Salah satu topik yang kompleks dan kontroversial dalam teologi Islam adalah ru’yatullah (melihat Allah). Perdebatan mengenai topik ini telah berlangsung sejak masa awal Islam dan terus berlanjut hingga saat ini. Pemahaman tentang ru’yatullah dalam kehidupan umat Muslim berbeda-beda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Sunni dan Muktazilah merupakan dua kelmpok besar yang memiliki pandangan yang saling bertolak belakang mengenai ru’yatullah. Sunni, sebagai kelompok mayoritas, meyakini bahwa orang-orang beriman akan melihat Allah di akhirat. Sementara itu, Muktazilah, mereka berpendapat bahwa Allah bersifat transenden dan tidak dapat diindera oleh manusia yang terbatas.
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam perspektif Sunni dan Muktazilah mengenai ru’yatullah. Pembahasan akan mencakup argumen-argumen teologis dan filosofis yang mendasari masing-masing pandangan, serta implikasi dari perbedaan pandangan tersebut terhadap pemahaman tentang sifat Allah dan hubungan-Nya dengan manusia.
Definisi Ru’yatullah
Ru’yatullah berasal dari kata Ru’yah dan Allah, ru’yah secara bahasa berarti melihat berasal dari kata ra’ā-yarā-ru’yah yaitu melihat dengan mata kepala ataupun mata telanjang (Munawwir, 2002: 460). Kata ru’yah merupakan melihat yang bersifat wujudī (pasti keberadaanya), oleh karena itu Allah lah yang paling berhak untuk dilihat karena wujud-Nya paling sempurna dari semua wujud yang ada (Ibnu qayyim, 2004: 127).
Lafadz ru’yah memiliki makna melihat dengan objek yang dilihat dari arah yang saling berhadapan dan itu dibarengi dengan adanya sikap mengerti akan objek tersebut (Hisyam Thalbah, 2009: 314). Dalam tulisannya Ibnu Faris mendefinisikan kata ru’yah dengan arti melihat yakni melihat dengan mata atau pandangan (Ahmad bin faris, 1979: 472).
Ru’yatullah merupakan salah satu anugerah terbesar bagi orang-orang yang beriman di akhirat, dikarenakan mereka dapat menyaksikan Allah dengan cara yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, tanpa menyerupai penglihatan di dunia. Secara teologis, Ru’yatullah menggambarkan puncak hubungan antara hamba dan Tuhannya dengan penuh keikhlasan demi mencapai keridhaan-Nya.
Konsep ini didasarkan pada sejumlah ayat Al-Qur’an, seperti dalam Surah Al-Qiyamah: 22-23 serta hadits Nabi yang menggambarkan wajah orang-orang beriman berseri-seri melihat Tuhan mereka. Namun, penglihatan ini tidak bersifat fisik seperti manusia melihat objek di dunia, melainkan sebuah pengalaman yang transenden dan hanya Allah yang mengetahui hakikatnya.
Dalam filsafat Islam, ru’yatullah sering dikaitkan dengan pencapaian tingkat kesempurnaan spiritual. Dalam hal ini penulis akan mencoba mengulas tafsir yang berkenaan dengan ayat ru’yatullah, Q.S. Al-Qiyamah: 22-23;
وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاضِرَةٌۙ ٢٢ اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌۚ ٢٣
Artinya: “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, (karena) memandang Tuhannya”.
Analisis Tafsir menurut Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah
Fakhruddin Ar-Razi menerangan dalam Mafatih Al-Ghaib mengutip dari perkataan Imam Laits tentang kata (نضر) yaitu النضرة (nadhrah) yang berarti kenikmatan, الناضر (an-nādir) yang berarti sesuatu yang lembut dan menyenangkan, النضر (an-naḍir) yang berarti sesuatu yang indah dari segala sesuatu (Al-Razi, 2012: 228).
اعْلَمْ أنَّ جُمْهُورَ أهْلِ السُّنَّةِ يَتَمَسَّكُونَ بِهَذِهِ الآيَةِ في إثْباتِ أنَّ المُؤْمِنِينَ يَرَوْنَ اللَّهَ تَعالى يَوْمَ القِيامَةِ
Al-Razi menjelaskan bahwa jumhur ulama Ahlussunnah wal jama’ah meyakini bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah SWT di hari kiamat nanti (Al-Razi, 2012: 229)
Masih mengutip dari pendapat Ar Razi bahawa kata نَاظِرَةٌ pada ayat ke 23 terjadi beberapa perdebatan makna. Ar Razi menjelaskan setidaknya ada 2 makna dari kata نَاظِرَةٌ yaitu menunggu dan melihat secara penuh. Namun Ar Razi sendiri lebih condong memilih makna yang kedua yaitu melihat secara penuh.
Ar-Razi menjelaskan bahwa lafadz النَّظَرَ itu digambarkan dengan menggerakkan bola mata ke arah objek yang ingin dilihat sebagai upaya untuk melihatnya. Namun, kita katakan karena sulit untuk menafsirkan ‘melihat’ secara harfiah (hanya sebagai gerakan mata), maka kita harus menafsirkannya berdasarkan penyebabnya, yaitu “melihat” (dalam arti melihat secara penuh).
Ini adalah penggunaan istilah penyebab untuk merujuk pada yang disebabkan. Dan menafsirkan النَّظَرَ dengan “melihat” (secara penuh) lebih tepat daripada menafsirkannya sebagai “menunggu”, karena menggerakkan bola mata adalah sebab dari melihat. Oleh karena itu, menafsirkan النَّظَرَ dengan “melihat” (secara penuh) lebih tepat daripada menafsirkannya sebagai “menunggu”.” (Al-Razi, 2012: 228)
Analisis Tafsir Menurut Ulama Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah salah satu aliran dalam Islam yang dikenal dengan penekanannya pada penggunaan akal dalam memahami agama. Secara umum, Mu’tazilah menolak pandangan bahwa manusia dapat melihat Allah baik di dunia maupun di akhirat. Mereka berargumen pandangan tentang melihat Allah secara fisik dianggap bertentangan dengan logika.
Berikut akan penulis jelaskan tafsir mu’tazilah terkait ru’yatullah perspektif Al-Qadhi Abdul Jabbar.
بِأَنَّ النَّظَرَ إلَى اللهِ تعالى لا يَصِحُّ لِأَنَّ النَّظَرَ هُوَ تَقْلِيبُ الْعَيْنِ الصَّحِيحَةِ نَحْوَ الشَّيءِ طَلَبًا لِرُؤْيَتِهِ، وَذَلِكَ لا يَصِحُّ إلَّا فِي الأجْسَامِ، فَيَجِبُ أَنْ يُؤَوَّلَ عَلَى مَا يَصِحُّ النَّظَرُ إلَيْهِ وَهُوَ الثَّوَابُ
Secara redaksional nampak jelas bahwa Al-Qadhi Abdul Jabbar menjelaskan dalam penafsirannya bahwa yang dimaksud dengan ru’yatullah pada surat Al Qiyamah ayat 22-23 yaitu bukan melihat Allah secara nyata namun yang dimaksud adalah dengan melihat Allah adalah melihat pahala dari Allah tentang apa yang telah kita lakukan di dunia (Abdul Jabbar, 2006: 447)
Al-Qadhi Abdul Jabbar dan ulama-ulama mu’tazilah yang lain tidak menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan ru’yatullah bukan dengan melihat secara langsung zat Allah akan tetapi mentakwilkan ayat-ayat tersebut bahwa nanti di akhirat bukan melihat zat Allah melainkan melihat pahala-pahala yang Allah berikan demi menjaga daripada tanzih kepada zat Allah.
Ajaran mu’tazilah memegang konsep tanzih yakni prinsip yang menegaskan kesucian dan keagungan Allah yang berarti Allah tidak memiliki keserupaan dengan makhluknya. Oleh karena itu mu’tazilah menolak dengan keras konsep ru’yatullah yang dipahami oleh ulama-ulama Sunni. Muktazilah lebih condong bahwa yang dimaksud ru’yatullah adalah kiasan, jadi ayat tersebut harus ditakwilkan.
Kesimpulan
Perbedaan pendapat antara Sunni dan Mu’tazilah tentang konsep ru’yatullah memilki akar perbedaan yang sangat mendasar yakni Sunni cenderung mengadopsi pendekatan tafwidh (menyerahkan makna hakiki kepada Allah) atau itsbat (menerima sifat Allah tanpa penyerupaan), dengan tetap merujuk kepada teks-teks suci.
Sedangkan Muktazilah menggunakan pendekatan rasionalis, yang menekankan bahwa sesuatu yang bertentangan dengan logika manusia—yang mereka anut mengenai cara menyikapi eksistensi Tuhan (tanzih), seperti penglihatan terhadap zat Allah yang tidak bisa dideskripsikan dan dijangkau karena perbedaan posisi Tuhan dan makhluk, tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu Muktazilah lebih condong untuk mentakwilkan ru’yatullah dengan melihat pahala yang diberikan oleh Allah SWT.
Daftar Pustaka
Ahmad, Abi al-Husayin.1979. Mu’jam Maqayis al-Lughah, al- ‘Arabiyyah: Dar al-Fikr.
Al-Razi, Fakhrudin. 2012. Mafatih Al-Ghaib. Kairo: Dar El-Hadith.
Jabbar, Abdul. 2006. Tanzihul Qur’an Al Matha’in. Kairo: Maktabah An-Nafedzah.
Munawwir, Ahmad Warson. 2002. Kamus al-Munawwir Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif.
Qayyim, Ibnu. 2004. Berbicara Tentang Tuhan. Kampong Melayu Kecil: Mustaqim.
Thalbah, Hisyam. 2009. Ensiklopedi Mukjizat Al-Quran dan Hadis (Kemukjizatan Sastra dan Bahasa Al-quran). Jakarta: PT Sapta Sentosa.