Eksistensi fikih pada konteks ritual ‘ubuduiyah umat Islam menjadi bagian yang esensial. Pasalnya, perasaan was-was dan takut serta kesahihan dalam menjalani ibadah ditentukan sepenuhnya oleh fann ilmu tersebut. (Wahyudin: 2022, 57) Demikian juga dengan mengusap kepala dalam berwudhu atau al-wada’at, hal tersebut dianggap sebagai perkara fikih yang tidak bisa dinafikan lantaran merupakan bagian dari syarat sahnya shalat bagi setiap muslim dan muslimah. (Ajib: 2019, 6) Lagi, wudhu juga dipandang cukup urgen lantaran berperan sebagai acuan dasar praktik ubudiyah dalam syariat. (Hasbi: 1974, 186)
Riwayat Hidup Imam al-Baghawi
Al-Husayn bin Mas’ud al-Baghawi lebih dikenal dengan Imam al-Baghawi (Asnawi: 1998, 158) Selain itu, beliau juga dikenal dengan Ibn Farra’ atau al-Farra’. Al-Baghawi dinisbahkan kepada asal daerah beliau, yaitu daerah Bagh atau Baghsur, terletak di Khurasan, atau sebuah tempat antara kota Harah dan Marwa al-Rudh. Sebagian ahli berpandangan bahwa beliau dilahirkan pada tahun 433 H, sedangkan sebagian lain berpendapat tahun 436 H. (Khairuddin: 2002, 259) Adapun beliau wafat pada usia delapan puluh tahun di Marw al Rudh sekitar tahun 510 H/1117 M dan 516 H/1122 M. (Oliver: 2006, 80)
Corak Tafsir Ma’alim al-Tanzil
Dalam kitabnya, al-Dzahabi mengelompokkan tafsir Ma’alim al-Tanzil sebagai tafsir dengan metode bi al-ma’thur. (Dzahaby: 2000, 170) Sedangkan, Abu Syahbah berpendapat bahwa tafsir al-Baghawi bukan murni tafsir dengan metode bi al-Ma’thur, namun bercampur dengan metode bi al-Ra’yi wa al-Ijtihad al-Maqbul. (Syahbah: 1393, 127) Adapun, secara terperinci tafsir Ma’alim al-Tanzil dapat diklasifikasikan bersama corak lughawy dan fiqhy. (Rafsanjani: 2024, 8)
Analisis Loyalitas Imam al-Baghawi pada Mazhab Imam Syafi’i dalam Studi Fikih Mengusap Kepala
Imam al-Baghawi berguru kepada beberapa pembimbing yang condong kepada madzhab Syafi’i. (Jauhari, 2024) Di antara guru yang dimaksud adalah Husain bin Muhammad al-Marwardi (tokoh dalam madzhab Syafi’i). (Dzahabi: 2004, 440) Hal demikian mempengaruhi interpretasi beliau pada penafsiran al-Qur’an. Seperti pada Q. S al-Ma’idah [5]: 6,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبٗا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur”
Pada interpretasi potongan ayat “…famsahu biru’usikum” atau “…basuhlah kepala kalian…”Imam al-Baghawi menguraikan,
قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ﴾ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي قَدْرِ الْوَاجِبِ مِنْ مَسْحِ الرَّأْسِ، فَقَالَ مَالِكٌ: يَجِبُ مَسْحُ جَمِيعِ الرَّأْسِ كَمَا يَجِبُ مَسْحُ جَمِيعِ الْوَجْهِ فِي التَّيَمُّمِ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَجِبُ مَسْحُ رُبْعِ الرَّأْسِ، وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ: يَجِبُ قَدْرُ مَا يُطْلَقُ عَلَيْهِ اسْمُ الْمَسْحِ
Imam al-Baghawi mengutip pendapat tiga dari empat mazhab sekaligus. Pertama, beliau megutip pendapat Imam Malik bahwa, mengusap kepala adalah wajib mencakup keseluruhan kepala sebagaimana seseorang yang mengusap keseluruhan wajah ketika bertayamum. Kedua, beliau mengutip pendapat Imam Hanafi bahwa mengusap kepala cukup hanya seperempat daripada bagian kepala. Ketiga, beliau mengutip pendapat Imam Syafi’i. Pada konteks ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa, mengusap kepala cukup hanya sebagiannya saja. (Baghawi: 1409, 22)
Kecondongan Imam Baghawi pada madzhab Imam Syafi’i dapat diindikasi dari hujjah berikut pada tafsir beliau,
Imam al-Baghawi mengutip riwayat lain guna memperkuat pendapat Imam Syafi’i. Imam al-Baghawi membolehkan mengusap sebagian bagian dari kepala berdalihkan riwayat yang menuntut indikasi bahwa, Nabi Saw ketika berwudhu mengusap ubun-ubun beliau serta sorban dan sepatu beliau. Kemudian para ulama’ mengistinbatkan sebuah hukum bahwa mengusap sorbannya saja tidak mengapa. Akan tetapi, para ulama’ tidak memperbolehkan mengusap sorban sebagai pengganti mengusap kepala. Atas dasar tersebut, dirumuskan sebuah hukum bahwa, kewajiban mengusap kepala dapat diganti (jatuh) dengan cara mengusap ubun-ubun. Oleh karena itu, dituntut sebuah petunjuk bahwa mengusap keseluruhan kepala bukanlah wajib. (Baghawi: 1409, 22)
Hal demikian juga diperkuat Ibnu H{ajar al-Asqalani dalam kitab hadis beliau, Bulugh al-Maram. Mengenai hadis yang sama, beliau membuat sebuah rumusan hukum bahwa, mengusap dengan cara mempersedikit diperbolehkan di atas ubun-ubun, sebagaimana pendapat Imam Hanafi yang berpendapat bahwa mengusap kepala ialah seperempatnya saja. Adapun pada akhir pembahasan hadis tersebut, beliau menegaskan akan bolehnya mengusap sebagian kepala (dengan mengutip nama Imam Syafi’i) (Asqalani, 21)
Disimilaritas para ulama’ akan pendapat fikih bukanlah sesuatu yang membingungkan. Adapun sumber yang dijadikan rujukan cukup banyak dan mu’tabarah. Sehingga, umat Islam dapat bertawassu’ atau mendapat keluasan dalam memilih pendapat dari sekian pendapat yang ada guna memudahkan dalam beribadah.
Daftar Pustaka