Epistemologi Moral Al-Qur’an: Eksplorasi Peran Akal dalam Formasi Pengetahuan Etis

Bagaimana manusia mengetahui kebaikan dan membedakannya dari keburukan? Jika pengetahuan moral diandaikan mungkin, dari mana mereka memeroleh pengetahuan tersebut? Apakah pengetahuan moral bersumber dari akal budi mereka, atau hanya diperoleh melalui tuntunan wahyu Ilahi? Masalah-masalah demikian berkaitan dengan salah satu topik dari diskursus metaetika, yaitu epistemologi moral. Secara sederhana, epistemologi moral dapat dipahami sebagai studi filosofis terhadap masalah yang berhubungan dengan pengetahuan moral. Dalam konteks ini, kita dapat mengartikan pengetahuan moral sebagai justified true moral belief. Artinya, untuk dikatakan sebagai pengetahuan moral, suatu proposisi moral mesti mengandung nilai kebenaran dan telah melalui proses justifikasi rasional (Zimmerman, 2010).

Dalam tradisi Islam, usaha untuk merespons pertanyaan di atas mengantarkan para sarjana Muslim kepada pengembangan perspektif yang beragam, perdebatan yang tajam, dan kesimpulan yang tidak jarang bertolak belakang satu sama lain. Merujuk kepada klasifikasi dan penjelasan George Hourani (1985), secara garis besar kita dapat membagi sikap sarjana Muslim terhadap pengetahuan moral ke dalam dua perspektif, yaitu moral rationalism dan scriptural traditionalism.

Bacaan Lainnya

Perspektif pertama dikembangkan oleh para filsuf Muslim dan para teolog dari mazhab Mu’tazilah dan Syi’ah. Kalangan filsuf Muslim berpendapat bahwa akal budi manusia secara mandiri dapat memberikan informasi pengetahuan etis bagi mereka. Sementara itu, para teolog dari mazhab Mu’tazilah dan Syi’ah berpandangan bahwa pengetahuan etis manusia diperoleh melalui akal budi mereka serta derived sources (Al-Qur’an dan sumber-sumber yang diderivasi darinya, yaitu sunnah, ijmā, dan qiyās) (Nusseibeh, 2017). Berkenaan dengan ini, mereka menempatkan rasionalitas manusia dan wahyu Tuhan sebagai sumber epistemis yang komplementer bagi konstruksi pengetahuan moral manusia (El Fadl, 2017).

Perspektif kedua adalah traditionalism. Perspektif ini dipromosikan oleh para teolog Asy‘ariyyah dan mayoritas pakar hukum dari tradisi Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi‘i, Hanbali, dan Zahiri). Bagi mereka, manusia tidak dapat merumuskan pengetahuan etis terkait kebaikan dan keburukan apabila semata-mata bersandar pada akal budi. Mereka kemudian menegaskan bahwa hanya melalui wahyu dan derived source (sunnah, ijmā’, dan qiyās), manusia dapat mengenali nilai-nilai etis yang sejati (Sachedina, 2005a). Meski demikian, perspektif mereka sebetulnya tidak betul-betul menghapuskan penggunaan akal dalam formasi pengetahuan moral. Sebab, dalam proses deduksi nilai etis dari Al-Qur’an dan derived source, mereka tetap melibatkan aktivitas penalaran. Bahkan, mereka juga meyakini bahwa di balik perintah dan larangan Tuhan, terdapat tujuan Syariat yang dapat dipahami manusia secara rasional (Brown, 1999).

Salah satu masalah serus dari diskursus keislaman modern adalah bahwa persoalan epistemologi moral belum begitu mendapatkan perhatian yang proporsional. Berdasarkan observasi yang cermat, Abdulaziz Sachedina menyatakan bahwa penelitian etis yang terhubung dengan wacana epistemologi dan ontologi moral belum begitu berkembang dalam kurikulum di berbagai institiusi pendidikan Islam (Sachedina, 2009). Dalam hal ini, Islam Indonesia bukanlah pengecualian. Apabila kita mengamati diseminasi artikel ilmiah, esai populer, risalah akademis, hingga perbincangan publik, kita akan menemukan bahwa kajian epistemologi moral masih menempati posisi yang relatif marginal, jika bukan asing.

Tulisan ini kemudian bertujuan untuk mengeksplorasi diskursus epistemologi moral dalam Islam. Secara khusus, penulis akan memusatkan perhatian pada pengandaian-pengandaian etis Al-Qur’an mengenai pengetahuan moral manusia. Argumen yang hendak penulis ajukan adalah bahwa penekanan Al-Qur’an pada posisi penting akal dalam kehidupan etis-religius manusia mengimplikasikan bahwa Al-Qur’an memandang pengetahuan moral yang didasarkan kepada, dan dibentuk melalui proses penalaran manusia adalah pengetahuan yang reliable. Optimisme moral semacam ini mengandaikan bahwa berbekal kapasitas alamiah yang dianugerahkan Tuhan, manusia dapat membentuk suatu proposisi moral yang mengandung kebenaran etis dan dapat dijadikan basis bagi pembentukan kehidupan publik yang etis.

Seruan Al-Qur’an terhadap Penalaran Rasional

Secara etimologis, istilah ‘aql (akal) berarti “mengikat, memahami, menilai, dan menarik kesimpulan secara rasional (Badawi & Haleem, 2008, pp. 633–634). Dalam al-Ta’rīfāt, al-Jurjāni menjelaskan bahwa akal merupakan esensi spiritual dan cahaya dalam diri manusia sekaligus yang akan membantu mereka dalam membedakan kebenaran dari kesalahan (al-Jurjānī, 2004, p. 128). Menerjemahkan secara etis, menulis bahwa akal dinamai akal karena ia menghindarkan, dengan mengikat, pemiliknya dar berbagai ketidakbaikan (‘an mā lā yaḥsun) (al-Fairuzābādī, 1996, p. 85). Meski tidak menggunakan istilah akal dalam bentuk nomina, Al-Qur’an yang menggunakan derivasi kata kerja dari istilah ini, ‘aqala-ya’qilu, sebanyak 49 kali mengafirmasi posisi dan peran krusial rasionalitas manusia dalam bangunan epistemologi moral Al-Qur’an.

Salah satu tujuan utama dari diturunkannya teks Al-Qur’an adalah agar setiap manusia dapat mengaktualisasikan potensi-potensi rasionalnya secara optimal (Q. 12:2; 16:44; 21:10; 43:3; dan 59:21). Tidak hanya itu, Al-Qur’an juga menyatakan bahwa petunjuk Tuhan, termasuk perkara etika dan moralitas, tidak akan diberikan bagi orang-orang yang hanya mengimitasi keyakinan maupun praktik kehidupan dari leluhur mereka tanpa pernah mendayagunakan akal budi mereka untuk memahami ayat-ayat Tuhan (Q. 2:170). Melalui aktivitas rasionalnya, manusia akan tiba pada suatu kesimpulan moral yang benar (Q. 2:44). Pada saat yang sama, aktivitas berpikir reflektif dapat mencegah seseorang dari berbagai pelanggaran moral (Q. 36:62). Jika kita menjadikan ketakwaan sebagai sebuah konsep etis, seperti yang telah dielaborasi oleh Rahman (1983), maka keutamaan etis dari subjek moral sangat berkaitan erat, dan ditentukan oleh sejauh mana ia berpikir (Q. 6: 2).

Sentralitas akal budi dalam konstruksi pengetahuan moral manusia akan semakin jelas ketika kita memahami bagaimana Tuhan mewahyukan diri-Nya di dunia. Selain menjadikan teks sebagai sarana pewahyuan kehendak-Nya, Tuhan juga meninggalkan tanda-tanda (āyāt) eksistensi-Nya di alam semesta. Tanda-tanda tersebut meliputi realitas kosmos, baik pada level makrokosmos—penciptaan langit, bumi, lautan, bintang-bintang, flora dan fauna, mineral dan logam, pergantian siang dan malam, penurunan hujan, siklus angin, dan lain seterusnya—hingga level mikrokosmos—manusia (Q. 2:164; 6:141; 13:2-4; 16:10-11,14-18; 13:4; 18:16; 20:53; 21:30; 22:46; 23:12-14,80; 24:45; 29:35; 30:24,48; 31:10; 34:10 12; 35:27; 39:21; 45:5,13; 50:6,9-11; 57:17,25; 76:2; 86:5; 22:5; 30:28; 36:68; 40:67; 42:49-50; dan 86:5).

Penegasan demikian merupakan undangan terbuka bagi setiap manusia untuk merefleksikan tanda-tanda Tuhan yang tersebar di dunia. Sedemikian banyaknya referensi Al-Qur’an mengenai tanda-tanda Tuhan, Ian Richard Netton (1994) lalu menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah surga par excellence bagi mereka yang hendak bergumul secara intens pada kajian semiotika kitab suci. Dari penciptaan terhadap tanda-tanda tersebut, Tuhan pun melengkapi akal budi manusia dengan kemampuan untuk menemukan struktur moral yang universal sekaligus kapasitas untuk menderivasi dan menjustifikasi pengetahuan moral darinya (Hourani, 1985).

Al-Qur’an juga mendorong umat manusia untuk mempelajari berbagai peristiwa historis di masa lalu terkait kehancuran umat terdahulu akibat tindakan-tindakan mereka yang mengingkari tata nilai etis yang universal (Q. 12:109; 41:25; 46:18). Tujuan dari refleksi tersebut adalah untuk mengidentifikasi keterkaitan hukum sejarah dengan hukum moral sekaligus memproyeksikan suatu horizon etis yang mampu mencegah manusia hari ini dari kebinasaan. Dari sini dapat ditegaskan bahwa apabila nilai baik dan buruk hanyalah emanasi dari perintah Ilahi yang termaktub dalam kitab suci, maka penekanan Al-Qur’an terhadap posisi, fungsi, serta konsekuensi dari penggunaan akal menjadi tidak berarti (al-Attar, 2010). Maka, menurut epistemologi moral Al-Qur’an, akal budi manusialah yang memungkinkan mereka dalam membentuk dan menjustifikasi nilai etis dengan merujuk pada hukum moral yang universal.

Poin penting yang perlu penulis tegaskan adalah bahwa penyebutan istilah akal dalam Al-Qur’an senantiasa mengandung konotasi positif. Dalam hal ini, akal tidak pernah diposisikan sebagai sesuatu yang menyebabkan seseorang terjerumus pada perbuatan immoral. Adalah istilah hawā’ yang Al-Qur’an gunakan untuk menggambarkan dorongan negatif manusia. Dari beberapa pernyataan Al-Qur’an, istilah hawā’ senantiasa dikaitkan dengan subjektivisme egoistis dan keburukan moral manusia (Q. 5:49,77; 6:56,150; 18:28; 28:55; 30:29; 38:26; 47:14; 54:3). Tidak hanya itu, istilah tersebut juga selalu dikontraskan dengan nilai-nilai kebaikan (Q. 2:120,145; 4:135; 5:48-49; 6:119; 23:71; 42:15). Al-Qur’an bahkan menempatkan kecenderungan negatif ini sebagai sesuatu yang berlawanan dengan hukum Tuhan/Syariat agama. Singkat kata, yang menuntun manusia kepada kesalahan dan kesesatan dalam setiap keputusan moralnya adalah hawā, bukan ‘aql.

Manusia dan Pengetahuan Etis

Pada Q. 30:30, Al-Qur’an menyatakan bahwa Tuhan menganugerahi manusia suatu kapasitas bawaan (fitrah) yang memungkinkan mereka untuk memikirkan nilai kebaikan dan keburukan dari suatu tindakan. Dalam konteks ini, epistemologi moral Al-Qur’an mendasarkan konstruksinya pada suatu proposisi bahwa Tuhan yang Maha Bijaksana tidak akan membiarkan manusia hidup tanpa dibersamai petunjuk intrinsik dalam diri mereka (Sachedina, 2022).

Fitrah tersebut kemudian dihubungkan dengan kognisi etis yang universal pada diri manusia. Dalam Q.91:7-10, Al-Qur’an secara eksplisit menyatakan bahwa Tuhan telah mengilhamkan suatu kapasitas epistemis bagi seluruh manusia untuk memahami dan menjustifikasi apa yang baik dan membedakannya dari apa yang buruk secara rasional (El Fadl, 2014b; Sachedina, 2001). Melalui ayat ini, Tuhan lalu memberi mandat bagi manusia untuk terlibat secara kontinu pada proses purifikasi etika melalui kultivasi kesadaran moral yang genuine.

Ayat di atas adalah bukti bagi al-ḥusn wa al-qubḥ ‘aqliyyān (kemasukakalan kebaikan dan keburukan) serta kapasitas manusia dalam memahami keduanya (Syīrāzī, 2013, p. 280). Tidak hanya itu, ayat ini juga mengandung makna bahwa Tuhan menciptakan potensi (isti’dād) dalam jiwa manusia untuk melakukan kebaikan dan keburukan secara setara. Secara implisit, ayat ini mengandaikan kebebasan dan potensi pengetahuan moral manusia untuk menjustifikasi nilai-nilai etis. Tanpa kapasitas moral ini, pujian dan celaan, ganjaran dan hukuman terhadap apa yang manusia lakukan atau tinggalkan menjadi tidak berarti (Mughniyyah, n.d., p. 571).

Di tempat lain, Q. 90:8-10 menunjukkan bahwa kemampuan manusia untuk merumuskan suatu pengetahuan mengenai nilai etis merupakan bagian dari anugerah Tuhan (al-Attar, 2017). Mengomentari ayat ini, beberapa mufasir modern menyatakan bahwa Tuhan mengajarkan jalan kebaikan dan keburukan secara intrinsik dalam fitrah setiap individu melalui ilham-Nya sehingga mereka dapat mengetahui yang baik dan membedakannya dari yang buruk secara rasional (al-Musāwī, 2012, p. 274; Qera’ati, 2014, p. 460; Tabataba’i, 1997, pp. 331–332).

Dengan mempoklamirkan diri sebagai al-żikr/pengingat (Q. 16:44), Al-Qur’an pun mengandaikan keberadaan nilai dan kebenaran etis yang secara potensial dapat diketahui oleh manusia melalui fakultas bawaan mereka, yaitu akal budi dan intuisi (El Fadl, 2014a; Lazhar, 2023). Maka dari itu, kebaikan dan keburukan merupakan nilai yang mandiri secara rasional karena seseorang dapat memahami keterpujian perbuatan baik dan ketercelaan perbuatan buruk.

Untuk menutup tulisan ini, penulis hendak menegaskan kembali bahwa Al-Qur’an mempromosikan etos moral rationalism. Penegasan ini memiliki konsekuensi bukan hanya pada level teoretis, namun juga praktis. Apabila diamati, etos beragama sebagian besar masyarakat Muslim hari ini ditandai oleh legalisme formal yang memisahkan hukum dari moralitas. Bahkan, demi penegakan hukum, pelanggaran moral menjadi sesuatu yang wajar dan dapat dibenarkan. Hal demikian disebabkan oleh peminggiran akal, yang merupakan komposisi utama etika, dalam penghayatan keagamaan.

Akibatnya, muncul suatu normalitas yang problematis berupa kebiasaan untuk meminta-minta fatwa dalam menghadapi kasus-kasus moral aktual di kehidupan. Padahal, status epistemis dari moral deference (bertaklid dalam pengambilan putusan moral) tidak sepenuhnya dapat dijadaikan sandaran dalam setiap kesempatan. Karena, ia tidak berangkat dari suatu sentimen moral dan tidak menumbuhkan keutamaan etis dalam diri seseorang (Saemi, 2024). Tidak hanya itu, pengenyahan peranan akal demikian juga menjadi alasan utama di balik kemunculan sejumlah fatwa-fatwa keagamaan yang aneh, absurd, tidak rasional, dan berkontradiksi dengan ilmu pengetahuan mutakhir (Akyol, 2021). Tidak berlebihan jika Khaled Abou El Fadl menyatakan bahwa legalisme kering dalam Islam modern telah mengosongkan tradisi Islam dari konten etisnya (El Fadl, 2005).

Dengan menyerukan pentingnya peranan akal dalam kehidupan religius-etis manusia, epistemologi moral Al-Qur’an dapat mendorong setiap individu, terutama umat Muslim, untuk mengkultivasi sentimen moral yang genuine, merumuskan pengetahuan etis kolektif yang baik, serta berkontribusi pada pembangunan ruang publik yang etis (Q. 5:48). Lebih dari itu, epistemologi moral Al-Qur’an bahkan dapat dijadikan sebagai basis bagi pendasaran hak asasi manusia (Sachedina, 2009), pengembangan pluralisme agama (Sachedina, 2005b, 2010), hingga pembentukan budaya dan ruang publik yang etis (Sachedina, 2006).

Daftar Pustaka

Akyol, M. (2021). Reopening Muslim Minds: A Return to Reason, Freedom, and Tolerance. St. Martin’s Essentials.
al-Attar, M. (2010). Islamic Ethics: Divine Command Theory in Arabo-Islamic Thought. Routledge.
al-Attar, M. (2017). Meta-ethics: A Quest for an Epistemological Basis of Morality in Classical Islamic Thought. https://doi.org/10.1163/24685542-12340003
al-Fairuzābādī, M. al-D. M. ibn Y. (1996). Baṣā’ir Ẓawī al-Tamyīz fi Laṭāif al-Kitāb al-‘Aziẓ: Vol. IV (M. A. al-Najjār, Ed.; III). Lajnah Iḥyā’ al-Turāṡ al-Islāmī.
al-Jurjānī, al-S. (2004). Mu’jam al-Ta’rīfāt (M. S. al-Minsyāwī, Ed.). Dār al-Faḍīlah.
al-Musawi, ‘Abbas ‘Ali. (2012). Al-Wāḍiḥ fī al-Tafsīr: Vol. XVII. Markaz al-Ghadīr.
Badawi, E. M., & Haleem, M. A. S. A. (2008). Arabic-English Dictionary of Qur’anic Usage. Brill.
Brown, D. (1999). Islamic Ethics in Comparative Perspective. The Muslim World, 89(2), 181–192. https://doi.org/10.1111/j.1478-1913.1999.tb03677.x
El Fadl, K. A. (2005). The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. HarperCollins Publisher.
El Fadl, K. A. (2014a). Reasoning with God: Reclaiming Shari’ah in the Modern Age. Rowman & Littlefield.
El Fadl, K. A. (2014b). When Happiness Fails: An Islamic Perspective. Journal of Law and Religion, 29(1), 109–123. https://doi.org/10.1017/jlr.2013.10
El Fadl, K. A. (2017). Qurʾanic Ethics and Islamic Law. Journal of Islamic Ethics, 1(1–2), 7–28. https://doi.org/10.1163/24685542-12340002
Hourani, G. F. (1985). Reason and Tradition in Islamic Ethics. Cambridge University Press.
Lazhar, C. (2023). Vicegerency in Islamic Thought and Scripture: Towards a Qur’anic Theory of Human Existential Function. Routledge.
Mughniyyah, M. J. (n.d.). Tafsīr al-Kāsyif: Vol. VII. Dār al-Anwār.
Netton, I. R. (1994). Allāh Transcendent: Studies in the Structure and Semiotics of Islamic Philosophy, Theology and Cosmology. Routledge.
Nusseibeh, S. (2017). The Story of Reason in Islam. Stanford University Press.
Qera’ati, M. (2014). Tafsīr al-Nūr: Vol. X (M. Ayyub, Trans.). Dār al-Mu’arrikh al-‘Arabī.
Rahman, F. (1983). Some Key Ethical Concepts of the Qur’ān. The Journal of Religious Ethics, 11(2), 170–185.
Sachedina, A. (2001). The Islamic Roots of Democratic Pluralism. Oxford University Press.
Sachedina, A. (2005a). Islamic Ethics: Differentiations. In W. Schweiker (Ed.), The Blackwell Companion to Religious Ethics (pp. 254–267). Blackwell Publishing.
Sachedina, A. (2005b). The Qur’an on Religious Pluralism. Centre for Muslim-Christian Understanding and International Affairs.
Sachedina, A. (2006). The Role of Islam in the Public Square: Guidance or Governance? In Role of Islam in the Public Square: Guidance or Governance? (pp. 5–23). Amsterdam University Press.
Sachedina, A. (2009). Islam & The Challenge of Human Rights. Oxford University Press.
Sachedina, A. (2010). Advancing Religious Pluralism in Islam. Religion Compass, 4(4), 221–233. https://doi.org/10.1111/j.1749-8171.2010.00207.x
Sachedina, A. (2022). Islamic Ethics: Fundamental Aspects of Human Conduct. Oxford University Press.
Saemi, A. (2024). Morality and Revelation in Islamic Thought and Beyond: A New Problem of Evil. Oxford University Press.
Syīrāzī, N. M. (2013). Al-Amṡal fī Tafsīr Kitab Allah al-Munzal: Vol. IIIX. Mu’assasah al-A’lamī li al-Maṭbū‘āt.
Tabataba’i, M. H. (1997). Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurʾān: Vol. XX. Muʾassasah al-’Alamī li al-Maṭbūʿāt.
Zimmerman, A. (2010). Moral Epistemology. Routledge.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *