuhan. Secara umum, para sarjana Asy‘ariyyah adalah pendukung etos theistic subjectivism (Sachedina, 2005).

Sementara itu, moral objectivism adalah posisi etis yang berpendapat bahwa kebaikan dan keburukan memiliki makna objektif. Maksudnya, konsep nilai etis maupun properti moral adalah nilai yang nyata bagi fondasi suatu tindakan. Ia tidak bergantung pada, dan ditentukan oleh kehendak atau opini pengamat atau penilai, siapapun itu (al-Attar, 2017). Oleh karenanya, suatu tindakan dinilai baik karena properti kebaikan menjadi bagian konstitutif darinya. Adalah sarjana-sarjana dari mazhab Mu’tazilah dan Syi‘ah yang mempromosikan etos moral objectivism (Bhojani, 2015; Nanji, 1991).

Tulisan ini kemudian bertujuan untuk menginvestigasi pengandaian-pengandaian etis Al-Qur’an. Berdasarkan analisis dan interpretasi terhadap sejumlah konsep etis Al-Qur’an, penulis akan mendemonstrasikan bahwa Al-Qur’an secara ontologis mempromosikan objektivitas nilai moral. Dalam hal ini, berbagai konsep etis merupakan properti yang melekat pada realitas. Ia tidak bergantung kepada, dan ditentukan oleh subjektivitas apapun dan siapapun. Melalui tulisan ini, kita dapat menegaskan bahwa truth of ethical value (kebenaran nilai etis) yang dipromosikan Al-Qur’an paralel dengan etos moral objectivism.

Objektivitas Bahasa Etis Al-Qur’an

Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah teks yang hadir di tengah masyarakat spesifik pada abad ke-7. Dalam hal ini, proses tekstualitas Al-Qur’an mesti memanfaatkan himpunan kode dari sistem linguistik yang berlaku di masyarakat pada waktu itu, yakni bahasa Arab (Q. 12:2; 26:192-195; dan 43:3) (Abu Zayd, 2014). Tujuannya, agar audiens Al-Qur’an dapat memahami seluruh pewartaan wahyu Ilahi yang berlangsung melalui diri Nabi Muhammad. Konsekuensi yang tak terhindarkan adalah suatu porses peleburan cakrawala Al-Qur’an, sebagai wahyu Ilahi, ke dalam horizon historis manusia, termasuk realitas kultural dan sejumlah maksim yang tidak tertulis dari masyarakat Arab (Abu Zayd, 2018).

Sejak Al-Qur’an memanfaatkan bahasa Arab—bahasa yang telah diterima dan digunakan di era pra-Islam—sebagai perangkat linguistik, maka teks tersebut menggunakan semua istilah etis dengan makna dan konotasi spesifik dari language game masyarakat Arab (al-Attar, 2010). Tentu, terdapat sejumlah modifikasi dan inovasi teknis oleh Al-Qur’an. Namun, secara general, Al-Qur’an menggunakan istilah-istilah etis yang telah dikenal dan digunakan oleh masyarakat Arab secara objektif.

Dengan nada yang sama, Ibn Taymiyyah juga mengafirmasi bahwa Islam mempromosikan suatu etos yang sejalan dengan tata nilai etis yang objektif dan universal. Ia secara tegas menolak etos Asy‘ariyyah yang mengidentikkan kebaikan atau keburukan dengan kepatuhan terhadap perintah atau larangan Tuhan. Menurutnya, seseorang dengan akal yang sehat dapat mengidentifikasi, memahami, dan menilai kebaikan dan keburukan dari sesuatu atau tindakan tertentu (Vasalou, 2016). Tanpa perlu merujuk kepada penjelasan Tuhan, setiap individu yang mendayagunakan potensi rasionalnya akan menyatakan bahwa kejujuran adalah perbuatan yang baik dan terpuji sehingga mesti dilakukan.

Dari sini, kita dapat memahami bagaimana Al-Qur’an mengartikulasikan norma syukr al-mun’im (thanking the benefactor)—sebagai bagian dari etika Arab pra-Islam—dan melakukan transformasi diskursif terhadapnya. Sebelum Islam datang, masyarakat Arab telah menghidupi suatu norma bahwa seseorang yang telah berderma bagi orang lain, terutama ketika ia menyelamatkan hidup atau memerdekakan orang tersebut, berhak mendapatkan kepuasan dan ucapan terima kasih, terutama di ruang publik, dari subjek yang memeroleh manfaat darinya. Ketika Islam datang, Al-Qur’an terlebih dahulu mengapropriasi norma etis tersebut kemudian mentransformasikannya ke dalam etos monoteisme khas Al-Qur’an—dengan menjadikan performasi ritual dan perilaku etis sebagai bentuk syukur terhadap segala karunia dan nikmat dari Sang Pemberi nikmat/Tuhan (Q. 5:6-7 Reinhart, 2005).

Predisposisi Etis Al-Qur’an

Al-Qur’an melakukan transformasi makna pada term birr. Di masa arab pra-Islam, istilah ini merujuk pada praktik takhayyul yang meyakini bahwa menghadapkan wajah ke timur dan barat merupakan tindakan etis yang akan mengundang berkat. Al-Qur’an kemudian memodifikasi makna birr dengan menyutikkan spirit ketakwaan kepada Tuhan yang Esa (Q. 2: 189, 177; 3:92; 5:2; dan 58:9. Reinhart, 2017). Tidak hanya itu, Al-Qur’an juga mendaftar sejumlah tindakan nyata yang berkaitan dengan birr, seperti berderma, menepati janji, berbakti kepada kedua orang tua, dan lain seterusnya, guna merealisasikan nilai tersebut pada level kehidupan konkret (Q. 2:177; 3:92; dan 19:14, 32).

Dalam Q. 60:8, Al-Qur’an bahkan memperluas cakupan birr sehingga mampu menjangkau setiap manusia dengan latar belakang agama yang beragam. Secara implisit, ayat tersebut menunjukkan bahwa orang-orang di luar Islam dapat memahami nilai etis dari birr secara objektif sebagai perilaku yang baik, sekalipun mereka tidak, atau belum, mengimani Al-Qur’an sebagai firman Tuhan.

Al-Qur’an juga menyatakan bahwa Tuhan memerintahkan manusia untuk berlaku adil (Q. 14:58; 5;8; dan 6:90). Jika kita mereduksi istilah adil dalam ayat Al-Qur’an sebagai kepatuhan terhadap perintah Ilahi, maka perintah Tuhan akan menjadi tautology dan membuatnya menjadi sesuatu yang kosong akan makna. Dengan mempertimbangkan bukti-bukti lexical dari Al-Qur’an (cf. Q. 4:3; 49:9), term ‘adl—yang bermakna seimbang, simetris, dan proporsional serta berlawanan dengan māyil (berat sebelah)—menunjukkan bahwa term tersebut mengandung makna fisik-konkret yang diketahui oleh manusia secara alamiah dan dapat diaplikasikan dalam relasi interpersonal mereka. Lebih dari itu, term ini merupakan konsep etis yang berkorespondensi pada semua kebudayaan manusia dan sama sekali tidak berkaitan dengan kepatuhan terhadap perintah Tuhan (Hourani, 1985).

Pada berbagai kesempatan, Al-Qur’an menegaskan bahwa Tuhan adalah Zat yang Maha Adil dan tidak akan pernah berbuat zalim kepada hambanya (cf. Q. 6:115; 3:108, 182; 4:49, 124; 23:62; dan 45:22). Jika keadilan Tuhan tidak dapat dijustifikasi secara rasional dalam pengertian manusia, namun dalam pengertian transenden an sich, maka properti keadilan dan seluruh properti lainnya yang dilekatkan pada Tuhan dapat dipandang sebagai sesuatu yang nirmakna dan tidak berguna sama sekali bagi perasaan moral maupun religiusitas umat manusia.

Salah satu term Al-Qur’an yang belum begitu mendapatkan elaborasi proporsional dalam tradisi Islam klasik adalah ma’rūf. Kata ini berasal dari akar kata ‘-r-f yang berarti mengetahui dan merekognisi sesuatu (Sinai, 2023). Mengambil bentuk passive voice, ia kemudian mengandung konotasi “segala sesuatu yang dipandang sebagai diketahui dan familiar, dan olehnya, diterima secara sosial” (Izutsu, 2002). Absennya indikasi bahwa ma’rūf adalah istilah teknis atau legal, maka kita dapat memahaminya secara proporsional sebagai istilah etis yang mengacu pada standar perilaku tertentu yang telah diketahui dan diterima oleh audiens Al-Qur’an (Cook, 2000).

Mensituasikan istilah ma’rūf ke dalam diskursus etika, A. Kevin Reinhart berargumen bahwa istilah ini mengimplikasikan kapabilitas manusia dalam mengetahui sejumlah nilai moral mendasar berdasarkan fakultas rasional dan intuitif mereka (Reinhart, 2002). Penyelidikan yang komprehensif terhadap penggunaan istilah ma’rūf akan mengantarkan kita pada pemahaman bahwa Al-Qur’an tidak begitu merincikan karakter, kriteria, maupun derivasi konkret dari istilah ini. Maka, akan menjadi lebih proporsional jika kita memandang Al-Qur’an sebagai panduan etis, alih-alih buku aturan. Implikasi niscaya dari penegasan ini adalah bahwa kebaikan dan keburukan merupakan properti objektif yang eksis di realitas dan dapat diketahui oleh manusia tanpa memerlukan eksplanasi detail bedari wahyu Ilahi (Reinhart, 2017).

Dalam Q. 3:114, Al-Qur’an menganjurkan para ahl al-kitāb untuk memerintahkan yang ma’rūf. Secara eksplisit, ayat ini menguatkan pandangan bahwa sejumlah nilai dan kewajiban moral yang diserukan Al-Qur’an telah diketahui dengan baik sebelum risalah Islam datang. Penguatan ini pun mengimplikasikan bahwa setiap perintah dan larangan Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang absurd dan arbitrer, namun merupakan nilai etis universal yang selaras dengan penilaian etis manusia, terlepas dari apapun afiliasi keagamaannya (al-Attar, 2017).

Menggunakan istilah khair, Al-Qur’an bahkan melangkah lebih jauh dengan berusaha menguniversalkan keutamaan moral yang ia gagas. Dalam Q. 5:48, Al-Qur’an secara tegas merekognisi karakter objektif dari keutamaan moral yang menjadi tanggung jawab etis bagi setiap individu, apapun agamanya (Sachedina, 2022). Al-Qur’an lalu memotivasi manusia untuk berlomba-lomba merealisasikan khair guna menciptakan suatu tatanan publik yang etis di muka bumi.

Dorongan menyeluruh ini mengindikasikan bahwa Al-Qur’an berupaya untuk menyelaraskan karakter moralitas yang ia tawarkan dengan natural law. Sehingga, ia dapat diakses oleh segala jenis wahyu partikular berikut komunitas keagamaan yang beragam (Sachedina, 2001). Maka dari itu, kita dapat menempatkan ayat ini sebagai suatu seruan pluralisme etis yang secara genuine mampu mentransendensikan ragam etos keagamaan spesifik ke dalam suatu sistem moral yang universal (Sachedina, 2006).

Ulasan di atas menunjukkan bahwa Al-Qur’an mengafirmasi tata nilai etis sebagai sesuatu yang riil. Selain terkondisikan oleh maksim-maksim moral yang mengitari kemunculannya, Al-Qur’an—yang memanfaatkan maksim tersebut sebagai ethical devices—juga mengafirmasi nilai objektif dari kebaikan dan mempromosikan tatanan moral yang universal. Dengan demikian, etika Al-Qur’an bersifat revolusioner bukan pada kontennya, melainkan pada justifikasinya. Karena, di satu sisi, Al-Qur’an mengambil sejumlah fitur etis masyarakat Arab pra-Islam secara taken for granted. Di sisi lain, Al-Qur’an mendisiplinkan, memoderasi, dan memahami ulang fitur-fitur tersebut agar sejalan dengan struktur monoteisme Al-Qur’an.

Daftar Pustaka
Abu Zayd, N. H. (2014). Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ‘Ulum Al-Qur’ān. al-Markaz al-Ṡaqafī al-‘Arabī.
Abu Zayd, N. H. (2018). Critique of Religious Discourse: Naqd al-Khitab al-Dini (J. Wright, Trans.). Yale University Press.
al-Attar, M. (2010). Islamic Ethics: Divine Command Theory in Arabo-Islamic Thought. Routledge.
al-Attar, M. (2017). Meta-ethics: A Quest for an Epistemological Basis of Morality in Classical Islamic Thought. https://doi.org/10.1163/24685542-12340003
Bhojani, A.-R. (2015). Moral Rationalism and Sharī‘a: Independent Rationality in Modern Shī‘ī Uṣūl al-Fiqh. Routledge.
Blackburn, S. (2001). Being Good: A Short Introduction to Ethics. Oxford University Press.
Brown, D. (1999). Islamic Ethics in Comparative Perspective. The Muslim World, 89(2), 181–192. https://doi.org/10.1111/j.1478-1913.1999.tb03677.x
Chakraborti, C. (2023). Introduction to Ethics: Concepts, Theories, and Contemporary Issues. Springer Nature.
Cook, M. (2000). Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic thought. Cambridge University Press.
Fakhry, M. (1994). Ethical Theories in Islam (Second Expanded Edition). Brill.
Hourani, G. F. (1985). Reason and Tradition in Islamic Ethics. Cambridge University Press.
Izutsu, T. (2002). Ethico-Religious Concepts in the Qur’ān. McGill-Queen’s University Press.
Mathewes, C. (2010). Understanding Religious Ethics. Wiley-Blackwell.
Mutahhari, M. (2004). Divine Justice (S. H. Abidi, M. Alidina, & S. A. Mirza, Trans.). International Center for Islamic Studies.
Nanji, A. (1991). Islamic Ethics. In P. Singer (Ed.), A Companion to Ethics (pp. 106–118). Blackwell Publisher.
Reinhart, A. K. (2002). Ethics and the Qur’ān. In J. D. McAuliffe (Ed.), Encyclopaedia of the Qur’an: Vol. II (pp. 55–78). Brill.
Reinhart, A. K. (2005). Origins of Islamic Ethics: Fondations and Constructions. In W. Schweiker (Ed.), The Blackwell Companion to Religious Ethics (pp. 243–253). Blackwell Publishing.
Reinhart, A. K. (2017). What We Know about Maʿrūf. Journal of Islamic Ethics, 1(1–2), 51–82. https://doi.org/10.1163/24685542-12340004
Sachedina, A. (2001). The Islamic Roots of Democratic Pluralism. Oxford University Press.
Sachedina, A. (2005). Islamic Ethics: Differentiations. In W. Schweiker (Ed.), The Blackwell Companion to Religious Ethics (pp. 254–267). Blackwell Publishing.
Sachedina, A. (2006). The Qur’ān and other Religion. In J. D. McAuliffe (Ed.), The Cambridge Companion to the Qur’ān (pp. 291–309). Cambridge University Press.
Sachedina, A. (2022). Islamic Ethics: Fundamental Aspects of Human Conduct. Oxford University Press.
Sinai, N. (2023). Key Terms of the Qur’an: A Critical Dictionary. Princeton University Press.
Vasalou, S. (2016). Ibn Taymiyya’s Theological Ethics. Oxford University Press.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *