Diskursus terkait poligami dalam islam selalu menjadi subjek perhatian dan topik perdebatan di kalangan umat muslim maupun masyarakat luas. Dalam Al-Qur’an ayat Al-Qur’an yang membahas tentang poligami khususnya QS. An-Nisa’: 3, seringkali ditafsirkan secara beragam, mulai dari justifikasi legalitas hingga kritik terhadap praktiknya yang sering kali menyimpang dari prinsip keadilan.
Dalam hal ini, Ali Engineer menawarkan pendekatan socio-theological (sosio-teologis) sebagai perspektif baru yang relevan untuk memahami dan menggali makna ayat tersebut secara lebih mendalam. Ali Engineer adalah seorang pemikir islam progresif sekaligus seorang teolog dan Aktivis dari India yang menekankan pentingnya memahami Al-Qur’an dengan mempertimbangkan konteks sosial-historis turunnya ayat serta prinsip universal Islam.
Menurut Ali Engineer Al-Qur’an tidak hanya bersifat normatif tetapi juga pragmatis, ayat normatif bersifat das solen “yang seharusnya”. Ia merupakan ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan normatif atau mengandung nilai universal sehingga berlaku sepanjang masa. Sementara ayat kontekstual adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan kontekstual atau berkait dengan keadaan masyarakat ketika itu. Ia bersifat das sein, ‘yang senyatanya’. (Inayah Rahmaniyah, 2001: 184)
Meskipun ada ayat yang memperlakukan perempuan dengan buruk, itu harus dilihat dalam konteksnya. Al-Qur’an tidak menggunakan kata-kata yang ambigu untuk mengungkapkan pernyataan normatif. Al-Qur’an juga mengandung kalimat-kalimat transendental serta kontekstual yang berubah sesuai dengan ruang dan waktu.
Al-Qur’an tampaknya mendukung kesetaraan status bagi kedua jenis kelamin secara normatif. Namun, dalam beberapa konteks, al-Qur’an memang menyatakan adanya kelebihan tertentu bagi laki-laki dan perempuan. Namun, para fuqaha berusaha memberikan status yang lebih unggul bagi laki-laki dalam arti normatif mereka.
Ali berpendapat bahwa tidak mungkin memahami ayat poligami secara literal tanpa mempertimbangkan tujuan utama Al-Qur’an, yaitu menegakkan keadilan, termasuk dalam hal hubungan gender. Dengan cara ini, dia berpendapat bahwa izin poligami dalam Al-Qur’an dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah tertentu di masa Nabi Muhammad SAW, bukan sebagai standar yang berlaku untuk semua situasi.(Ali Engineer, 1999: 94)
Pendekatan socio-theological ini mendorong untuk merenungkan kembali bagaimana teks agama dapat berkaitan dengan masalah kontemporer, terutama terkait keadilan gender. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menyelidiki ide-ide Ali Engineer tentang ayat poligami dengan memperhatikan aspek sosial dan historisnya, serta konsekuensi dari praktik poligami di zaman sekarang.
Poligami dengan lensa keadilan Asghar Ali Engineer
Ayat yang selalu menjadi pijakan terhadap poligami pada masyarakat muslim adalah Q.S. An-Nisa’: 3 sebagai berikut:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ
“Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.”
Ayat diatas merupakan ayat yang berwajah ganda. Pada satu sisi ayat ini dianggap ayat yang memperbolehkan poligami, di sisi lain ayat ini menjadi dalil monogami. Penyebab munculnya perwajahan ganda ini karena pembacaan terhadap ayat Al-Qur’an yang tidak adil. Dengan kata lain menerima pesan dari sebuah ayat tetapi mengabaikan konteks yang mendasari turunnya ayat tersebut.
Dalam hal ini Ali Engineer mengkategorikan ayat tersebut sebagai ayat kontekstual yang hanya berlaku sesuai dengan konteks ketika ayat itu diturunkan. Oleh karena itu, poligami diizinkan pada zaman Nabi karena dianggap sebagai cara yang efektif untuk meningkatkan martabat perempuan di masa itu, ketika perempuan merupakan sejarah hitam kemanusiaan. (Rafiq Zainul Mun’im, 2011: 30)
Pada masa itu orang Arab biasanya menikahi wanita lebih dari sepuluh orang dan semakin banyak istrinya semakin bangga seorang lelaki. Tidak ada aturan yang membatasi berapa banyak istri yang dapat dimiliki seseorang dan tidak ada batasan jumlah yang dapat dimiliki seseorang.
Bahkan diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa Ghailan bin Salamah masuk Islam dan etika itu dia memiliki 10 orang istri dan Nabi Saw berkata kepadanya: “Pilihlah empat di antara mereka.” Juga dikisahkan oleh al-Haris ibn Qays; “Saya masuk Islam ketika itu memiliki delapan istri, maka saya memberitahukan hal itu kepada Nabi saw, lalu beliau berkata: “Pilihlah empat di antara mereka.” (Ibnu Majah, 1955: 628)
Ali Engineer mengatakan bahwa QS. An-Nisa’: 3 tidak bisa dibaca dan dipahami terlepas dari ayat sebelumnya yakni ayat satu dan dua pada surah An-Nisa’. Ayat pertama surat ini menekankan kesetaraan jenis kelamin laki-laki dan perempuan karena keduanya diciptakan dari sumber yang sama, dan ayat kedua meminta kaum muslim untuk memberikan apa yang menjadi hak waris anak yatim tanpa mengganggunya demi kepentingan walinya.
Kemudian ayat ketiga yang berbicara tentang poligami dimulai dengan kalimat “Dan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak (perempuan) yang yatim…” hal utama yang harus diperhatikan bahwa ayat pertama pada Qs. An-Nisa’ menjelaskan laki-laki dan perempuan diciptakan dari nafs wahidah dan karena itu keduanya memiliki status yang setara.
Ayat keduanya menjelaskan tentang berlaku adil terhadap anak yatim dan ayat ketiga menjelaskan terkait poligami yang mana dimulai dengan berlaku adil terhadap anak yatim kemudian dilanjutkan dengan penjelasan jika tidak dapat berlaku demikian maka kawinilah perempuan semacam itu sebagaimana baiknya menurut kamu, dua atau tiga atau empat. (Asghar Ali Engineer, 2000: 155)
Menurut Ali Engineer bunyi ayat-ayat tersebut mengenai poligami menunjukkan bahwa keduanya diwahyukan pada konteks gadis yatim. Menurutnya, masalah utamanya adalah keadilan dalam hal istri-istri dan kekayaan anak yatim, karena orang-orang yang berada di bawah perwaliannya menikah lebih dari satu.
Selain itu, ada masalah keadilan terkait dengan yatim, dan orang-orang Arab seperti yang sudah disebutkan ketika pra-Islam biasanya laki-laki menikahi lebih dari satu perempuan. Anak Yatim berarti tidak memiliki kekuatan dan menjadi subjek ketidakadilan di tangan walinya. Untuk dapat memberikan keadilan kepada anak yatim. Allah Swt. memberi izin kepada walinya untuk menikahi sampai empat anak yatim atau ibunya (Janda) sehingga mereka dan harta benda mereka dijaga dengan baik. (Asghar Ali Engineer, 1999: 65)
Dengan demikian, ayat-ayat yang berkaitan dengan poligami tidak secara umum mengizinkan untuk beristri lebih dari satu terutama dalam konteks sosial yang tepat. Pertama, poligami hanya diizinkan untuk menjamin keadilan bagi perempuan atau gadis yatim. Jika pemeliharaan anak yatim tidak menjadi masalah bagi seseorang maka memperistri lebih dari satu tidak penting sama sekali.
Kedua, solusi ini ideal untuk masyarakat Arab di mana poligami sangat umum dengan syarat tambahan untuk berbuat adil kepada semua istrinya jika tidak maka memperistri satu orang saja. Mengingat konteks ini, serta peran yang lebih besar yang dimainkan oleh perempuan di masyarakat modern dengan mempertajam keadilan sama saja menyebabkan dilarangnya poligami.
Selain itu, perlu diingat bahwa keadilan juga memiliki konteks sosial yang dianggap adil di masyarakat Abad Pertengahan mungkin tidak dianggap adil di zaman sekarang. Selain itu, seperti yang dinyatakan sebelumnya, al-Qur’an tidak menafikan dinamika perubahan sosial dan konteks keadilan sosial.
Baik poligami, monogami, atau poligini mungkin bukan model keadilan sosial yang sempurna; hanya konteks sosial yang menentukan penerimaan atau penolakan umum terhadap model perkawinan tertentu. Mungkin tidak benar untuk menganggap salah satunya sebagai contoh yang ideal. Satu hal yang lebih dari sekadar jelas dari ayat-ayat al-Qur’an adalah bahwa norma umum untuk memperlakukan kedua gender manusia dengan cara yang sama dan setara.
Al-Qur’an menyatakan prinsip persamaan gender dengan kata “hak hukum”: “Dan, para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya.” (QS. al-Baqarah [2]: 228).
Dan dalam hal pahala kebajikan keagamaan al-Qur’an menyatakan:
“Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang Muslim,laki- laki dan perempuan yang Mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa. laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. al-Ahzab [33]: 35).
Terakhir Ali Engineer mengatakan “Saya tidak melihat sikap yang lebih adil daripada hal ini, yang bisa diberikan oleh kitab agama lain.” (Asghar Ali Engineer, 1999: 65)
Referensi:
Al-Qur’an.
Al-Hafidz Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid. I (Dar al-Ihya’ al-Kutub al-Arabi, 1955).
Engineer, Asghar Ali. (2022). Tafsir perempuan, terj. Akhmad Affandi dan Muh. Ihsan, cet 1. Yogyakarta: IRCISod.
Engineer, Asghar Ali. (1999). Islam dan Teologi Pembebasan. terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Engineer, Asghar Ali. (1993). Islam dan Pembebasan. terj, Hairus Salim HS. Yogyakarta: LKiS.
Engineer, Asghar Ali. (2000). Hak-hak Perempuan dalam Islam. terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, cet 2 Yogyakarta: LSPPA.
Rahmaniyah, Inayah. (2001). “Rekonstruksi Hukum Islam: Pendekatan Sosio-Teologis Asbar Ali Engineer.” Jurnal Esensia, Vol 2, No. 2.