Riba dalam Al-Qur’an: Tafsir Mauḍū‘ī Nuzūlī

Apakah bunga Bank termasuk riba? Sebelum menjawabnya secara langsung, perlu diketahui terlebih dahulu apa itu riba dalam Al-Qur’an. Kata dengan akar yang sama dengan riba disebut 20 kali dalam Al-Qur’an, yaitu dari bentuk rabā-yarbū-rib-rabwah-rāb, rabbā-yurabbī, dan arbā-yurbī. Pada asalnya, kata yang terbentuk dari huruf r-b-w menunjuk arti bertambah dan tinggi (al-Jauharī, 1407: 6/2350, al-Aṣfahānī, 1412: 340, Ibn Manẓūr, 1414: 24/304-6). Rabwah artinya dataran tinggi subur yang menunjukkan perumpamaan bagi sedekah tulus karena rindu pada rida Allah (QS. al-Baqarah/2: 265), dan menunjukkan tempat perlindungan Maryam Ibunda Nabi Isa as. ketika hendak melahirkan (QS. al-Mu’minūn/23: 50).

Makna Beragam Kata dalam Al-Qur’an yang Tersusun dari Huruf r-b-w

Rāb yang bisa menjadi rābiyan dalam frasa zabadan rābiyan berarti tinggi di atas permukaan yang menjelaskan tentang buih tak berguna sebagai perumpamaan kebatilan (al-Ra‘d/13: 17), dan rābiyah dalam frasa akhżah rābiyah berarti tinggi dan bertambah hukumannya untuk para penentang kebenaran Rasul dan Tuhan (al-Ḥāqqah/69: 10). Rabā yang asalnya rabawa dan bisa menjadi rabat artinya mengembang yang juga mengandung makna bertambah, tentang bumi yang telah dihujani air sehingga bisa menumbuhkan tanaman-tanaman (al-Ḥajj/22: 5; Fuṣṣilat/41: 39).

Bacaan Lainnya

Rabbā-yurabbī artinya membesarkan (masih mengandung makna bertambah, yaitu bertambah besar), tentang doa untuk kedua orang tua yang telah mengasuh dan mengasihi sejak kecil “kamā rabbayānī ṣagīrā” (al-Isrā’/17: 24) dan tagihan Firaun kepada Musa yang telah membesarkannya dari kecil “alam nurabbika fīnā walīdan” (al-Syu‘arā’/26: 18). Arbā artinya lebih tinggi, lebih kuat, atau lebih berkuasa, tentang larangan menipu hanya karena lebih tinggi, lebih kuat, atau lebih berkuasa “an takūn ummah hiya arbā min ummah” (al-Naḥl/16: 92).

Demikianlah 9 kata dalam Al-Qur’an yang berakar sama dengan riba namun tidak berhubungan langsung dengan riba sebagai istilah dalam transaksi keuangan. Maka, ada 11 kata dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan riba sebagai istilah transaksi keuangan. Namun, 4 dari 11 tersebut tidak tentang istilah riba yang haram, yaitu 3 kata dalam surah al-Rūm ayat 39, “wa mā ātaitum min riban liyarbuwa fī amwāl al-nās fa lā yarbū ‘indallāh” dan satu kata dalam surah al-Baqarah ayat 276, “wa yurbī al-ṣadaqāt”. Tujuh sisanya adalah larangan, pengharaman, dan kecaman terhadap riba (al-Nisā’/4: 161; Āl ‘Imrān/3: 130; al-Baqarah/2: 275-281).

Sejarah Pewahyuan Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Riba

Selanjutnya, bagaimana cerita tentang riba dalam Al-Qur’an? Begini ceritanya. Sebelum itu, perlu dipertegas di awal bahwa ayat-ayat tentang riba (al-Baqarah/2: 275-281) merupakan ayat-ayat terakhir yang turun kepada Nabi, yaitu bulan-bulan terakhir sebelum Nabi wafat (Muhammad Asad, 2017: liii, 5, 76-77).

Ayat yang paling awal turun yang menyinggung tentang riba adalah ayat 39 surah al-Rūm,
“Apa pun yang kalian berikan karena mengharap tambahan (riban) dan berkembang (liyarbuwa) melalui harta orang lain, maka tidak akan bertambah (yarbū) di sisi Allah. Sedangkan, apa pun yang kalian berikan karena menginginkan kesucian jiwa dan harta, kalian mengharapkan rida Allah, maka orang yang melakukan hal seperti ini adalah orang-orang yang akan mendapatkan keberkahan berlipat ganda.”

Kira-kira demikianlah arti pesan ayat tersebut. Riba dalam ayat ini artinya memberi dengan harapan mendapatkan balasan yang lebih banyak. Secara etika, ini bukanlah perilaku dan niat yang baik, meskipun secara hukum belum termasuk riba yang diharamkan. Surah al-Rūm diturunkan di Makkah sekitar enam atau tujuh tahun sebelum Nabi saw. hijrah ke Madinah. Kira-kira pada masa itulah ayat ini diturunkan, jauh sebelum ayat-ayat tentang hukum riba yang turun di Madinah, bahkan periode akhir.

Selanjutnya, ayat 130-131 surah Āl ‘Imrān menyampaikan larangan tegas kepada orang-orang yang telah meraih iman untuk tidak memakan atau menggunakan harta hasil riba yang berlipat ganda. Bahkan, larangan ini diikuti dengan ancaman neraka karena pemakan hasil riba termasuk orang-orang yang tidak bersyukur dan menentang kebenaran (kafir),

“Wahai kalian, orang-orang yang telah meraih iman! Janganlah kalian memakan riba dengan cara melipatgandakannya berganda-ganda. Sadarlah kalian akan Allah supaya kalian dapat meraih kebahagiaan. Waspadalah kalian terhadap api neraka yang disiapkan untuk para penentang kebenaran.”

Dalam konteks surah Āl ‘Imrān, ayat-ayat sebelum ayat ini bercerita tentang perang Uhud (3: 121-129). Menggunakan ilmu munasabah, Muhammad Asad mencoba menjelaskan bahwa ayat ini menyindir dan mengingatkan kaum beriman agar tidak tergiur dan terjerumus seperti lawan mereka, yaitu orang-orang kafir yang mempersenjatai pasukannya dari hasil riba (Muhammad Asad, 2017: 108). Perang Uhud terjadi pada tahun ketiga sesudah hijrah. Kira-kira pada masa-masa itulah ayat ini diturunkan.

Surah al-Nisā’, menurut para ulama, Turun sesudah surah Āl ‘Imrān (Muhammad Asad, 2017: 123). Dalam ayat 160-161 Surah al-Nisā’ ini, Bani Israil disinggung sebagai contoh dihalangi dan tidak bisa menikmati hal-hal baik dalam kehidupan di antaranya karena mereka mengambil riba padahal mereka telah dilarang dari hal tersebut.

“Disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami halangi mereka dari kebaikan-kebaikan yang telah dihalalkan kepada mereka, juga karena mereka sering memalingkan diri dari kebaikan dan kebenaran jalan Allah, juga karena mereka mengambil riba, padahal mereka telah dilarang darinya, dan dilarang memakan harta orang lain secara batil. Kami telah menyediakan penderitaan yang pedih untuk para penentang kebenaran di antara mereka.”

Sampai di sini, riba yang jahat itu dilarang dan sangat dikecam. Dan terakhir, riba benar-benar dikecam dan diharamkan dalam ayat-ayat akhir surah al-Baqarah: 175-181. Pertama, orang yang memakan harta riba akan berperilaku seperti kerasukan setan. Kedua, Allah jelas mengharamkan riba. Ketiga, Allah jelas membedakan antara riba dan jual beli. Karena, bisa saja orang yang sudah terlena dengan riba akan mengatakan bahwa riba itu adalah menjual waktu. Padahal, riba yang seperti itu adalah pemerasan kaum lemah secara jahat.

Selanjutnya, ditawarkan solusi pertobatan bahwa jika mau berhenti, cukup diambil uang pokoknya, tidak dengan tambahan karena tempo waktu. Namun, jika masih melanggar, ancamannya adalah penderitaan dalam api neraka selamanya. Solusi dan tawaran ini juga diiringi dengan dorongan positif bahwa harta riba akan Allah cabut keberkahannya, dan sebaliknya, Allah akan menyuburkan berkah dalam sedekah.

Jika semua penjelasan tentang kebobrokan riba yang sangat jahat itu telah diketahui tetapi seseorang tetap menikmati harta riba, maka tantangannya adalah perang melawan Allah dan Rasul-Nya. Perlu diingat, ayat-ayat tentang riba ini turun di akhir masa kenabian Nabi Muhammad saw. Pada masa itu, secara politik, Nabi saw. dan para sahabatnya telah berkuasa. Sehingga, ancaman perang tidak hanya di akhirat, tapi juga di dunia pada waktu itu, dan memang membuat gentar siapa pun yang masih melakukan transaksi riba.

Dengan membaca Al-Qur’an berdasarkan tema dan urutan pewahyuan seperti ini (mauḍū‘ī nuzūlī), metode dakwah Nabi saw. juga bisa terbaca dengan baik untuk diteladani, bahwa untuk tegas mengharamkan sesuatu bahkan mengancam kezaliman, juga memerlukan kekuatan serta kekuasaan sosial politik. Demikianlah cerita riba di dalam Al-Qur’an.

Bunga Bank dan Pengelolaan Keuangan secara Adil dan Berdaya Guna

Adapun bunga bank, apakah termasuk riba yang haram? Bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI), jawabannya adalah iya, bunga bank (interest/fā’idah) adalah riba yang Haram (Fatwa MUI, No. 1, 2004). Namun, bagi Komisi Fatwa Mesir (Dār al-Iftā’ al-Miṣriyyah), bunga bank (fawā’id al-bunūk) halal, tidaklah haram dan bukan riba (Mufti: Prof. Dr. Syauqī Ibrāhīm ‘Allām, 25 Agustus 2020, dan Syekh Dr. Muḥammad Sayyid Ṭanṭāwī, 12 Februari 1996).

MUI mendefinisikan riba sebagai
“Tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.”

dan riba sebagai
“Tambahan (ziyadah) tanpa imbalan (bi lā ‘iwaḍ) yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran (ziyādat al-ajal) yang diperjanjikan sebelumnya, (usyturiṭ muqaddaman). Inilah yang disebut riba nasi’ah.”
Maka, bunga bank bagi MUI telah memenuhi kriteria riba yang haram tersebut.

Sedangkan, Komisi Fatwa Mesir yang dalam ini Prof. Dr. Syauqī Ibrāhīm ‘Allām sebagai muftinya memandang bunga bank dan semua transaksi antara nasabah dan pihak bank adalah transaksi pembiayaan (al-tamwīl). Sehingga, bunga bank dan transaksi di bank bukanlah riba yang diharamkan.

Jika hendak lebih lanjut mencari pembenaran, transaksi pembiayaan dalam pinjam meminjam ini dibahas dalam ayat yang paling panjang dalam Al-Qur’an, yaitu dua ayat sesudah ayat-ayat tentang riba, ayat 282-283 surah al-Baqarah. Sangat jelas dalam ayat-ayat tersebut bahwa hutang piutang atau pinjam meminjam harus dicatat dan disaksikan. Kemudian ditekankan bahwa jangan sampai pencatat dan saksi tersebut dirugikan, “wa lā yuḍārr kātib wa lā syahīd”. Begitu juga pencatat dan saksi harus adil, tidak merugikan peminjam dan pemberi pinjaman, “walyaktub bainakum kātib bi al-‘adl … wastasyhidū syahīdain min rijālikum”.

Pada akhirnya, sebenarnya Al-Qur’an sangat mendorong pengelolaan keuangan adil dan berdaya guna. Dorongan ini tercermin dalam konsep infāq, ṣadaqah, zakāh, tadāyun (pinjam-meminjam), dan larangan ribā. Konsep-konsep ini banyak terdapat dalam ayat-ayat akhir surah al-Baqarah: 261-283 dan ayat-ayat lainnya. Berdaya guna dan adil dalam keuangan dan ekonomi secara keseluruhan, itulah yang kita semua harapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Asad, Muhammad. The Message of the Qur’an: Tafsir Al-Qur’an bagi Orang-orang yang Berpikir. Disunting oleh Afif Muhammad. Diterjemahkan oleh tim penerjemah. Vol. 1. 3 vol. Bandung: Mizan, 2017.
Ibn Manẓūr, Muḥammad bin Mukarram bin ‘Ali. Lisān al-‘Arab. Bairūt: Dār Ṣādir, 1414.
Ibrāhīm, Syauqī. “Ḥukm Fawā’id al-Bunūk wa Ḥukm al-Intifā‘ bihā.” Fatāwā Dār al-Iftā’, Agustus 2020. https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/15661/.
Jauharī, Ismā‘īl bin ‘Ḥammād al-. al-Ṣiḥāḥ Tāj al-Lugah wa Ṣiḥāḥ al-‘Arabiyyah. Disunting oleh Aḥmad ‘Abd al-Gafūr ‘Aṭṭār. Bairūt: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, 1407.
Majelis Ulama Indonesia. “Bunga (Interest/Fa’idah).” Fatwa Majelis Ulama Indonesia 32, no. 1 (24 Januari 2004): 424–35.
Muḥammad Sayyid, Ṭanṭāwī. “Bayān Ḥukm Fawā’id al-Bunūk.” Fatāwā Dār al-Iftā’, 2 Februari 1996. https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/17321/.
Rāgib, Abū al-Qāsim al-Ḥusain bin Muḥammad al-Aṣfahānī al-. al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān. Disunting oleh Ṣafwān ‘Adnān al-Dāwūdī. Dimasyq: Dār al-Qalam, 1412.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *