Proyek Filosofis Pemikiran Martin Heidegger

Memahami proyek filosofis pemikiran Martin Heidegger, akan lebih bijaksana apabila memulainya dengan memahami fenomenologi. Pemikiran Heidegger memang telah melampaui fenomenologi dan telah mencapai suatu pendirian sendiri. Heidegger berhasil membedakan diri dengan filosof-filosof sebelumnya, ia membuat sistematisasi filsafat secara baru dengan istilah, kata, dan bahasa yang baru pula. Tetapi, dalam periode pertama karirnya, fenomenologi telah memegang peranan penting dan dia pun memasuki posisi filosofis yang definitif justru melalui fenomenologi. Tidak dapat dipungkiri juga, bahwa dengan bantuan fenomenologilah Heidegger menjalankan seluruh proyek filsafatnya.

Fenomenologi yang digagas Husserl sebenarnya muncul karena kegelisahannya akan adanya tendensi kuat dalam dunia ilmu pengetahuan dan filsafat untuk memandang kenyataan dari satu sudut pandang saja, yaitu sudut pandang ilmiah yang begitu lekat dengan naturalisme dan objektifisme. Menurut Husserl, naturalisme dan objektifisme telah mengabsorsi eksistensi berikut kesadarannya pada kutub lahiriahnya, yaitu “segi luar” nya dan tidak melihat bahwa kesadaran manusia mampu memberi makna pada kenyataan. Oleh karena itu, Husserl mengganti pemahaman naturalis dan objektifis atas dunia tersebut dengan paradigma lain, yaitu apa yang sekarang termasyhur dengan istilah Lebenswelt (dunia kehidupan), inilah pondasi fenomenologi Husserl.

Lebenswelt adalah sebuah dunia yang dihayati oleh kesadaran. Kesadaran yang dimaksud di sini bukanlah suatu dunia “rea” menurut kategori-kategori filosofis sebagaimana tampil dalam realisme dan idealisme. Dunia yang dimaksud di sini adalah dunia asli, dunia yang belum mendapat sentuhan tafsir dari ilmu pengetahuan maupun filsafat. Di sinilah Husserl kemudian menawarkan tindakan radikalisasi filsafat, dengan menyelidiki pondasi awal atau berpulang pada permulaan dari semua jenis dan bentuk konstruksi yang menimbun dunia yang dihayati. Guna mencapai hal tersebut Husserl kemudian menempuh jalan reduksi atau epoche. Kata reduksi dihubungkan dengan sikap menerima dunia ini sebagai sungguh-sungguh seperti kita jumpai. 

    Dalam pemikiran Heidegger terdapat pengandaian tertentu tentang kesadaran, karena proyek penelitiannya tidak diarahkan pada esensi kesadaran dan aktifitas-aktifitas kesadaran itu sendiri, melainkan kepada hubungan primordial kesadaran dan dunia yang melingkupinya. Tidak seperti Husserl, Heidegger tidak percaya dengan adanya kesadaran murni. Kesadaran tidak pernah perawan, ia selalu dibastarisasi oleh situasi kesadaran itu. Dengan demikian—jika berbicara secara radikal—bukan kesadaran yang lebih utama daripada ada, melainkan sebaliknya, ada lebih utama daripada kesadaran. Kesadaran adalah cara ada menampakkan diri.

Melihat kelupaan ada dalam tradisi metafisika Barat tradisional tersebut, Heidegger kemudian mengusulkan proyek destruksi metafisika melalui dasein. Proyek destruksi metafisika Heidegger tersebut dimulai dengan pentingnya meluruskan kembali pertanyaan mendasar dalam metafisika, yaitu pertanyaan tentang ada. Pertanyaan metafisika Barat, “apa itu ada?”, yang mengklaim ada sebagai entitas, harus diubah menjadi “apa makna ber-ada?”. Model baru pertanyaan metafisika tersebut berbeda dengan pertanyaan metafisika biasa yang oleh Heidegger disebut sebagai pertanyaan ontis. Jika pertanyaan ontis sekedar bertanya sambil lalu tentang sesuatu, maka pertanyaan model baru tersebut bertanya karena menginginkan kejernihan atas status ontologis sesuatu. Pertanyaan model baru tersebut tidak sekedar bertanya, tetapi juga memunculkan pertanyaan lanjutan yang menjadi dasar refleksi filosofisnya. Model baru pertanyaan metafisis Heidegger inilah yang melambungkan namanya dan membuatnya berbeda dari para filosof sebelumnya.

Mengapa Heidegger menyatakan demikian? Mengapa mengubah pertanyaan metafisis menjadi apa makna ber-ada itu penting? Terisnpirasi dari Plato, Heidegger menyatakan bahwa untuk dapat bertanya, pastilah penanya punya pengetahuan yang kabur tentang hal yang ditanyakan. Bagi Heidegger di antara sekian banyak entitas yang ada, satu-satunya entitas yang paling bisa untuk menanyakan pertanyaan tersebut adalah manusia. Entitas-entitas yang lain, seperti harimau, orangutan, batu, bus, atau pena tidak pernah sama sekali mempersoalkan ada mereka. Namun, untuk menyebut manusia, Heidegger nyaris tidak pernah menggunakan kata “human being”, “subjek”, “aku”, “pesona”, “kesadaran”, yang sering dipakai dalam tradisi filosofis untuk mengacu ke manusia. Manusia ditunjuk Heidegger dengan nama dasein. Istilah ini tidak dapat diterjemahkan dalam bahasa-bahasa lain. Heidegger lebih memilih istilah dasein daripada istilah yang lain seperti human being, karena istilah dasein bisa bermakna keumuman suatu spesies, sementara human being merujuk pada suatu benda objektif presence-at-hand.

Dasein merupakan bahasa Jerman yang berarti ada-disana. Dasein adalah istilah Jerman yang biasa diterjemahkan ke bahasa Inggris being. Namun, istilah Sein adalah kata kerja infinitive to be bahasa Indonesia: ber-ada karena dalam tata bahasa Jerman dimungkinkan memakai kata kerja infinitive sebagai kata benda. Dengan demikian, menjadi penting untuk selalu mengingat bahwa maksud dari istilah sein adalah bukan sekedar ada, melainkan berada. Heidegger memahami dunia yang ditempati dasein tersebut dengan bahasa. Bahasa menurut Heidegger adalah adalah kediaman “Ada” dasein. Dengan demikian, dalam makna sejatinya perhatian pokok filsafat Heidegger ini adalah Bahasa. Tidak ayal rumusan filsafatnya memiliki keterkaitan yang erat dengan keilmuan hermeneutika. 

Relasi dasein dengan keduniaan ini memunculkan tiga karakter dasein yang dominan, yaitu faktisitas, pemahaman (understanding), dan kejatuhan. Faktisitas menunjukkan suatu keterlemparan (throwness). Heidegger berpendapat bahwa setiap manusia setiap dasein seutuhnya dibentuk oleh kebudayaannya. Ia tidak bisa mengontrol keterlemparan lingkungan sosialnya dan menjadi bagian dari suatu kebudayaan, sehingga seluruh tingkah lakunya diperoleh dari kebudayaannya. Dengan demikian, tidak ada dasein yang otonom atau bebas memilih cara beradanya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Mahsun, Nafisul Atho’. “Martin Heidegger: Hermeneutika sebagai Fenomenologi Dasein dan Pemahaman Eksistensial.” dalam Nafisul Atho’ Mahsun dan Arif Fahruddin (eds.), Belajar Hermeneutika dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies. Yogyakarta: IRCiSoD, 2012.

Hardiman, F. Budi. Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein un Zeit. Jakarta: KPG, 2003.

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 2002. Lemay, Eric. Pitts, Jennifer A. Heidegger untuk Pemula (terj. P. Hardono Hadi). Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *