Istilah pemerintah, dalam bahasa politik, jika disandingkan dengan kosa kata Al-Qur`an dapat dihubungkan dengan term ûlî al-amr. Di dalam Al-Qur`an, kosa kata ini hanya disebut dua kali, yakni pada Surah An-Nisa ayat 59 dan 83. Dari segi kebahasaan ungkapan ûlî al-amr terdiri atas dua kata, yakni perkataan ûlî yang berarti yang mempunyai atau yang memiliki dan al-amr yang berarti urusan, perintah, wewenang atau hak untuk memberi perintah. Jadi dari sudut pandang kebahasaan, ungkapan ûlî al-amr berarti orang atau lembaga yang mempunyai urusan dan/atau memiliki wewenang atau yang memiliki otoritas dalam mengatur, mengelola dan memberi perintah. (Fu’ad 1994:126)
Lebih jauh para ulama tafsir mempertanyakan, siapa atau lembaga apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan ungkapan ûlî al-amr (أولى الأمر) dalam perspektif Al-Qur`an? Dalam menjelaskan pertanyaan ini, al-Raghib al-Isfahani mengajukan empat pilihan jawaban sebagai berikut:
Pertama, ûlî al-amr (أولى الأمر) adalah الأمراء في زمن النبي عليه الصلاة والسلام (para pemimpin pada masa Nabi shallâllâh ‘alayhi wa sallam). Kedua, ûlî al-amr (أولى الأمر) adalah الأئمة من أهل البيت (para pemimpin dari kalangan ahl al-bayt). Ketiga, ûlî al-amr (أولى الأمر) adalah الأمرون بالمعروف (orang-orang yang memerintahkan kebaikan). Keempat, ûlî al-amr (أولى الأمر) adalah هم الفقهاء وأهل الدين المطيعون لله (mereka adalah para ulama fiqh dan para ahli agama yang taat kepada Allah). (Rasyid, 1960: 181)
Sebagaiman telah disebutkan di atas, bahwa di dalam Al-Qur`an ungkapan ûlî al-amr diulang dua kali, yaitu pada Surah al-Nisa` ayat 59 dan 83. Ayat pertama sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-Nisa`/4: 59).
Ungkapan ûlî al-amr pada Surah al-Nisa` ayat 59 di atas merupakan frase nomina yang terdiri dari kata ûlî (أولى) dan al-amr (الأمر). Perkataan ûlî (أولى) berarti ”pemilik”, sedangkan perkataan al-amr (الأمر) berarti ”perintah, tuntutan melakukan sesuatu, dan keadaan atau urusan”, mengingat wazan (pola kata) الأمر merupakan bentuk masdar dari kata kerja amara-ya’muru yang berarti ”memerintahkan atau menuntut agar sesuatu dikerjakan”. Dengan demikian frase أولى الأمر tersebut di atas dapat diterjemahkan ”pemilik urusan” dan ”pemilik kekuasaan atau hak untuk memberi perintah”.
Kedua makna ini sejalan, karena siapa yang berhak memberi perintah berarti ia juga mempunyai kekuasaan mengatur suatu urusan atau mengendalikan keadaan. Dengan demikian, ungkapan ûlî al-amr berarti orang yang berwewenang mengurus urusan kaum Muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa atau pemerintah. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah para ulama, dan pendapat ketiga menyatakan bahwa mereka adalah yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesi. (Mun’im, 2013:70)
Dari sudut sintaksis, pada Surah al-Nisa` ayat 59 di atas tampak bahwa kata uli al-amr berhubungan dengan kata al-Rasul dengan perantaraan huruf athaf al-wâw atau partikel penghubung. Karena hubungan ini, maka ungkapan tersebut berkedudukan sebagai maf’ûl bih (pelengkap penderita) mengikuti kedudukan kata al-Rasul. Hal ini berarti bahwa ûlî al-amr wajib ditaati seperti halnya kewajiban mentaati Rasulullah shallâllâh ‘alayhi wasallam. ( Quraish, 2000: 460)
Para pakar Al-Qur`an menerangkan bahwa apabila perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya digabung dengan menyebut hanya sekali perintah taat, maka hal itu mengisyaratkan bahwa ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan yang diperintahkan Allah, baik yang diperintahkan secara langsung dalam Al-Qur`an maupun perintah-Nya yang dijelaskan oleh Rasulullah shallâllâh ‘alayhi wasallam melalui hadits-hadits beliau. (Quraish, 2000: 461)
Sementara itu, perlu diperhatikan bahwa ungkapan أَطِيعُوا اللَّهَ (perintah mentaati Allah) kemudian diikuti dengan ungkapan وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ (perintah mentaat Rasul) dengan pengulangan kembali kata perintah أطِيعُوا (taatilah oleh kamu sekalian), sebagaimana terdapat pada Surah al-Nisa` ayat 59 di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah shallâllâh ‘alayhi wasallam memiliki hak untuk ditaati sebagaimana hak yang dimiliki Allah. Hal ini berbeda dengan perintah mentaati ûlî al-amr (أولى الأمر) tidak disertai dengan kata taatilah karena mereka tidak memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan kepada mereka bertentangan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. (Nasr, 2012: 192)
Para ulama ahli tafsir (al-muafassirûn) tidak sependapat mengenai konsep yang terkandung di dalam ungkapan ûlî al-amr tersebut. Hal itu terlihat dalam rangkuman Muhammad ‘Abduh tentang empat pengertian ûlî al-amr (أولى الأمر) sebagai yang berikut: (1) para amir (al-Umarâ’), (2) para hakim (al-Hukkâm), (3) para ahli pengetahuan (al-‘ulamâ`), dan (4) imam-imam maksum. Pendapat bahwa ûlî al-amr (أولى الأمر) adalah para amir atau al-umarâ` bersumber dari Tafsir al-Jalâlayn.
Al-Jalâlayn sendiri tidak menggunakan istilah al-umarâ`, tetapi al-wulât, yang berarti para wali atau para penguasa (pemerintah). Sementara itu, pendapat bahwa ûlî al-amr (أولى الأمر) adalah para hakim berasal dari Tafsir al-Baydhâwî, sedangkan pendapat bahwa ûlî al-amr (أولى الأمر) berarti para ulama bersumber dari riwayat Ibn Abbas yang menafsirkan perkataan أولى الأمر dalam arti ahli fiqh atau ahli agama. Adapun pihak yang menafsirkan bahwa perkataan أولى الأمر berarti para imam yang ma’shûm merupakan pandangan Syi’ah Rafidhah. (Taufik, 2001: 155)
Tanggung Jawab Ûlîl Amri Dalam Pelayanan Publik
Penegasan Al-Qur`an tentang kewajiban kaum Muslimin untuk mentaati ûlî al-amr atau pejabat pemerintah sebanding lurus dengan penegasan Al-Qur`an tentang kewajiban pejabat pemerintah untuk menunaikan amanat yang dibebankan kepada pundak mereka. Kaum Muslimin tidak wajib mentaati ûlî al-amr yang tidak mentaati Allah dan tidak menunaikan amanat yang dibebankan kepadanya untuk melayani rakyat. Pejabat publik yang tidak amanah kehilangan legitimasi moral, kehormatan dan martabatnya sebagai ûlî al-amr. Sebab ûlî al-amr diangkat untuk melayani masyarakat luas pada bidang yang menjadi kompetensinya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing institusi yang diatur di dalam administrasi publik. Perhatikanlah dua ayat Al-Qur`an yang berikut: (Raghib, 1991: 21)
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi peringatan kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-Nisa`/4: 58-59).
Beberapa persoalan pokok yang terkandung dalam kedua ayat di atas adalah: (1) perintah menunaikan amanat, (2) perintah berlaku adil dalam menetapkan hukum, (3) perintah taat kepada Allah, Rasulullah, dan ûlî al-amr dan (4) perintah menyelesaikan perselisihan dengan mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan materi seperti ini, para ulama memandang bahwa kedua ayat Al-Qur`an di atas sebagai pokok hukum yang menghimpun segala ajaran agama. (Arkoun, 1987: 86)
Nilai essensial yang menjadi pesan utama Surah al-Nisâ` ayat 58 di atas adalah keharusan setiap orang untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Kata Al-Amânât yang menjadi fokus pembahasan dalam ayat di atas adalah bentuk jamak dari kata amânât. Kata ini adalah bentuk masdar dari kata kerja amina-ya’manu-amn (an), amanat(an), amân(an), imn(an), amanat(an) yang secara leksikal berarti ”tenang dan tidak takut.” Meskipun begitu, kata tersebut di sini tidak dipergunakan sebagai masdar, tetapi sebagai ism maf’ul (kata sifat sebagai obyek) dengan pengertian ”segala sesuatu yang dipercayakan seseorang kepada orang lain dengan rasa aman”. (Fakhruddin, 2003: 68)
Ibn Jarir al-Thabari mengemukakan pendapatnya bahwa ayat itu ditujukan kepada para pemimpin umat agar mereka menunaikan hak-hak umat Islam yang diserahkan kepada mereka untuk ditangani dengan baik dan adil. Ibn Taymiyah (661-728 H) memandang istilah tersebut mencakup dua konsep: kekuasaan (Al-Wilayat) dan harta benda. Pendapat lain dikemukakan oleh Muhammad ’Abduh. Ia mengaitkan amanat di sini dengan pengetahuan dan memperkenalkan istilah amanat al-’ilm dengan makna tanggung jawab mengakui dan mengembangkan kebenaran. Klasifikasi amanat ditemukan dalam pendapat Al-Maraghi. Ia membedakan amanat atas: (1) tanggug jawab manusia kepada Allah, (2) tanggung jawab manusia kepada sesamanya, dan (3) tanggung jawab manusia kepada dirinya sendiri. Dan akhirnya makna amanat yang paling luas ditemukan dalam rumusan yang diberikan oleh Thanthawi Jauhari (1287-1358 H), yaitu segala yang dipercayakan orang berupa perkataan, perbuatan, harta dan pengetahuan, atau segala nikmat yang ada pada manusia yang berguna bagi dirinya dan orang lain. (Gusmian, 2013: 128)
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan perbedaan konsep amanat di antara para ulama akibat perbedaan pendekatan. Al-Thabari memandang ayat-ayat di atas ditujukan kepada ûlî al-amr atau pemimpin pemerintahan dengan mengajukan konsep amanat yang legalitas, sehingga amanat itu mencakup hak-hak sipil. Konotasi yang sama terlihat pula dalam pemikiran politik Ibn Taymiyah yang melihat amanat sebagai konsep yang mencakup hak-hak sipil dan publik. Muhammad ’Abduh yang menggunakan pendekatan sosio-kultural melihat konsep amanat dalam ayat di atas tidak terlepas dari kenyataan sejarah Ahli Kitab yang mengkhianati kebenaran dan menyembunyikan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW yang mereka ketahui melalui kitab suci mereka. Al-Maraghi melihat konsep amanat dari sudut kepada siapa amanat harus dipertanggung-jawabkan. Dan akhirnya Thanthawi merumuskan amanat secara umum, yakni menjadikan konsep tersebut lebih abstrak karena rumusan yang dikemukakannya tidak saja berdasarkan pertanggungjawaban tetapi juga kegunaan yang terkandung di dalamnya. (Jansen, 1997: 42)
Daftar Pustaka
Adib, Shohibul, M. Syihabuddin Muin d Fahmi dan Arif El-Muniry. (2011). Ulumul Quran: Profil para Mufassir al-Qur’an dan para Pengkajinya. Banten: Pustaka Dunia.
Adnan Amal, Taufik. (2001). Rekontruksi Sejarah al-Qur’an. Yogyakarta: FkBA.
al-Baqi, Muhammad Fuad. (1994). Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr.
Arkoun, Mohammed. (1987). Rethinking Islam Today. New York: Times Books Review.
Asfihany, al-Raghib. (1991). al Mufradat fi Gharib al-Qur’an. Beirut : Dar al-Qalam.
Faiz, Fakhruddin. (2003). Hermeneutika Qur’ani: antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Penerbit Qalam.
Gusmian, Islah. (2013). Khazanah Tafsir Indonesia; dari Hermeneutika hingga Ideologi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Jansen, J. G. (1997). Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern Terjemahan Mohamad Nur Kholis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Nasr, Sayyed Vali Reza. (2012). Mawdudi and the Making of Islamic Revivalism. Oxford: Oxford University Press.
Ridha, Muhammad Rasyid. (1960). Tafsir Al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar). Mesir: Maktabat al-Qahirat.
Shihab, Quraish. (2000). Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Sirry, Mun’im. (2013). Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik AlQur’an Terhadap Agama Lain. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.