Menurut M. Quraish Shihab (selanjutnya disebut Shihab), agar seorang penafsir bisa memahami Al-Qur’an dengan baik, diperlukan dua hal, yaitu ketulusan dan keyakinan. Di dalam karyanya, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an, Shihab tidak menjelaskan secara eksplisit apa yang dia maksud dengan ketulusan. Namun secara implisit, bisa dipahami bahwa yang dimaksudnya dengan ketulusan adalah prasangka baik. Dengan prasangka baik, pemahaman akan terbuka untuk mendapatkan inspirasi dari Al-Qur’an. Sebaliknya, prasangka buruk akan menutup pemahaman.
Adapun tentang keyakinan, lagi-lagi Shihab tidak memberi penjelasan yang eksplisit, namun barangkali itu berkaitan dengan bahwa Shihab adalah seorang Muslim. Makanya, elemen keyakinan diperlukan untuk memahami Al-Qur’an karena Al-Qur’an adalah bagian dari teologi Islam. Sama dengan ketulusan, keyakinan pun akan membuka ruang bagi pemahaman. Jika itu alasannya, maka pandangan Shihab menjadi masuk akal.
Mari kita lihat lebih jauh tentang dua hal yang menurut Shihab diperlukan oleh penafsir untuk memahami Al-Qur’an, yaitu ketulusan dan keyakinan.
Setiap upaya untuk memahami apapun, pasti diawali dengan semacam modal. Maksudnya, tidak mungkin sebuah aktivitas memahami terjadi tanpa semacam sarana dan pra sarana atau hal-hal yang memungkinkan proses memahami tersebut terjadi. Misalnya, untuk berjalan diperlukan kaki atau untuk mencinta dibutuhkan hati, untuk adanya “kita” mesti ada “kamu” dan “aku”. Begitu seterusnya. Demikian pulalah dengan memahami.
Shihab memilih ketulusan dan keyakinan sebagai semacam sarana dan pra sarana untuk memahami Al-Qur’an. Terlepas bahwa itu adalah bawaan pemahaman seorang Shihab sebagai seorang Muslim, pendapatnya tentang ketulusan dan keyakinan sesungguhnya mudah dipahami. Bahkan untuk memahami selain Kitab Suci, ketulusan dan keyakinan tetap diperlukan, apalagi Kitab Suci.
Katakanlah seorang hendak memahami sebuah buku (bukan Kitab Suci) yang ditulis oleh seseorang lain. Ketulusan untuk memahami tetaplah penting karena itu akan mengurangi bias kepentingan subjektif pembaca yang bisa memengaruhi pemahamannya menjadi tidak objektif. Ketulusan dan prasangka baik di sini dimaksudkan sebagai pengikisan terhadap penghakiman-penghakiman awal yang bisa saja ada sebelum penafsiran terjadi. Tentu saja itu bisa menghalangi lahirnya pemahaman yang lebih steril. Ketulusan dan prasangka baik adalah semacam upaya penafsir untuk membuat dirinya diam dan membiarkan Kitab Suci yang ditafsirkannya berbicara apa adanya.
Pilihan Shihab kepada keyakinan sebagai semacam sarana dan pra sarana untuk memahami Al-Qur’an juga mudah dipahami. Kembali kepada contoh buku non Kitab Suci. Tidak ada guna bagi orang itu untuk memahami buku tersebut jika pada dirinya tidak ada keyakinan bahwa buku tersebut memang akan membuat hidup dan pemahamannya tentang dunia menjadi lebih baik. Karena itu, keyakinan terhadap yang ditafsirkan menjadi bukan hal yang remeh. Itu penting bagi proses untuk memahami.
Sebagai cara praktis untuk melaksanakan ketulusan dan keyakinan, Shihab memberikan petunjuk: Penafsir harus hidup dalam lingkungan Al-Qur’an sehingga merasakan bahwa Al-Qur’an berdialog, bahkan bersahabat dengannya. “Jika Anda ingin berbicara dengan Allah SWT, maka berdoalah. Jika Anda ingin Allah SWT berbicara dengan Anda, maka bacalah Al-Qur’an.” Jika Al-Qur’an sudah menjadi sahabat, maka sebagaimana sahabat, dia akan menceritakan rahasia-rahasia yang tidak disampaikan kepada yang hanya dikenalnya semata. Jika Allah SWT sendiri yang memberikan pemahaman, maka pemahaman yang hadir jauh lebih banyak daripada pemahaman yang mampu diambil sendiri oleh penafsir. Seumpama anak yang mengambil permen, maka permen yang bisa diambil oleh sang anak hanya sebanyak kemampuan tangannya yang kecil. Namun jika orang dewasa yang mengambilkannya, maka permen yang didapatkan sang anak jauh lebih banyak karena sebesar telapak tangan orang dewasa.
Tawaran cara praktis oleh Shihab di atas menandakan sebuah upaya keterlibatan yang intens antara subjek penafsir dengan objek penafsiran hingga diandaikan hampir-hampir tidak ada jarak antara keduanya. Subjek penafsir hampir-hampir mengalami Al-Qur’an dan sehingga kala sebuah penafsiran terlahir, maka seakan-akan Al-Qur’an sendiri yang menghendaki penafsiran tersebut, bukan sang penafsir. Apakah itu mungkin? Sepertinya, iya.[]
Bahan Bacaan
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an, Tangerang: Lentera Hati, 2019.
Editor: AMN