Pemikiran Hermeneutika Rudolf Bultmann: Demitologisasi

pexels.com

Rudolf Bultmann (20 Agustus 1884 – 30 Juli 1976) dikenal sebagai pembaharu dalam dunia Kristen Protestan karena telah berusaha menyajikan cara-cara baru dalam memahami kitab suci. Hampir semua agama memiliki permasalahan yang sama yaitu bagaimana sebuah kitab suci dapat dipahami oleh umatnya. Kitab Perjanjian Baru (Injil) adalah kitab yang memuat firman Tuhan pada waktu tertentu dan sering kali dianggap oleh umat modern sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, dimana dalam kitab suci tersebut ada cerita-cerita tentang mukjizat, surga, neraka, cerita tentang kehebatan tokoh tertentu, serta  kisah tentang keanehan-keanehan dan kejadian di luar nalar manusia. 

Persoalan utamanya adalah bagaimana memahami ayat-ayat semacam itu di masa modern seperti sekarang ini. Umat beragama mempunyai kepentingan untuk melakukan proses penafsiran untuk mengeluarkan makna dari kitab suci itu. Persoalan yang dihadapi adalah apa makna dari narasi-narasi yang ada dalam kitab suci itu, dimana sebagiannya tidak bisa diterima oleh nalar manusia modern. Salah satu metode yang ditawarkan oleh Bultmann adalah melakukan sebuah proses yang dikenal dengan demitologisasi.

Seringkali disalahpahami bahwa metode demitologisasi adalah metode yang membuang dan menyingkirkan mitos. Justru, metode ini digunakan untuk menguak makna dan menyingkap pesan dari mitos yang ada dalam kitab suci itu. Oleh karena itu, Bultmann membuka suatu fakta (sebagaimana yang disampaikan oleh Heidegger) bahwa proses kehadiran kitab suci dan pemaknaannya itu bersifat eksistensial artinya kitab suci itu hadir dalam konteks ruang dan waktu tertentu dan proses pemaknaannya itu juga bersifat eksistensial artinya umat dapat memahami beberapa narasi dalam kitab suci ada dalam ruang dan waktu tertentu, hanya saja seringkali pemaknaan oleh komunitas religius itu kemudian menjadi makna resmi. Kemudian dalam berbagai agama terdapat beberapa mazhab, dimana dalam beberapa mazhab tersebut memiliki pemahaman resmi tertentu di bidang teologi dan hukum, lalu pemahaman itu menjadi dogma dan doktrin. 

Dalam proses pemahaman kitab suci itu ada beberapa hambatan yang dihasilkan dari sejarah pemaknaan kitab suci, yang disebut dengan preposisi, di satu sisi dibutuhkan dan di sisi lain dianggap bisa menghambat, jadi ada praanggapan yang sudah mendahului seorang penafsir ketika hendak menafsirkan kitab suci, praanggapan itu bisa bersifat dogmatis dan epistemis. Setiap orang ketika menghadapi kitab suci sudah memiliki dogma yang dia terima sejak kecil tentang karakteristik dari kitab suci itu, misalnya sebagai sebuah dogma bahwa kitab suci itu secara literal dianggap sebagai firman Tuhan (dogmatis) dan ada lagi pra pemahaman yang bersifat epistemis, yaitu cara berfikir tertentu dan metode tertentu yang sudah tertanam dalam pikiran sehingga setiap kali memahami teks maka itulah yang digunakan, jadi itulah yang disebut preposisi yang bersifat epistemis

Kitab suci seringkali sulit diungkapkan maknanya, karena kita terjebak dalam pra anggapan yang bersifat dogmatis dan epistemis. Demitologisasi adalah sebuah proses untuk membiarkan makna mitos itu hadir, kemudian dia berbicara sesungguhnya mengenai apa yang diinginkan oleh Tuhan ketika dia menyampaikan pesan-pesan firman-Nya melalui mitos-mitos tertentu, jadi membiarkan Alkitab dengan cerita mitologisnya hadir. Kemudian kitab itu hadir dalam ruang dan waktu tertentu, sementara di sisi lain ada makna-makna yang telah dibentuk oleh komunitas agama di masa lalu. Kitab sucinya tetap, kitab Injilnya tetap, akan tetapi seluruh kitab suci termasuk Al-Qur’an telah memproduksi banyak tafsir. 

Masyarakat seringkali terpenjara oleh penafsiran tertentu dan pemikiran-pemikiran tertentu, lalu konsep demitologisasi berperan membiarkan Alkitab itu hadir di tengah mereka, kemudian menyingkirkan sementara praanggapan yang bersifat dogmatis maupun yang bersifat epistemis. Ingat, kitab suci itu hadir dalam ruang dan waktu tertentu. Setelah diketahui ruang dan waktu yang menjadi latar belakang kitab suci yang menyapa manusia itu, maka akan diketahui secara persis apa makna mitos yang terdapat dalam kitab suci itu yang bertentangan dengan dogma dan epistemi yang berkembang di tengah masyarakat, juga bertabrakan dengan keyakinan umum yang sudah diterima oleh masyarakat, inilah proses yang dinamakan demitologisasi, maka dengan cara begitu agama dibebaskan dari praanggapan kolektif baik yang bersifat dogmatis maupun epistemis

Setiap kitab suci agama apapun yang mengandung mitos telah ditafsirkan oleh para ulama terdahulu dan para pemikir terdahulu, lalu yang menjadi masalah adalah bahwa hasil penafsiran mereka telah diterima sebagai dogma resmi gereja atau fatwa-fatwa resmi MUI dan hal itu mengikat kita semua sebagai dogma agama. Namun di sisi lain, kita juga telah mewarisi cara berpikir tertentu dalam menanggapi permasalahan yang dihadapi (epitemis) dan ini sangat berpengaruh kepada cara melihat dan memahami kitab suci.

Oleh karena itu, demitologisasi berarti membiarkan mitos-mitos kitab suci hadir di tengah masyarakat, kemudian perlu dipahami bahwa kitab suci itu ketika hadir punya konteks ruang dan waktu tertentu, dengan kata lain mitos kitab suci itu hadir secara eksistensial, meruang dan mewaktu. Misalnya gambaran kitab suci tentang keindahan kuasa Tuhan yaitu tentang surga dan neraka, gambaran surga bagi masyarakat Arab pada saat itu dengan adanya taman yang indah dan sungai-sungai yang mengalir itu sangat indah dalam konteks masyarakat Arab pada saat itu, jadi mitos tentang surga jika dibiarkan maka berarti keindahan surgawi merupakan keindahan yang sangat sempurna. 

Demikianlah cara membaca kembali dan mengambil aspek pesan mitos dari kitab suci. Oleh karena itu, untuk memahami mitos dalam kitab suci dibutuhkan kesadaran yang terlepas dari praanggapan yang bersifat dogmatis maupun yang epistemis. Jadi, tidak harus menghilangkan penafsiran dan pemikiran yang ada terhadap kitab suci, tetapi yang harus disadari bahwa praanggapan kolektif tersebut akan menjadi penghalang dalam memahami dan menghadirkan makna sesungguhnya dari kitab suci itu. Hal terakhir yang perlu diketahui bahwa penafsiran itu meruang dan mewaktu artinya bersifat historis, maka dia akan berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan latar belakang sosial, sejarah dan budaya dimana masyarakat itu hidup.

Daftar Pustaka

Ariyanto, M. Darojat.  “Teologi Kristen Modern Di Eropa.” Jurnal Suhuf , Vol. 05 No. 22 Tahun 2010.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Abineno, J. L .Ch. Rudolf Bultmann dan Theologinya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989. 

Roibin, “Agama dan Mitos Dari Imajinasi Kreatif Menuju Realitas Yang Dinamis”,Jurnal el-Harakah, Vol. 12 No. 1 Tahun 2010.

Supena, Ilyas, “Hermeneutika Kritis Jürgen Habermas: Implikasinya bagi Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman”, Jurnal Teologia, Vol. 16 No. 3 Tahun 2002.Wahyudi, Chafid.  “Tuhan Dalam Perdebatan Eksistensialisme”: Jurnal Teosofi,  Vol. 02  Tahun 2002.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *