Mayoritas ulama tafsir memberikan perhatian yang mendalam terhadap konsep “kesatuan Al-Qur’an” dalam kitab-kitab tafsir mereka. Kajian ini mencakup penjelasan hubungan antara kata, kalimat, ayat, hingga bagian-bagian dalam satu surah, serta kaitannya dengan surah-surah lainnya dalam Al-Qur’an secara keseluruhan. Oleh sebab itu, analisis terhadap kesatuan Al-Qur’an menuntut pengkajian terhadap kitab-kitab tafsir, terutama untuk memahami bagaimana para ulama memaknai hubungan antarbagian Al-Qur’an secara detail.
Pada masa klasik, perhatian terhadap kesatuan Al-Qur’an sering kali diwujudkan dalam kajian yang disebut “Ilmu Munasabah Baina al-Ayah wa al-Suwar”. Dalam tradisi ini, hubungan antar ayat dan surah menjadi topik utama, sebagaimana dibahas dalam karya-karya seperti Al-Burhan fi ‘Ulumil Qur’an karya Imam al-Zarkasyi dan Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an karya Imam al-Suyuthi. (Amir Faishol, 2010: 135). Penafsiran pada era klasik umumnya didominasi oleh metode bi al-ma’thur, yaitu tafsir berdasarkan riwayat. Namun, peran akal tetap diakui, di mana ijtihad digunakan untuk menggali makna ayat-ayat Al-Qur’an secara lebih mendalam. (Fahrur Rozi, 2019: 149)
Seiring perkembangan peradaban, penafsiran Al-Qur’an terus mengalami perubahan, dari era klasik hingga kontemporer. Pada masa klasik, sejumlah mufassir seperti al-Qurthubi, al-Baidhawi, Abu Hayyan al-Andalusi, al-Khazin, Ibnu Kathir, Imam Ibrahim bin Umar al-Biqa’i, al-Suyuthi, dan Imam al-Alusi memberikan kontribusi besar dengan karya-karya tafsir mereka yang beragam dan unik. (Muh. Mahrus, 2023: 66).
Misalnya, tafsir karya Abu Hayyan al-Andalusi yaitu Bahr al-Muhit yang memiliki keunikan di dalamnya, meliputi latar belakang penulisan hingga pendekatan tafsir yang digunakan. Berikut penjelasan mendalam terkait tafsir Bahr al-Muhit.
Mengenal Sosok Abu Hayyan al-Andalusi
Abu Hayyan, bernama lengkap Athir al-Din Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusi al-Garnathi al-Hayyani, lahir di Andalusia pada tahun 654/1256 M. Ia memulai pendidikan di tanah kelahirannya sebelum pindah ke Iskandariyah, Mesir, untuk mendalami ilmu qiraat. Ia awalnya menganut mazhab al-Zahiri, kemudian beralih ke al-Syafi’i, dan akhirnya mengikuti mazhab al-Salafi hingga wafat di Mesir pada 745 H/ 1344 M. Ia terkenal sebagai ahli bahasa Arab, terutama dalam ilmu nahwu dan sharaf. (Amilatu Sholihah, 2020: 200)
Orang tua Abu Hayyan berasal dari kabilah Barbar yang bermigrasi ke Andalusia, menjadikan wilayah tersebut tanah air kedua mereka. Abu Hayyan hidup di bawah pengawasan kerajaan Castil. Ia memiliki seorang putri bernama Nadzar dan seorang putra bernama Hayyan.
Abu Hayyan dikenal sebagai seorang ulama dengan wawasan luas, mencakup berbagai disiplin ilmu, terutama tafsir. Ia adalah pengembara ilmu yang belajar dari banyak ulama di berbagai kota dan negara. (Zainab, t.th: 2). Menurut Jalaluddin al-Suyuti, ia memiliki sekitar 450 guru yang mengajarinya, termasuk ulama terkenal seperti Ahmad bin Ibrahim al-Tsaqafi dan al-Husain bin Abd Aziz. (M. Hasdin, 2012: 44)
Sebagai seorang ulama yang masyhur, Abu Hayyan juga menjadi guru bagi banyak murid dari berbagai wilayah. Beberapa murid terkenalnya adalah Ali bin Abd al-Kafi al-Subki dan Ahmad bin Yusuf al-Halabi, yang menjadi bukti pengaruh besar Abu Hayyan dalam menyebarkan ilmu. (M. Hasdin, 2012: 44)
Abu Hayyan menjadi rujukan penting dalam berbagai bidang keilmuan, terutama di zamannya. Di antara karya-karyanya adalah Tafsir Bahr al-Muhit, Tafsir al-Nahr al-Mad, Ittihaf al-Arib, dan al-Gharib Al-Qur’an. Sebagian besar karyanya berfokus pada tata bahasa Arab, sehingga tafsirnya pun sarat dengan analisis linguistik.
Background Kepenulisan Tafsir Bahr al-Muhit
Abu Hayyan menamai kitab tafsirnya al-Bahr al-Muhit. Nama ini sering kali mencerminkan simbol atau harapan dari orang yang memberikannya, begitu pula dengan Abu Hayyan. Kata al-Bah}r berarti laut, yang biasanya digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki sifat mulia dan murah hati. Sedangkan al-Muh}i>t} bermakna luas dan mendalam. (Zainab, t.th: 3-4)
Oleh karena itu, dapat diartikan sebagai laut yang luas dan dalam. Abu Hayyan memilih nama ini karena ingin menjelaskan makna setiap kata dalam ayat-ayat yang ditafsirkannya dengan detail dan mendalam. Adapun latar belakang penulisan kitab al-Bahr al-Muhit tersebut telah ia ungkapkan sendiri dalam muqaddimah kitab tafsirnya. Sebagai berikut:
“Sesungguhnya ilmu pengetahuan itu banyak, semuanya penting. Namun yang lebih penting adalah yang membawa kehidupan abadi, keberuntungan yang kekal, yaitu ilmu tentang kitab Allah. Ilmu inilah yang dituju, sedangkan ilmu-ilmu yang lainnya hanyalah sebuah alat (untuk sampai kepada yang dituju). Ia (kitabullah) adalah buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus, timbangan yang lebih sempurna dan lebih kuat, tali yang kukuh dan jalan yang lurus. Adapun yang senantiasa bergejolak dalam ingatan dan pikiranku, bahwa jika nanti aku telah sampai pada masa terpecahnya kulit, yaitu masa lepasnya kebebasan para pemuda yang dikatakan: Apabila seorang telah menginjak pada usia 60 tahun, hendaklah ia menghindari minuman keras. Saya mohon kepada Allah yang Maha Pengasih untuk semata-mata memikirkan tafsir Al-Qur’an. Lalu Allah memperkenankan keinginanku itu sampai masa perjanjian (yaitu usia 60 tahun.)” (Abu Hayyan, 2015)
Berdasarkan beberapa catatan, Abu Hayyan termotivasi oleh sejumlah hadis yang menjelaskan keutamaan, keistimewaan, dan kedudukan Al-Qur’an sebagai kalamullah serta petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. (Zainab, t.th: 5-6)
Tujuannya adalah agar Al-Qur’an dapat berfungsi sebagai pedoman hidup yang relevan bagi setiap generasi tanpa terikat oleh batasan ruang dan waktu. Hal inilah yang mendorong Abu Hayyan untuk menafsirkan Al-Qur’an agar menjadi pedoman bagi seluruh umat manusia.
Sumber, Metode, dan Corak Penafsiran Bahr al-Muhit
Dalam Tafsir Bahr al-Muhit, Abu Hayyan mengikuti metode yang digunakan oleh para ulama Andalusia sebelumnya, yaitu menggabungkan pendekatan tafsir bi al-ma’thur dengan tafsir bi al-ra’yi. Namun, ia lebih banyak menggunakan pendekatan bi al-ra’yi yang didasarkan pada ijtihad, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan bahasa, nahwu, i’rab, balaghah, qiraat, dan ta’wil, dibandingkan dengan bi al’ma’thur.
Abu Hayyan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan metode tahlili, yang berarti ia menafsirkan ayat-ayat tersebut secara berurutan dan menganalisisnya sesuai dengan urutan surah dan ayat dalam Al-Qur’an. (Ahmad Izzan, t.th: 104-105). Metode tahlili ini memiliki kelebihan khas dibandingkan dengan metode tafsir lainnya, salah satunya adalah kemampuan memberikan pemahaman yang luas dan menyeluruh tentang Al-Qur’an. Dengan menggunakan pendekatan ini, pembaca diajak untuk memahami Al-Qur’an secara keseluruhan, serta mendalami setiap ayat dan surah dengan cara yang komprehensif.
Selanjutnya, corak atau pendekatan yang paling dominan dalam Tafsir Bahr al-Muhit adalah pendekatan linguistik (bahasa), diikuti oleh pendekatan fikih dan pendekatan lain seperti qiraat. (Amilatu Sholihah, 2020: 200). Dalam pendekatan bahasa, Abu Hayyan banyak mengutip penafsiran dari al-Zamakhsyari, misalnya, sering membahas keindahan bahasa Al-Qur’an dan keunggulan balaghahnya melalui ilmu ma’ani, bayan, nahwu, dan sharaf. Ia berpendapat bahwa untuk memahami makna Al-Qur’an, penguasaan terhadap ilmu bahasa Arab serta cabang-cabangnya sangat penting.
Sedangkan dalam pendekatan fikih, Abu Hayyan menerapkan tafsir pada ayat-ayat hukum dan menyebutkan pendapat sahabat, tabi’in, serta mengutip pandangan dari empat imam mazhab: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Namun, karena banyaknya pengikuti mazhab Maliki di Andalusia pada masa itu, Abu Hayyan lebih sering merujuk pada mazhab Maliki dalam menetapkan hukum.
Langkah-Langkah Penafsiran Bahr al-Muhit
Abu Hayyan mengikuti langkah-langkah sistematis dalam menafsirkan surah dan ayat Al-Qur’an dalam tafsir Bahr al-Muhit, yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, memulai dengan menyajikan ayat-ayat yang akan ditafsirkan secara keseluruhan. Kedua, membagi ayat-ayat tersebut menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Ketiga, menjelaskan setiap kosa kata dalam ayat dari segi bahasa, ilmu ma’ani, serta aturan nahwu dan i’rabnya. Keempat, memberikan penjelasan mendetail tentang pendapat para ahli nahwu serta perbedaan di antara mereka dalam i’rab kalimat Al-Qur’an. Kelima, menyebutkan berbagai ragam qiraat dalam ayat tersebut, serta memberikan penjelasan terkait nahwu, termasuk qiraat syadz (janggal) dan qiraat musta’mal (yang diterima).
Keenam, memberikan perhatian khusus pada aspek balaghah, meliputi ilmu bayan dan badi’. Ketujuh, menafsirkan ayat dengan merujuk pada asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), nasikh dan mansukh, serta munasabah, yakni keterkaitan antar ayat sebelum dan sesudahnya. Kedelapan, membahas hukum fikih jika ayat tersebut berkaitan dengan masalah hukum, serta mengutip pandangan-pandangan dari empat imam mazhab dan juga ulama lainnya. Kesembilan. mencantumkan pandangan ulama terdahulu, baik dari kalangan salaf maupun khalaf, terkait masalah akidah. Kesepuluh, menyusun kesimpulan mengenai makna ayat-ayat yang ditafsirkan sesuai dengan penafsiran yang dipilih. (Rusydi, 2015: 183-184)
Daftar Pustaka
Andalusi (al), Abu Hayyan. al-Bahr al-Muhit al-juz al-awwal. Beirut: al-Risalah al-Jami’ah, 2015.
Fath, Amir Faishol. The Unity of Al-Qur’an. Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2010.
Has, Muhammad Hasdin. “Karakteristik Tafsir Bahr al-Muhith (Telaah Metodologi Penafsiran Abu Hayyan al-Andalusi).” Shautut Tarbiyah, Vol. -, No. -(November, 2012).
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur, t.th.
Khalid, H.M. Rusydi. “Al-Bahr Al-Muhith: Tafsir Bercorak Nahwu Karya Abu Hayyan al-Andalusi.” Jurnal Adabiyah, Vol. 15, No. 02 (2015).
Ridho, Muh. Makhrus Ali. “Pemetaan Tafsir dari Segi Periodesasi.” Jurnal Keagamaan, Pendidikan dan Humaniora, Vol. 10, No. 01 (April 2023).
Rozi. A. Fahrur, dkk. “Tafsir Klasik: Analisis Terhadap Kitab Tafsir Era Klasik.” Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI Al-Fitrah, Vol. 09, No. 02 (Agustus 2019).
Sholihah, ‘Amilatu. “Analisis Ibdal dalam Al-Qur’an Perspektif Abu Hayyan Al-Andalusi An-Naysaburi dan An-Nasafi.” Jurnal Studi Islam, Vol. 21, No. 02 (Desember, 2020).
Zainab. “Kajian Atas Al-Bahr al-Muhit} karya Abu Hayyan al-Andalusi (w.745 H)”. Makalah – Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran, t.th.