Tidak bisa dipungkiri, dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat mutasyabihat yang membicarakan tentang sifat Allah seperti yad (tangan), ‘ain (mata), wajah dan lainnya. Menyikapi ayat-ayat mutasyabihat tersebut, terdapat golongan yang berpegang pada zahir makna bahasanya, juga ada golongan yang berusaha untuk menakwilkannya.
Corak penafsiran terhadap ayat-ayat yang demikian dalam at-Tafsir wa al-Mufassirun disebut dengan alwaan at-tafsir fi kulli khutwah (corak-corak penafsiran dalam setiap fase) sebagai tafsir yang bercorak akidah (Az-Zahabi, 1995: 39). Sebab, sejak awal berkembangnya Islam, tafsir al-Qur’an menjadi medan interaksi antara teks ilahi, konteks manusia dan keahlian mufassir.
Menafsirkan al-Qur’an bukan sekadar upaya memahami wahyu, tetapi juga cermin perbedaan dalam memahami hukum, etika, dan juga teologi (Hasan, 2005: xvi). Dengan demikian, produk tafsir yang dihasilkan berdasarkan corak ini berhubungan erat dengan keahlian mufassir dalam bidang akidah (Baidan, 2011: 388-389).
Dalam memahami ayat-ayat teologi di atas, ada dua tradisi yang berkembang dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia. Adalah Asy’ariyah (teologi Nahdlatul Ulama) dan Salafi-Wahabi (selanjutnya disebut Wahabi) sebagai dua pendekatan besar yang memiliki corak dan karakteristik berbeda. Tradisi Asy’ariyah, yang tumbuh subur di Nusantara, mengedepankan moderasi dan fleksibilitas melalui metode takwil.
Sementara itu, Wahabi, yang mendominasi dunia Islam transnasional, berfokus pada literalisme dan pemurnian tauhid. Kedua tradisi ini sering kali dianggap bertolak belakang, sehingga menciptakan polarisasi di tengah umat. Namun, di era globalisasi yang semakin menantang, dialog antara kedua pendekatan ini menjadi lebih mendesak dari sebelumnya.
Bagaimana perbedaan ini dapat diharmoniskan? Lalu, bisakah dialog antartradisi ini menjadi jembatan untuk memperkuat pemahaman dan persatuan umat Islam?
Tradisi Asy’ariyah: Moderasi dan Kontekstualisasi dalam Tafsir
Tradisi Asy’ariyah didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (873-935 M) sebagai respons terhadap ekstremisme pemikiran Muktazilah yang menganut paham rasionalis. Tradisi ini mengedepankan keseimbangan antara teks dan akal dalam memahami ajaran Islam.
Di Nusantara, pendekatan Asy’ariyah diadopsi oleh ulama besar ahli tafsir seperti Muhammad Quraish Shihab, penulis Tafsir al-Mishbah, yang memainkan peran penting dalam menyebarkan Islam moderat. Ia menggunakan metode takwil untuk memahami sifat-sifat Allah yang disebut dalam al-Qur’an. Penafsirannya terhadap ayat-ayat teologi menggeser makna tekstual ke makna metaforis.
Contohnya nyata ketika Shihab menafsirkan makna ‘tangan’ pada QS. Al-Maidah [5]: 64 dengan rahmat, kerajaan, dan karunia (Shihab, 2002: 146-147). Sementara pada QS. Al-Mulk [67]: 1, Shihab juga menafsirkan ‘tangan’ Allah dengan kekuasaan. Karena menurutnya, term ‘tangan’ jika disandarkan kepada Allah, maknanya adalah nikmat dan kekuasaan (Shihab, 2002: 342).
Kedua contoh ayat ini sering ditafsirkan oleh ulama Asy’ariyah secara simbolis untuk menghindari kesan antropomorfisme, yaitu menyamakan Allah dengan makhluk. Dalam tafsir Nusantara, pendekatan ini juga disesuaikan dengan konteks sosial yang majemuk, sehingga sifat Allah dijelaskan dengan bahasa yang dapat diterima oleh masyarakat lokal tanpa mengorbankan prinsip tauhid.
Moderasi Asy’ariyah juga tercermin dalam penerimaan terhadap kearifan lokal. Misalnya, tradisi tahlilan dan yasinan yang populer di Indonesia sering kali dianggap sebagai wujud pengamalan nilai-nilai Islam secara kontekstual. Tradisi ini menunjukkan bagaimana ulama Nusantara mampu memadukan tafsir teologis dengan realitas budaya tanpa kehilangan esensi ajaran Islam.
Tradisi Wahabi: Literalisme dan Penekanan pada Tauhid
Berbeda dengan Asy’ariyah, tradisi Wahabi lahir dari gerakan reformasi Islam yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792 M) di Jazirah Arab. Fokus utama Wahabi adalah pemurnian tauhid dari praktik-praktik yang dianggap bid’ah dan syirik. Dalam konteks ini, Wahabi mengadopsi pendekatan literal dalam memahami al-Qur’an, khususnya terkait ayat-ayat teologi.
Masih mengenai ‘tangan’ Allah sebagaimana ayat di atas, Yazid Jawwas, salah satu ulama Wahabi Indonesia, menafsirkan term ‘yad’ sesuai dengan bahasanya, yakni ‘tangan’. Ia memang mengakui bahwa dalam bahasa Arab, ‘tangan’ dapat diartikan dengan kekuatan atau nikmat, namun memalingkan makna ‘tangan Allah’ dengan ‘kekuasaan Allah’ adalah sesat dan menyesatkan (Jawas, 2006: 167).
Penafsiran literal ini seolah mengafirmasi konsep sifat Allah yang juga dikemukakan oleh Ibnu Utsaimin. Ia membagi sifat Allah kepada dua garis besar, yakni tsubutiyah dan manfiyyah (salbiyah). Yang pertama berarti sifat yang Allah tetapkan untuk Zat-Nya sendiri melalui al-Qur’an dan Hadits, sementara yang kedua bermakna menafikan sifat yang tidak layak bagi-Nya (Utsaimin, 2011: 16).
Wahabi memahami istilah yad secara harfiah sebagai “tangan” Allah, tanpa mencoba menakwilkan maknanya lebih jauh. Pendekatan ini bertujuan untuk menjaga kesucian tauhid dan menghindari spekulasi yang dapat mengarah pada penyimpangan akidah.
Namun, pandangan ini justru sering kali menuai kritik dari tradisi lain karena dianggap mengabaikan aspek simbolis dan konteks al-Qur’an. Lahirnya tradisi Wahabi juga tidak terlepas dari konteks sosial-historis Jazirah Arab yang saat itu menghadapi tantangan seperti penyebaran praktik-praktik sufisme yang dianggap berlebihan.
Oleh karena itu, literalisme Wahabi menjadi respons terhadap situasi tersebut, dengan tujuan mengembalikan umat kepada pemahaman Islam yang dianggap murni (Iskandar, 2018: 188). Sementara di era modern, pendekatan Wahabi sering kali dikritik karena dianggap kurang luwes dalam menghadapi keragaman budaya dan realitas global.
Literalisme Wahabi, meskipun memiliki kelebihan dalam menjaga kemurnian ajaran, dapat menimbulkan resistensi ketika diterapkan di masyarakat yang memiliki tradisi berbeda, seperti di Nusantara (Iskandar, 2018: 203).
Dialog antara Asy’ariyah dan Wahabi: Peluang dan Tantangan
Meskipun terlihat bertolak belakang, tradisi Asy’ariyah dan Wahabi sebenarnya memiliki potensi besar untuk saling melengkapi. Dialog antara kedua tradisi ini dapat memperkaya pemahaman teologis umat Islam, sekaligus mengurangi potensi konflik yang sering kali muncul akibat perbedaan pendekatan.
Salah satu peluang dialog adalah pada pemahaman ayat-ayat teologi yang kompleks. Misalnya, Wahabi dengan pendekatan literalnya dapat memberikan kepastian interpretasi yang tegas, sementara Asy’ariyah dengan metode takwilnya dapat menambahkan dimensi simbolis dan kontekstual. Hasilnya, kombinasi semacam ini akan menghasilkan tafsir yang lebih holistik (Iskandar, 2018: 204-205).
Namun, dialog ini juga menghadapi tantangan besar, terutama resistensi dari sebagian pihak yang cenderung eksklusif dalam memegang tradisi masing-masing. Ketidakpercayaan dan stereotip sering kali menjadi penghalang utama dalam membangun komunikasi. Oleh karena itu, diperlukan sikap saling menghormati dan kesediaan untuk mendengar pandangan pihak lain.
Di samping itu, dialog ini juga membutuhkan mediator yang memahami kedua tradisi dengan baik. Ulama-ulama yang memiliki wawasan luas tentang Asy’ariyah dan Wahabi dapat memainkan peran penting dalam menjembatani perbedaan ini. Contohnya adalah para cendekiawan Muslim kontemporer yang aktif dalam forum dialog antar mazhab baik di tingkat nasional maupun internasional.
Relevansi dalam Konteks Kontemporer
Integrasi antara Asy’ariyah dan Wahabi tidak hanya penting dalam kerangka teologi, tetapi juga relevan dalam menghadapi tantangan kontemporer yang dihadapi umat Islam. Salah satu isu besar adalah radikalisme agama, yang sering kali berakar pada pemahaman teologi yang eksklusif.
Pendekatan moderat Asy’ariyah dapat menjadi benteng terhadap radikalisme dengan menawarkan pemahaman Islam yang inklusif dan damai. Sementara itu, Wahabi, dengan fokusnya pada pemurnian tauhid, dapat berkontribusi dalam meluruskan kesalahpahaman tentang Islam di dunia global.
Kombinasi ini dapat menciptakan narasi Islam yang lebih seimbang, yang mampu menghadapi tantangan seperti Islamofobia dan polarisasi di tengah umat. Selain itu, dialog antara Asy’ariyah dan Wahabi juga relevan dalam mempromosikan Islam Nusantara sebagai model Islam yang damai dan adaptif.
Islam Nusantara, yang mengadopsi banyak nilai-nilai Asy’ariyah, dapat menjadi inspirasi bagi dunia Islam dalam menunjukkan bagaimana Islam dapat hidup harmonis di tengah keragaman budaya.
Refleksi Merajut Persatuan Melalui Tafsir
Dengan demikian, tafsir al-Qur’an tidak hanya tentang bagaimana memahami teks suci, tetapi juga tentang membangun hubungan antara manusia, wahyu, dan Tuhan. Tradisi Asy’ariyah dan Wahabi, meskipun memiliki perbedaan mendasar, dapat saling melengkapi dalam menciptakan pemahaman teologi yang lebih holistik dan relevan.
Dialog antara kedua tradisi ini bukan hanya tentang mengharmoniskan tafsir, tetapi juga tentang merajut persatuan umat Islam di tengah keragaman. Dengan menghormati perbedaan dan memanfaatkan kelebihan masing-masing tradisi, umat Islam dapat menghadapi tantangan global dengan lebih percaya diri dan solid.
Akhirnya, upaya menjembatani tafsir teologis ini harus dilandasi oleh semangat persaudaraan dan keterbukaan. Karena al-Qur’an bersifat mutlak absolut, sementara produk tafsir relatif. Hanya dengan cara inilah umat Islam dapat menjadi rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana diajarkan oleh al-Qur’an.
Daftar Bacaan
Baidan, Nashrudin. (2011) Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), Cet. II, 388. cet. 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasan, Muhammad Tholhah. (2005) Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah: Dalam Persepsi dan Tradisi NU. Jakarta: Tantabora Press.
Iskandar, M. (2018) Sunni-Wahabi; Mencari Titik Temu dan Seteru. Aceh: Lembaga Naskah Aceh (NASA).
Jawas, Yazid. (2006) Syarah ’Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Shihab, M. Q. (2002) Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Volume 3, Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Q. (2002) Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 14. Jakarta: Lentera Hati.
Utsaimin, M. I. S. (2011) Taqrib at-Tadmuriyyah. Arab Saudi: Madar al-Wathan li an-Nasyr.
Az-Zahabi, M.H. (1995) At-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Maktabah Wahbah.