Pengetahuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan pesat, dan hal ini membuat manusia modern cenderung mengandalkan hukum-hukum alam dalam memahami realitas. Hal ini bertentangan dalam memahami kebenaran dalam kitab-kitab suci yang sulit dibuktikan dengan dengan pemahaman rasional dan empiris. Mitos merupakan ekspresi dari pemahaman tertentu tentang eksistensi manusia. Meski sering dianggap sebagai penjelasan primitif tentang fenomena luar biasa yang dikaitkan dengan roh jahat, mitos sebenarnya lebih mendalam (Ulfiyati, 2020: 29).
Menyadari adanya kesenjangan antara elemen-elemen mitis dalam kitab suci dan cara pandang manusia modern, Rudolf Bultmann, seorang teolog Jerman, mengembangkan konsep demitologisasi. Melalui pendekatan ini, ia berupaya menafsirkan kitab suci dengan menggali makna eksistensial di balik simbol-simbol mitis, tanpa terikat pada elemen-elemen yang sulit diterima oleh nalar modern.
Penelitian ini mengkaji penerapan pendekatan demitologisasi Bultmann terhadap eskatologi Fazlur Rahman, yang melihat dunyā dan ākhirah sebagai tahap kehidupan yang saling terkait. Dunia menjadi tempat perjuangan untuk amal yang dituai di akhirat. Dengan demitologisasi, pandangan Rahman dapat dipahami secara eksistensial dan relevan bagi manusia modern, mengungkap makna simbolis dunia dan akhirat dalam konteks yang lebih bermakna.
Konsep Hermeneutik Demitologisasi Rudolf Bultmann
Rudolf Bultman sebagaimana dikutip dalam tulisan Abdul Moqsith Ghazalli, menyatakan the term hermeneutics is generally used to discrible the attempt to span the gap between past and present. Yang bermaksud, biasanya hermeneutika dipakai untuk menjembatani jurang antara masa lalu dan masa kini (Ulfiyati, 2020: 33). Tugas pokok hermeneutika adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atau realitas sosial di masa lampau yang asing sama sekali menjadi milik orang yang hidup di masa, tempat dan suasana kultural yang berbeda.
Ada dua pokok gagasan penting yang perlu kita perhatikan. Pertama, demitologisasi bukan sebuah ajaran, melainkan sebuah metode hermeneutik. Kedua, tujuan metode ini bukan untuk menghilangkan mitos, melainkan untuk memahaminya. Di sini Bultmann menyumbang sesuatu yang baru di dalam hermeneutik modern. Baginya memahami bukan sekadar seni atau metode ilmiah, melainkan lebih spesifik lagi sebagai demitologisasi. Demitologisasi Bultmann adalah suatu hermeneutik bukan untuk menyingkirkan mitos sebagai fiksi, melainkan menafsirkan mitos sehingga makna eksistensialnya dapat dipahami oleh pembaca modern (Hardiman, 2015: 150).
Bultmann menggunakan metode demitologisasi untuk menekankan bahwa manusia perlu kembali pada ajaran dasar pertama, yang mengarahkan orang percaya di era pascamodern untuk mempercayai Tuhan, bukan pada kenyamanan eksistensial palsu yang ditemukan dalam bentuk kebenaran apapun. Bultmann menantang umat Kristen untuk mempercayai bahwa manusia dibebaskan dari dosa melalui Kristus, sebagaimana yang diajarkan oleh komunitas gereja, dengan pengharapan akan masa depan bersama Tuhan. Dalam Perjanjian Baru, terdapat mitos yang berkaitan dengan eksistensi historis Yesus, dan pandangan ini muncul karena keterbatasan sumber independen yang menguatkan fakta mengenai keberadaan historis Yesus. Penambahan dalam teks-teks Perjanjian Baru menyebabkan keraguan terhadap eksistensi historis Yesus (Keristina, dkk, 2023: 117).
Demitologisasi dalam Pemahaman Alquran
Mitos dalam konteks ini lebih dekat dengan konsep yang gaib. Keimanan terhadap hal-hal gaib merupakan salah satu dasar dari iman. Ayat-ayat eskatologis, yang mencakup hal-hal gaib, termasuk dalam sistem kepercayaan Islam. Salah satunya adalah neraka, yang digambarkan sebagai tempat gaib yang belum pernah terlihat oleh siapa pun. Neraka dianggap sebagai tempat hukuman bagi orang-orang berdosa dan berada di alam akhirat, bukan di dunia ini. Pemahaman ini mengarah pada konsekuensi konseptual bahwa neraka merupakan mitos, dan sebagai hukuman bagi orang berdosa, konsep neraka ini mencerminkan nalar mitologis dalam agama (Bleicher, 1980: 106).
Perlu dipahami bahwa mitos atau elemen mitologis dalam Alquran tidak mengabaikan keberadaan eksistensialnya. Alquran, sebagai teks yang menyampaikan pesannya dengan bahasa yang bersifat mistis, tidak menjadikannya teks yang inferior atau rendah mutu. Sebaliknya, fenomena mitos dan nalar mitologis ini justru menonjolkan keindahan dan kebenaran al-Qur’an dari perspektif sastra.
Mitos adalah sesuatu yang tidak dapat dirasakan dengan indera manusia, tetapi tetap mempengaruhi pikiran dan perasaan manusia. Mitos bukanlah benda fisik, melainkan pernyataan atau informasi sejarah yang tidak bisa dilihat, tetapi memengaruhi cara berpikir manusia. Sedangkan demitologisasi dalam Alquran adalah proses kreatif untuk menemukan makna baru yang relevan dengan pemikiran modern. Ini adalah cara untuk memahami Alquran dengan perspektif yang berbeda, yang menunjukkan bahwa Alquran memiliki banyak sisi kebenaran yang dapat diterangi. Demitologisasi juga bisa dipahami sebagai upaya mengubah pemikiran mistis kuno menjadi pemahaman yang lebih kontekstual dan sesuai dengan zaman (Roibin, 2010 : 86-87).
Demitologisasi Penafsiran Makna “Dunyā” dan “Ākhirah” dalam Eskatologi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman menyatakan bahwa eskatologi dalam al-Qur’an pada intinya membahas tentang kebahagiaan di surga dan penderitaan di neraka. Surga dan neraka kerap digambarkan dalam al-Qur’an sebagai bentuk ganjaran dan hukuman, yang juga mencakup konsep “keridhaan dan kemurkaan Allah” yang perlu dianalisis secara mendalam. Ide pokok yang menjadi dasar berbagai ajaran ajaran al-Qur’an mengenai akhirat adalah bahwa akan tiba saatnya ketika seluruh umat manusia akan merasakan kesadaran unik yang tak pernah dialami pada masa sebelumnya mengenai berbagai amal perbuatan yang telah mereka lakukan. Kemudian, manusia akan menerima ganjaran karena perbuatan-perbuatannya itu, sebagaimana dalam Q.S. al-Qāri’ah: 6-11, al-Zalzalah: 6-8 (Rahman, 1996: 54).
Oleh karena itu, konsep akhirat harus dipahami secara menyeluruh, karena terkait erat dengan kasih sayang Allah. Melalui rahmat-Nya, Allah mendesain akhirat sebagai mekanisme pendewasaan moral manusia. Tanpa balasan dan pengadilan, manusia cenderung hidup tanpa tanggung jawab moral. Akhirat ditempatkan dalam kerangka nilai moral untuk menciptakan kehidupan dunia yang lebih baik dan bermoral, sesuai tujuan syariat Islam.
Rahman menganalogikan dunia dan akhirat dengan air yang mengalir dari bukit-bukit yang di atasnya terbentuk buih, dan begitu air berlalu, buih pun menjadi hilang seketika. Sedangkan endapannya yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap tinggal di bumi. Buih tersebut adalah “dunyā” (dunia) sementara endapan yang bermanfaat bagi manusia adalah “ākhirah” (akhirat). Pernyataanya tersebut disarikan dari pernyataan QS. al-Ra‘d: 17. Kehidupan dunia menurut Rahman adalah satu-satunya kehidupan dimana manusia dapat berjuang dan memperoleh hasil perjuangannya, atau menaburkan benih-benih yang “akhirnya” setelah kematian akan mendatangkan buah (Rahman, 1996 : 126).
Dalam kerangka teori demitologisasi Bultmann, QS. al-Ra‘d: 17 dapat ditafsirkan dengan cara menggali makna esensial dari simbol-simbol alamiah seperti air, buih, dan endapan. Bultmann dalam karya New Testament and Mythology (1984) menjelaskan bahwa tujuan demitologisasi adalah membebaskan teks religius dari elemen mitis yang tidak relevan dengan konteks modern tanpa menghilangkan pesan teologis dan moralnya. Dengan pendekatan ini, air yang mengalir tidak hanya merepresentasikan fenomena alam, tetapi juga menjadi metafora untuk kehidupan dunia yang dinamis namun sementara. Buih melambangkan hal-hal duniawi yang tampak menarik namun tidak memiliki nilai esensial, sementara endapan menggambarkan amal dan perbuatan manusia yang memiliki makna abadi di akhirat.
Proses demitologisasi menuntut reinterpretasi simbol-simbol tersebut dalam kerangka kehidupan manusia modern. Bagi Rahman, dunia bukanlah antitesis dari akhirat, melainkan tahap awal dalam perjalanan eksistensial manusia. Dunia berfungsi sebagai arena untuk berjuang, membentuk karakter, dan menanam amal kebajikan. Pemahaman ini sejalan dengan konsep Bultmann yang melihat teks religius sebagai ajakan untuk refleksi eksistensial, di mana manusia diajak menyadari tanggung jawab moralnya. Dengan mengadopsi pandangan ini, Rahman menekankan bahwa nilai dunia hanya akan bermakna jika diorientasikan pada pencapaian akhirat. Hal ini selaras dengan pendekatan Bultmann yang menempatkan fokus pada kehidupan autentik manusia dalam konteks tanggung jawab terhadap nilai-nilai moral dan spiritual.
Selain itu, pendekatan demitologisasi juga relevan dalam memahami bagaimana simbol dalam QS. al-Ra‘d: 17 menggambarkan integrasi antara dunia dan akhirat. Dalam pandangan Rahman, dunia adalah ruang untuk menanam kebaikan, sedangkan akhirat adalah hasil dari investasi moral yang dilakukan di dunia. Hal ini menguatkan pandangan bahwa ajaran Islam bukan hanya sekadar doktrin spiritual, tetapi juga panduan praktis untuk menciptakan kehidupan yang bermoral dan bermakna. Seperti yang diungkapkan Bultmann, elemen mitis dalam teks harus dilihat sebagai kendaraan untuk menyampaikan pesan moral yang dapat diadaptasi ke dalam realitas kehidupan manusia (Bultmann, 1984: 9).
Dengan demikian, analogi Rahman tentang air, buih, dan endapan tidak hanya menggambarkan realitas fisik, tetapi juga menawarkan kerangka konseptual untuk memahami hubungan dunia dan akhirat. Melalui proses demitologisasi, simbol-simbol tersebut memberikan wawasan eskatologis yang menekankan tanggung jawab eksistensial manusia untuk memanfaatkan kehidupan dunia dengan bijaksana. Sebagaimana diungkapkan Rahman dan ditekankan melalui pendekatan Bultmann, kehidupan dunia adalah kesempatan bagi manusia untuk menanam amal yang akan terus bernilai di akhirat, menjadikannya panggung penting untuk perjuangan moral yang bermakna.
Daftar Pustaka
Bleicher, Josef. Contemporery Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique. London: British Library Cataloguing In Publication Data, 1980.
Bultmann, Rudolf. New Testament and Mythology and Other Basic Writings. Translated by Schubert M. Ogden. Philadelphia: Fortress Press, 1989.
Bultmann, Rudolf. The New Testament and Mythology and Other Basic Writings, Augsburg : Fortress Publishers, 1984.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami Hermenetika dari Schleiermacher Sampai Derrida, Depok : PT. Kanisius : 2015.
Keristina, Angel, dkk. “Pemahaman Sebagai Cara Menyikap Menurut Rudolf Bultmann dan Demitologisasi”, dalam Asian Journal of Philosophy and Religion (AJPR) Vol. 2 No.1 Tahun 2023 : 173-187.
Rahman, Fazlur. Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka, 1996.
Roibin, “Agama dan Mitos: Dari Imajinasi Kreatif Menuju Realitas Yang Dinamis,” Jurnal el Harakah, Vol. 12 No. 2 Tahun 2010 : 85-97.
Ulfiyati, Nur Shofa. “Pemikiran Hermeneutika Rudolf Bultmann : Eksistensialisasi dan Demitologisasi”. dalam Atthiflah: Journal of Early Childhood Islamic Education, Vol. 7 No. 1 Tahun 2020 : 29-35.