Filsafat dan Agama serta Ragu dan Iman

nu.or.id

Agama adalah sistem keyakinan yang disertai praktik yang dianggap sakral dan supranatural. Adapun filsafat juga adalah sistem keyakinan tentang adanya kebijaksanaan serta mencintai kebijaksaan itu. Kesan yang kuat dari agama adalah kata kunci keyakinan itu namun sesungguhnya itu juga ada pada filsafat. Bedanya, agama mengarahkan keyakinan kepada sesuatu yang sakral sedangkan filsafat mengarahkanya kepada kebijaksanaan.

Perbedaan lain agama dan filsafat adalah bahwa pada agama, yang sakral itu sudah ditemukan dan tinggal diyakini saja. Sedangkan pada filsafat, kebijaksanaan itu terus-menerus diupayakan dan dicari. Akhirnya, agama lebih menekankan kepada hasil dan filsafat lebih menekankan kepada proses.

Bacaan Lainnya

Pada perbedaan yang disebut terakhir, penemuan dan pencarian, itulah filsafat dan agama dianggap bertentangan. Agama terkesan alergi terhadap pencarian karena dianggap sama saja meragukan apa yang selama ini telah ditemukan dan diyakini. Sebaliknya, filafat terkesan alergi terhadap penemuan karena filsafat tidak mempermasalahkan pencarian terus-menerus.

Pengamatan lebih bijak terhadap relasi agama dan filsafat ini penting untuk dilakukan karena tidak tertutup kemungkinan pertentangan antara keduanya tidak sebesar yang dibayangkan. Salah satu pertanyaan yang layak diajukan dalam hal ini adalah apakah agama benar-benar hanya berisi keyakinan dan sama sekali tidak memberi ruang bagi keraguan? Lalu, apakah filsafat sebaliknya, hanya berisi keraguan dan sama sekali tidak ada ruang bagi keyakinan di dalamnya?

Telah disebutkan di atas bahwa baik agama maupun filsafat pasti meyakini sesuatu. Karena itu, tidak benar jika filsafat sama sekali tidak memberi ruang bagi keyakinan. Filsafat percaya kepada adanya kebijaksanaan yang bisa digapai lewat maksimalisasi potensi kemanusiaan seperti tubuh, akal, dan jiwa. Jika filsafat tidak meyakini sesuatu, dalam hal ini kebijaksanaan, maka untuk apa upaya pencarian terhadapnya dilakukan? Itu sama saja dengan pencari mutiara yang menjelajahi kedalaman laut tetapi tidak yakin di sana ada mutiara.

Sebaliknya, apakah agama memberi ruang bagi keraguan? Di dalam QS. al-Ankabut/29: 2-3: Ahasiban naasu an yutrakuu an yaquuluu aamannaa wa hum laa yuftanuun (“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji?). 

Kata “diuji” atau “difitnah” di dalam ayat di atas lebih sering dimaknai dengan kesengsaraan yang menimpa sebagai ujian bagi keimanan. Nyatanya, kebahagiaan pun adalah ujian. Bahkan kehidupan ini adalah ujian. Mana yang bukan ujian jika kehidupan seluruhnya adalah ujian? Maksudnya, kehidupan ini pun adalah ujian sebagai tantangan bagi keimanan. Kehidupan ini adalah wilayah tarik-menarik antara keberimanan dan ketidakberimanan. Wilayah tarik-menarik itulah ujian dan nama lain dari wilayah tarik-menarik adalah keraguan. Jadi, keraguan bukan sesuatu yang asing bagi agama.

Saat seseorang berdoa, maka dia berada di dalam wilayah tarik-menarik dan keraguan diterima tidaknya doa. Jika Allah SWT sudah pasti memberi, buat apa berdoa? Jika Allah SWT sudah pasti tidak memberi, buat apa berdoa? Doa adalah penegasan ketidakpastian itu. Dalam ungkapan lain disebutkan baynal khawf war rajaa’ (antara pesimisme dengan optimisme). 

Jika pada keraguan hampir-hampir tidak ada perbedaan antara agama dengan filsafat, maka tersisalah kini karakter keduanya. Agama secara dominan menawarkan temuan dan produk sebagaimana terrekam secara tertulis di dalam Kitab Suci. Di sisi lain, filsafat menawarkan proses dan upaya pencarian sebagaimana tertulis di dalam karya filsafat yang biasanya berisikan dialektika antara filosof dengan filosof lain, seperti tidak berkesudahan.

Jika yang dilihat adalah Kitab Sucinya sebuah agama, maka memang akan tampak hanya hasil dan produk, tetapi jika yang dilihat adalah bagaimana seorang nabi hingga layak mendapatkan Kitab Suci, maka itu adalah proses. Belum lagi bagaimana para nabi menjalani kehidupannya yang penuh tantangan bagi keimanan dan dakwahnya, maka semua itu adalah proses itu sendiri.

Pada filsafat, karya-karya tentangnya biasanya berisi dialektika antara satu temuan dengan temuan lain; satu pemikiran dengan pemikiran lain. Ada yang disanggah dan ada yang diteguhkan. Tidak mungkin menghentikan gerak seperti itu di dalam filsafat karena itu sudah seperti nadinya. Apakah tidak ada produk yang layak diyakini di dalam filsafat? Selalu ada, namun dalam filsafat, setiap produk hanyalah pijakan untuk kembali melangkah melakukan pencarian.

Bagi agama dan iman, filsafat dan keraguan itu penting sebagai pembuktian keteguhannya. Bagi filsafat dan ragu, agama dan iman itu penting sebagai peringatan bahwa hanya keyakinan sebagai tempat berpijak, bukan keraguan.[]

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *