Kecacatan Al-Quran dalam Perspektif Orientalis

prokabar.com

Menurut Agustiar dalam tesisnya, Orientalis dan Perannya dalam Mempelajari Bahasa Arab, salah satu misi orientalis mempelajari Islam adalah untuk menyebarluaskan nilai-nilai negatif yang sering disalahpahami oleh mereka terhadap Islam agar penganutnya ragu-ragu terhadap apa yang dia yakini. Padahal tidak mungkin ada kesan atau nilai negatif dalam ajaran Islam selagi nalar sehatnya dipergunakan untuk memahami Islam dengan benar dan sesuai kaidahnya serta secara komprehensif.

Dalam kitab Al-Khalidi, Al-Qur’aan wa Naqdhu Mathaa’ini Al-Burhaan, dingungkapkan banyak tuduhan-tuduhan yang dilontarkan terhadap Kitas Suci Al-Quran. Anehnya, setiap mereka melakukan tuduhan, tidak didasari dengan argumentasi yang kuat sehingga Al-Khalidi menyimpulkan bahwa kebodohan itu ada pada tubuh orientalis itu sendiri, bukan pada pokok-pokok ajaran yang dianut oleh umat Islam.

Bacaan Lainnya

Di antara tuduhan orientalis terhadap Al-Quran yang sering terungkap adalah mereka mengklaim bahwa ayat-ayat mutasyaabihaat yang banyak dalam Al-Quran dapat membuat susunan Al-Quran cacat. Betapa tidak, Al-Quran dalam ajaran Islam dikenal sebagai Kitab Suci nan sastrawi. Tidak ada yang mampu mengalahkan keunggulan sastra bahasanya walaupun sekelas professor sastra Arab dari bangsa Arab sekalipun. Tapi, di dalam Al-Quran sering ditemukan pengulangan kata yang cenderung membosankan dan dinilai tidak sastrawi.

Lebih parahnya lagi, banyak orientalis yang menduga umat Islam itu bodoh alias dungu. Mereka mempertanyakan akal sehat umat Islam di saat berhadapan dengan ayat-ayat mutasyaabihaat dalam Al-Quran. Dengan mudahnya mereka mengatakan umat Islam tidak mempergunakan akal sehatnya di saat belajar. Makanya, mereka tak sadar akan kerancuan yang tersematkan dalam Al-Quran, termasuk saat bersentuhan dengan ayat-ayat mutasyaabihaat.

Untuk membantah tuduhan semacam ini, sangatlah mudah. QS. Ali Imran/3: 7 menjadi landasan utama buat tuduhan di atas. Sangat jelas dalam ayat tersebut bahwa ayat yang terkandung dalam Al-Quran memang adakalanya muhkam dan adakalanya mutasyabih. Adapun yang dimaksud dengan muhkam menurut Mushaf Syafana adalah ayat-ayat yang mudah difahami dan tegas, sedangkan maksud mutasyaabih, ayat yang mengandung beberapa pengertian sehingga sulit difahami. Yang dapat memahaminya secara pasti hanya Allah Swt.

Menurut Az-Zarkasyi dalam kitabnya, Al-Burhaan fii ‘Uluum Al-Qur’aan, untuk bisa memahami ayat-ayat mutasyaabih denga benar dan tidak salah faham, penting memahami ilmu Al-Quran yang salah satu bahasannya menyangkut tuduhan yang di atas. Dengan demikian, kalau seandainya mereka yang mengatakan Al-Quran tidak layak dikatakan sebagai Kitab Suci yang diwahyukan kepada Nabi melalui perantara Jibril mempelajari ilmu Al-Quran, tidak mungkin mereka mengatakan ocehan di atas.

Ayat-ayat mutasyaabih sedikitpun tidak membuat sisi keindahan sastrawi Al-Quran itu berkurang. Justru disitulah letak keindahannya. Meski terlihat sama, tapi penggunaan katanya berbeda. Seperti contoh: QS. Al-Baqarah/2: 58: “Maka makanlah berbagai nikmat yang ada.” Ayat yang mirip dengan ini QS. Al-‘Araf/7: 161, tidak pakai redaksi “maka” melainkan redaksi “dan” yaitu ”Dan makan kamulah berbagai nikmat yang ada.”

Az-Zarkasyi dalam kitabnya, Al-Burhaan menguraikan alasan kenapa berbeda redaksi ayat tersebut. Kedua ayat di atas bisa dipahami, setelah memperhatikan apa perbedaan antara redaksi ayat Al-Baqarah dengan Al-‘Araf di atas. Setelah itu, baru terlihat penyebabnya kenapa. Yang dapat dilihat sebelum redaksi “maka-dan” adalah redaksi masuklah pada ayat Al-Baqarah, tempatilah pada ayat Al-‘Araf. Dalam segi balaaghah, yang cocok setelah perintah “masuklah’ adalah kata faa’ yang bermakna beriringan (at-ta’qiib). Sedangkan dengan perintah “tempatilah” adalah kata waaw yang bermakna mengikuti (‘athf).

Lebih jelasnya adalah tidak terjadi pekerjaan makan, kecuali setelah masuk (dalam konteks ayat). Makanya, antara makan dan masuk saling beriringan. Makanya, yang tepat adalah dengan memakai redaksi faa’. Sementara pada ayat Al-‘Araf, pekerjaan makan terjadi pada orang yang menempati sebuah tempat kapan saja pun dia mau. Makanya, di situ dipakai redaksi “dan” atau waaw, mengikuti orang yang menempati sebuah tempat tadi.Jadi, dari situ jelas bahwasanya apa yang mereka lontarkan di atas tidak menjadikan susunan sastra Al-Quran rancu. Setiap ada persamaan, tidak semata-mata sama dari segi zhahirnya saja tapi ada unsur perbedaannya. Hal ini, dapat diketahui setelah mempelajari ilmu Al-Quran dengan benar. Jadi sekarang jelas antara siapa yang mempergunakan dan tidak mempergunakan akal sehatnya.[]

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *