Ada apa dengan Karakter Spiritual? Mungkin inilah yang terbersit dari pertanyaan tersebut? Dan kenapa harus karakter spiritual, bukan yang lain?
Manusia yang sangat mulia, yang kemualiannya diberikan oleh yang Maha Mulia, beliaulah baginda Rasulullah SAW yang diturunkan ke dunia untuk menyempurnakan akhlak. Oleh sebabnya, karakter spiritual menjadi modal dasar untuk menjadikan manusia yang bertaqwa, bermartabat dan manusia yang akan menjadi kebanggaan orang-orang disekitarnya. Selain hal tersebut, karakter itu merupakan suatu kualitas sifat yang menetap terus-menerus tanpa henti hingga menjadikan orang yang menjalankan selalu menjadi contoh untuk generasi berikutnya hingga terus menurus dikenang hingga binasanya dunia ini. Dalam karakter juga terdapat sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya. Di dalam hal-hal tersebut akan mengacu dan tertuju kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).
Ibnu Miskawih, dalam kitab Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir, menjabarkan bahwa karakter dapat dikategorikan menjadi dua jenis, karakter thabi’i merupakan kategori yang pertama. Karakter thabi’i merupakan karakter dasar atau karakter alamiah yang bersumber atau mengacu dari sifat temperamen atau al-mazaj. Kategori karakter ini bisa diambil sebuah permisalan sifat mudah terbawa oleh hal-hal yang ringan atau sepele, yaitu seperti seorang yang memiliki sifat pemarah terhadap sesuatu yang tidak layak untuk dimarahi, atau bahkan menangis atau sedih secara berlebihan hanya karena hal-hal yang sudah sepele.
Kategori kedua yaitu karakter yang merupakan hasil atau produk dari kebiasaan dan latihan. Kategori karakter ini merupakan produk dari latihan atau ‘riyadhah’ dan kebiasaan ‘habits’, dibiasakan, dilatihkan, dan dipraktekkan secara terus-menerus dengan berbagai metode, cara, pada waktunya akan menghasilkan sifat karakter yang mantap.
Hingga dalam perspektif tasawwuf karakter atau khuluq dimaknai sebagai,
هيئة أو صورة باطنية في النفس راسخة و عنها تصدر ألاعمال بسهولة و يسر (عفوية) دون أي حاجة الي تفكري أو رؤية
Keadan batin seorang insan yang kokoh pada jiwanya, dari jiwa tersebut lahir sikap dan perbuatan dengan ringan atau mudah dan spontanitas tanpa proses pemikiran.
Pada uraian di atas, karakter itu merupakan keadaan batin yang melahirkan sikap dan perbuatan tanpa sebuah pemikiran dari latihan atau ‘riyadhah’ dan kebiasaan ‘habits’.
Adapun spiritual atau ruhani bisa disebut dengan pancaran sifat Allah SWT yang diberikan kepada setiap insan pada saat Ruh Allah SWT ditiupkan yang berada dalam kandungan seorang ibu, melalui tiupan ruh itulah alur kehidupan di awali. Untuk menjelma menjadi ruhani, seorang insan perlu terus belajar dalam kejujuran, beritikad baik untuk terus-menerus mendekatkan diri kepada Allah SWT yaitu pusat ruh itu berasal. Ketika ditelaah, spiritual terambil dari kata spirit (ruh). Dalam Al-Qur’an term ruh lebih mengerucut kepada istilah spiritual. Keterualangan kata ruh disebutkan dalam Al-qur’an sebanyak dua puluh satu kali.
Al-quran sudah dengan begitu gamblang menjelaskan solusi dalam setiap kehidupan manusia, tapi kenapa banyak diantara manusia dalam menjalani sebuah kehidupannya sering kacau?. Jawabannya bisa menjadi pegangan hidup ini, yaitu berupa baik, benar dan bagus belum diterapkan dalam setiap perilaku dan aktivitas manusia. Ketika hanya mengandalkan baik dan benar namun belum terlihat bagus, maka tetap masih akan kacau dalam kehidupannya. Begitupula jika benar dan bagus saja yang berjalan dalam kehidupannya tanpa diiringi dengan baik, maka tetap akan kacau dalam kehidupannya. Olehkarenanya ketiganya harus tetap jalan beriringan dan berbergandengan hingga mencapai garis kesejahteraan dan kebahagiaan hidup.
Kesejahteraan dan kebahagiaan hidup akan tercapai jika memang disebut manusia berfikir yang jika berfikir maka sesuai dengan arahan dan rel serta jalan yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Menjadi sebuah pertanyaan lanjutan, kenapa manusia selalu gagal dalam berfikir?. Tentu, kegagalan manusia dalam berfikir disebabkan oleh takaran atau alat ukur atau barometer dalam berfikir belum terselesaikan dengan baik. Takaran atau alat ukur atau barometer dalam berfikir itu lebih bisa diditeksi oleh manusia yang sesungguhnya adalah Al-quran Al-karim.
Al-quran Al-karim merupakan takaran atau alat ukur atau barometer dalam berfikir yang terbaik. Ketika Al-quran Al-karim yang dikelola dalam berfikir bermasalah maka bisa menimbulkan cara pola fikir yang tidak jelas, gerak-gerik hati yang tidak jelas dan jiwa yang tidak tenang.
Bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa karakter spiritual yang bisa dijadikan pegangan kesuksesan dan kebahagiaan manusia yang bernama Al-quran Al-karim merupakan GARIS FINISH disetiap manusia menghadapi permasalahan dalam kehidupan.
Editor
ABS