Pandangan empirisme yang menafikan rasionalisme dan sebaliknya rasionalisme yang menafikan empirisme memang sudah seharusnya ditinggalkan. Harus diakui bahwa keduanya memiliki peran penting masing-masing yang kemudian menghasilkan pengetahuan. Ramai disebutkan bahwa indera memberikan data lalu akal yang mengolahnya untuk menjadi pengetahuan. Lalu, bagaimana cara karja akal dalam mengolah data dari indera? Bagaimana cara kerja itu bisa melahirkan pengetahuan? Secuil akan dibahas berikut ini.
Agak mudah memahami bagaimana indera bekerja lalu melahirkan pengetahuan. Saat seseorang mengetahui bahwa sebutir guli berbentuk bulat, maka bisa dipahami bahwa pengetahuan itu muncul setelah melihat dan menggenggam sebutir guli. Sesederhana itu dan tidak perlu ada pembahasan lebih rumit hanya untuk menjelaskannya. Relasi indera dengan alam objektif yang dicerapnya memang sesederhana itu. Sesederhana kamera telepon pintar memotret sekitarnya lalu jadilah gambar.
Aktivitas akal lebih kompleks dari indera. Tentu saja aktivitas indera itu sendiri juga sangat kompleks jika yang dimaksud, misalnya, bagaimana mata bisa menangkap gambar lalu dikirim ke otak untuk diproses. Mata adalah indera yang sangat kompleks sebagai organ biologis. Namun, yang dimaksud di sini adalah bagaimana akal menghasilkan pengetahuan. Akal lebih kompleks daripada indera dalam melahirkan pengetahuan.
Kala sebuah kamera telepon pintar menangkap gambar, maka cara kerja indera lebih kepada menangkap apa adanya objek. Adapun cara kerja akal yang paling sederhana adalah ibarat aplikasi filter pada kamera telepon pintar yang mampu membuat gambar yang apa adanya menjadi lebih bagus, lebih cantik, lebih gelap, lebih terang, lebih retro, dan seterusnya. Itu adalah cara kerja akal yang paling sederhana.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa telah terjadi perubahan signifikan antara hasil jepretan kamera apa adanya dengan hasil filter yang tidak lagi apa adanya. Pertanyaannya kini adalah apakah ada perubahan dan perbedaan esensial antara keduanya? Apakah telah terjadi perubahan dari esensi yang kuantitatif menjadi esensi yang kualitatif? Jika tidak, bagaimana kerja akal itu bisa disebut telah menghasilkan sesuatu yang logis sehingga bisa dijelaskan kepada mereka yang tidak mengalami fenomena yang sama secara empiris?
Sesungguhnya, saat berubah menjadi hasil filter, maka sebuah gambar telah mengalami perubahan esensial. Karena itu, hubungan antara gambar tersebut dengan objek yang sebenarnya telah terputus. Gambar hasil filter bukan lagi gambar hasil jepretan kamera apa adanya. Dengan kata lain, hubungan antara hasil penalaran logis telah sepenuhnya terputus dari alam objektif. Keterputusan tersebut membuat pengetahuan logis mampu mengembara ke manapun dan memahami apapun yang bahkan tidak pernah dialaminya secara empiris. Ibarat merebus air dan pasti mendidih jika sampai pada panas tertentu, maka tidak perlu merebus air di seluruh dunia hanya untuk memastikan bahwa semua air pasti mendidik jika direbus. Kemampuan akal itu disebut kemampuan menggeneralisasi.
Selain generalisasi, ada sebuah kemampuan akal yang juga penting yaitu pendalaman. Jika generalisasi memperluas cakupan pengetahuan yang awalnya sempit dan partikular, maka pendalaman memperdalam cakupan pengetahuan yang awalnya hanya di permukaan. Untuk mengantarkan pemahaman kepada cara kerja akal yang mampu mendalami, maka perumpamaan cermin bisa membantu.
Saat seseorang berkaca, maka gambar orang tersebut terlihat di permukaan cermin, tetapi bukan gambar orang itu yang masuk ke dalam cermin karena cermin hanya memantulkan cahaya dari tubuh orang yang sedang berkaca. Cahaya tersebut lalu kembali memantul ke mata orang-orang yang melihat adanya gambar di permukaan cermin. Lalu, tampaklah ada gambar di permukaan cermin.
Semakin jernih sebuah cermin, maka semakin murni cahaya yang dipantulkannya dari tubuh orang yang berkaca dan juga semakin jernih cahaya yang dipantulkannya kembali ke mata-mata mereka yang melihatnya. Lalu, tampaklah gambar yang akurat. Jika sebuah cermin berwarna merah, maka kemerahan pula cahaya yang bisa dipantulkannya sehingga gambar yang hadir kurang akurat. Bagi akal, fanatisme bisa menjadi warna yang menghalangi kebenaran. Bagi hati, dosa dan penyakit hati bisa menjadi penghalang.
Kekuatan cermin sebagaimana dijelaskan di atas adalah kekuatan merefleksikan, mengabstraksikan, serta melepaskan objek pengetahuan dari dunia fisiknya. Hal itu menjadi modal penting bagi akal untuk tidak hanya memahami sebuah tanda tetapi juga mampu menembus ke balik tanda. Meski itu modal penting, tetapi cermin tidak mampu melakukannya sedangkan akal mampu. Itu bisa terjadi karena ada beberapa hal yang dimiliki oleh akal dan tidak dimiliki oleh cermin.
Kemampuan cermin hanya menangkap yang material. Berbeda dengan akal yang mampu menangkap yang nonmaterial. Cermin tidak bisa menjawab pertanyaan: siapakah orang yang sedang berkaca? Hendak ke mana dia dengan pakaian yang menempel di tubuhnya? Apakah dia sedang bahagia atau sedang lara? Cermin bahkan tidak bisa membedakan apakah yang sedang berkaca adalah laki-laki atau perempuan. Semua pertanyaan itu mampu dijawab oleh akal.
Lebih jauh, akal mampu menilai dirinya dan mengoreksi kekeliruannya, baik cara berfikirnya maupun hasil pemikirannya. Selanjutnya, membenahinya. Adapun cermin, bahkan tidak mampu menilai apakah gambar yang dipantulkannya telah sesuai dengan sosok sebenarnya orang yang berkaca. Bisa saja sosok yang kurus jadi tampak lebih gemuk di cermin atau yang tinggi tempak lebih pendek. Semua itu tidak mampu dibedakan oleh cermin.
Terakhir, cermin mampu menggambarkan objek-objek yang ada di sekitarnya, namun mampukah cermin menggambarkan dirinya sendiri? Apakah yang tampak jika dua cermin diperhadapkan untuk saling berkaca satu sama lain? Tidak ada. Singkatnya, akal mampu memahami yang tidak tampak karena bagi akal, semua yang tampak hanyalah tanda dari sesuatu yang jauh lebih dalam dan lebih luas.
Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa semua yang ada adalah tanda, sebagaimana dalam QS. ar-Rum/30: 22: Wa min aayaatihii khalqus samaawaati wal ardhi waktilaafu alsinatikum wa alwaanikum. Artinya: Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu.
Di dalam terjemahan disebutkan tanda-tanda (kebesaran)-Nya, namun di dalam ayatnya sendiri disebutkan aayaatihii. Karena itu, kata kebesaran adalah tambahan yang berarti di balik tanda itu kemungkina ada dua, yaitu Dia dan kebesaran-Nya. Jika diartikan Dia (tanpa kata kebesaran), maka alam raya ini adalah tanda kehadiran Allah SWT pada Diri-Nya. Adapun jika diartikan kebesaran-Nya, maka bisa dipahami bahwa alam raya ini adalah tanda dan di balik tanda itu ada ilmu pengetahuan yang merupakan tanda kebesaran-Nya.
Kembali kepada salah satu kesimpulan yang telah disebutkan di pertengahan tulisan ini yaitu bahwa cara kerja akal yang luar biasa adalah bahwa berhasil memutuskan sepenuhnya hubungan antara penalaran logis dari alam objektif. Dari situlah ilmu pengetahuan dibangun. Bisa disebutkan bahwa sekitar 95% ilmu pengetahuan berkembang sejak keterputusan itu. Artinya, seandainya keterputusan tersebut tidak terjadi, maka pengetahuan manusia hanya 5% saja dari yang ada sekarang. Selanjutnya, jika pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya hanyalah yang tidak terputus dari indera, maka berapa banyak pengetahuan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, termasuk kebenaran Ketuhanan.[]
Editor: AMN