Kita masih dalam euporia merayakan Tahun Baru Islam 1443 H. Itu artinya umur agama ini sudah mencapai 14 abad lebih. Dengan umur segitu, seharusnya umat agama ini sudah sangat dewasa mengelola kehidupannya, baik cara berpikir, prilaku, interaksi dan caranya mengatasi masalah. Akan tetapi, sampai hari ini media masih saja melaporkan konflik, perang dan kekerasan terjadi di berbagai belahan dunia Muslim.
Pencapaian keilmuan negara-negara Muslim juga masih sangat rendah. Menurut data dari UNESCO dan Bank Dunia, kontribusi umat Islam bagi penerbitan jurnal keilmuan dunia hanya 1%, sementara Royal Society Atlas mengungkapkan bahwa total jumlah publikasi ilmiah para ilmuwan di dunia Arab yang terdiri dari 17 negara OKI, masih lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah publikasi ilmiah Universitas Harvard sendiri. Belum lagi kita bicara pencapaian sosial-ekonomi negara-negara Muslim. Beberapa negara Muslim sudah masuk dalam kategori nation failure (negara gagal), dan sudah banyak sekali sarjana baik sarjana Barat maupun Muslim sendiri yang menyimpulkan bahwa Muslim hari ini mengalami kemunduran.
Apa penyebabnya? Sudah banyak peneliti yang memberi jawaban atas penyebab kemunduran umat Islam, tapi yang paling terbaru dan paling menarik adalah pendapat Ahmet T. Kuru dalam bukunya, Islam, Authoritarianism and Underdevelopment. Dia menganilisis bahwa penyebab kemunduran umat Islam adalah terpinggirkannya kekuatan intelektual dan ekonomi umat Islam yang diakibatkan oleh persekutuan antara ortodoksi agama dan negara militer yang terjadi pada abad ke 7 H dan seterusnya. Menurutnya, pada awal sejarah Islam (abad 1-6 H), dunia Muslim lebih unggul secara keilmuan dan ekonomi daripada umat lain, karena dunia Muslim mengganggap para sarjana dan pedagang memiliki status yang lebih tinggi daripada para politikus, agamawan dan militer. Kondisi ini membuat para ilmuwan bergeliat menghasilkan karya sehingga Islam memimpin ilmu pengetahuan, sementara para pedagang dan pebisnis lah yang mendukung pendanaan kerja-kerja intlektual sehingga ilmuwan menjadi lebih independen dan bergairah.
Kuru menunjukkan bahwa dunia Muslim sudah memiliki pemikir-pemikir dan pedagang-pedagang berpengaruh pada awal sejarah Islam, ketika pada saat yang sama, agamawan dan kekuasaan masih membelenggu eropa dalam era kegelapan. Ia mencontohkan bahwa sarjana seperti Abu Hanifah adalah kelas pemikir sekaligus pedagang yang kemudian memimpin perkembangan era emas intlektual Islam, yang mensupport murid-muridnya seperti Abu Yusuf untuk mengembangkan keilmuan Islam secara independen tanpa ketergantungan kepada kekuasaan dan otortitas politik. Bahkan menurutnya, para sarjana Islam seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Hanbali dan juga para filosof seperti Al-Khawarismi, Al-Razi, Ibn Haytam, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Biruni sengaja mengambil jarak dari kekuasaan. Keberjarakan para sarjana dan filosof tersebut merupakan pilar penting dari supremasi keilmuan Islam.
Data lain yang disampaikan Kuru bahwa Kohen pada tahun 1970 melaporkan penelitian bahwa 91 % ulama Islam yang hidup antara abad ke 3 sampai pertengahan ke 6 H, dibiayai oleh para pedagang, industri dan sektor privat lainnya, sementara hanya 9 % dari mereka yang menerima gaji sebagai pegawai negara. Dengan demikian, capaian supremasi keilmuan Islam di masa kejayaannya justru ditopang oleh support pengusaha dan pebisnis. Sehingga pada zaman itu, kelas intlektual dan borjuis yang dermawan pada ilmu pengetahuan mendapatkan tempat yang terhormat di kalangan umat Islam.
Melihat capaian Indonesia baru-baru ini diajang olimpiade Tokyo 2020, rasa-rasanya analisisnya Ahmet T. Kuru ada benarnya, kita bisa mencapai prestasi di cabang olahraga bulutangkis, karena ada pengusaha atau korporasi yang mendukung pembinaan atlet-atlet bulutangkis itu sejak dini seperti pembinaan atlet di PB Jaya Raya dan PB Djarum, wajar kalau prestasi anak negeri menggeliat di bidang itu. Jika pembinaan ini diserahkan kepada negara sepenuhnya atau pihak lain selain pengusaha dan korporasi swasta, maka mungkin hasilnya, prestasi bulutangkis kita tidak secemerlang sekarang.
Itu artinya, harus banyak Muslim kelas pengusaha, dan mereka harus punya komitmen kuat untuk membantu para sarjana untuk berkarya seluas-luasnya. Kalau banyak pengusaha Muslim tapi kerjanya juga hanya menyalurkan hobby semacam koleksi mobil mewah atau motor besar saja, tanpa atensi yang besar pada dunia intlektual, rasanya tidak ada gunanya juga. Pengusaha Muslim yang mendukung ilmuwan yang independen itulah nanti yang akan mengembalikan kejayaan Islam dan melahirkan kembali Imam Hanafi, Malik, Syafi’i, Hanbali baru, juga melahirkan Al-Khawarismi, Al-Razi, Ibn Haytam, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Biruni baru.
Selamat Tahun Baru 1443 HijriyahKullu
Sanah wa Antum bi Khaer.[]
Editor: AMN