Adian Husaini lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, 17 Desember 1965. Saat ini sebagai kandidat Doktor bidang Pemikiran dan Peradaban Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM). Akivitasnya saat ini adalah sebagai ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), wakil ketua komisi Kerukunan Umat Beragama MUI, Pengurus Majlis Tabligh PP Muhammadiyah, anggota Dewan Direktur di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilazation (INSISTS) dan redaksi Majalah ilmiah ISLAMIA, serta pemimpin Redaksi jurnal Al-Insan. Juga, secara rutin, menulis Catatan Akhir Pekan (CAP) untuk Radio DAKTA 107 FM dan website www. Hidayatullah.com.
Abdurrahman Al-Baghdadi, lahir di Lebanon, 1 Ramadhan 1373/21 Mei 1953. Tahun 1984-1991 ditugaskan di Indonesia sebagai Dosen Bahasa Arab di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) dan Fakultas Syariah di Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor. Pada 1992-2000 sebagai Dosen Ilmu Tafsir dan Hadis di Akademi Dakwah Islam Athahariyah (ADIA), Jakarta dan tahun 2000-2002 menjadi Penasihat Badan Artibitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), Jakarta. Sejak 2002 hingga 2006 diperbantukan untuk Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Hidayatullah, Jakarta sebagai Dosen Bahasa Arab, Tafsir, Hadis, dan Fikih di berbagai lembaga pendidikan Hidayatullah. Tahun 2006-sekarang sebagai dosen di Ma’had Ali Pesantren Husnayain dan STIE Husnayain, Ciracas, Jakarta.
Adian Husaini mengkritik tentang para pemikir Islam di Indonesia maupun di Timur Tengah yang menggunakan metode hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Adian juga mengkritik penetapan metode hermeneutika sebagai mata kuliah wajib di jurusan Tafsir Hadis. Menurutnya hal ini merupakan masalah yang serius dalam Pemikiran dan Studi Islam di Indonesia, kini dan masa mendatang. Dengan hermeneutika, maka hukum-hukum Islam yang selama ini sudah disepakati kaum Muslimin bisa berubah. Dengan hermeneutika, bisa keluar produk hukum yang menyatakan wanita boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, khamr menjadi halal, laki-laki punya masa iddah seperti wanita, atau wanita punya hak talak sebagaimana laki-laki, atau perkawinan homoseksual/lesbian menjadi halal. Semua perubahan itu bisa dilakukan dengan mengatasnamakan “Tafsir Kontekstual” yang dianggap sejalan dengan perkembangan zaman. Menurutnya, umat Islam sudah memiliki Tafsir, sebagai salah satu khazanah klasik umat Islam yang sangat berharga. Sebagaimana halnya dengan Ilmu Hadis, Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Fiqih, Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, dan sebagainya. Sepanjang sejarah Islam, tidak pernah ada gelombang sebesar saat ini dalam menggugat Ilmu Tafsir Al-Qur’an dan mempromosikan metode asing (dari tradisi Yahudi-Kristen), yang sangat berbeda dengan Metode Tafsir Al-Qur’an selama ini.
Ketika konsep teks Al-Qur’an dibongkar, dan dilepaskan dari posisinya sebagai Kalam Allah maka Al-Qur’an akan diperlakukan sebagai teks bahasa dan produk budaya, sehingga bisa dipahami melalui kajian historisitas, tanpa memperhatikan bagaimana Rasul Allah dan para sahabat beliau mengartikan atau mengaplikasikan makna ayat-ayat Al-Qur’an dalam kehidupan mereka. Dengan pembongkaran Al-Qur’an sebagai Kalam Allah, maka barulah metode hermeneutika memungkinkan digunakan untuk memahami Al-Qur’an. Metode ini memungkinkan penafsiran Al-Qur’an menjadi bias dan dapat disesuaikan dengan tuntutan nilai-nilai budaya yang sedang dominan (Barat).[1] Akibatnya, kini muncul konsep-konsep seperti: 1) Relativisme Tafsir dan Dekonstruksi Syari’ah dan 2) Menolak otoritas Mufassir.
Kerancuan Hermeneutika dalam Tafsir Al-Qur’an
Salah satu dampak dari hermeneutika jika diterapkan untuk menafsirkan Al-Qur’an adalah penyelisihan terhadap kaidah-kaidah umu Islam, merelatifkan batasan antara ayat-ayat muhkâm dab mutasyâbih, usûl dan furû’, qat’iyah dan zaniyah, mencerca Ulama Islam, dekonstuksi konsep wahyu yaitu menggugat otentisitas Al-Qur’an sebagai kitab yang terlindungi lafaz dan maknanya, dan juga akan mereduksi sisi kerasulan Sang Penyampai Wahyu Muhammad saw. hingga pada tingkatan sebatas manusia biasa yang sarat dengan kekeliruan dan hawa nafsu.[2]
Dampak buruk lainnya dari hermenutika bisa dilihat dari sikap para pengusungnya dari kaum Liberal. Secara terang-terangan dituangkan ke dalam tulisan-tulisan dan sikap mereka sebagai bukti pembenaran akan idiologi mereka.[3] Penyimpangan lain yang disebabkan hermeneutika adalah sering menggugat hal-hal yang prinsip dalam Islam. Hal ini karena dalam hermeneutika selalu cenderung merelatifkan hal-hal yang qhaṭ’ī.
Penggunaan metode hermeneutika dalam menafsirkan Al-Qur’an termasuk kategori berpaling dari Al-Qur’an. Metode hermeneutika menjadi sebab utama Al-Qur’an tidak akan dipahami sebagaimana yang dipahami oleh Rasulullah saw. dan sahabatnya sebagai tauladan dalam memahami dan mengamalkan Islam. Bahkan, hasil penggunaan metode hermeneutika pun sering kali bertentangan dengan pirnsip-prinsip dasar Islam. Penggunaan hermeutika juga berarti mengikuti kaum orientalis yang kufur terhadap Al-Qur’an, sehingga tidak diragukan lagi akan tersesatnya penggunaan metode hermeneutika dalam menafsirkan Al-Qur’an kalāmullah yang mulia.[4]
Jika Hermeneutika terbatas diartikan sebagai Ilmu yang digunakan untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah, maka agaknya tidaklah keliru jika dikatakan bahwa Hermeneutika telah dikenal oleh ulama Islam jauh sebelum munculnya Hermeneutika di Eropa. Karena itu pula, paling tidak sebagian dari bahasan Hermeneutika telah dikenal oleh ulama-ulama Islam. Hermeneutika klasik, memiliki banyak landasan yang mirip dengan apa yang dikenal dalam bahasan ulama Islam menyangkut Ilmu-Ilmu penafsiran Al-Qur’an.
Menurut Quraish Shihab, jika melihat tujuan pertama dan utama mempelajari dan memahami makna kosakata, konteks yang terdalam dan tersembunyi dari kitab suci, maka kita juga akan berkata memerlukan bahasan ilmu itu untuk keperluan pemahaman kitab suci al-Qur’an.[5]
Jika dilihat dari pemaparan Adian Husaini terhadap penolakan metode hermeneutika dalam memahami al-Qur’an memiliki beberapa kelemahan. Menurut Sahiron Syamsuddin, para penolak hermeneutik telah terjebak pada sikap simplikasi terhadap hermeneutika. Hermeneutika yang ia sebutkan di atas hanya satu aliran dari sekian aliran hermeneutika Barat. Hermeneutika yang dirujuk olehnya hanyalah hermeneutika dekonstruksi yang memandang bahwa penafsir memiliki hak penuh untuk menentukan makna teks yang ditafsirkan, sehingga seakan-akan makna yang dimaksudkan oleh pengarang teks tidak lagi penting.[6] Padahal selain aliran yang demikian masih banyak aliran yang bersikap obyektif, seperti Scheleiermacher. Misalnya, dalam teori gramatikal dengan tiga prinsipnya yang sangat relevan untuk kajian dan penafsiran Al-Qur’an.
Abdurrahman Al-Baghdadi memberikan suatu tawaran tentang penggunaan tafsir bukan hermeneutika, yakni ketika menafsirkan Al-Qur’an haruslah sesuai dengan Al-Qur’an itu sendiri dengan tekstual bukan kontekstual. Poin-poin pada tawaran dia dalam menafsirkan antara lain:
- Dalam menafsirkan Al-Qur’an perlu diketahui apa yang dikemukakan oleh Al-Qur’an dengan mempelajari secara global hingga hakikat yang dikemukakan Al-Qur’an tampak jelas. Kemudian dipelajari dari segi lafadz dan maknanya sesuai dengan ketentuan bahasa Arab dan keterangan Rasulullah.
- Dalam menafsirkan Al-Qur’an harus mengenal “rasa bahasa” yang menyangkut masalah sastra. Jika sastra dalam Al-Qur’an dapat dikuasai secara rinci atas dasar kesemuanya itu, barulah orang dapat menafsirkan Al-Qur’an.
- Untuk memahami kisah-kisah, atau berita-berita tentang berbagai umat manusia pada zaman silam atau untuk memahami kata-kata atau kalimat yang menceritakan berita tersebut, tidak perlu kita cari maknanya di dalam Taurat ataupun Injil. Karena memang tidak ada kait pautnya dengan bahasa Taurat dan Injil. Demikian dalam memahami makna isi kandungan Al-Qur’an, tidak perlu menjadikan Taurat dan Injil sebagai referensi sejarah terdahulu, sebab yang menjelaskan makna isi Al-Qur’an adalah Rasulullah saw.
Kesimpulan
Upaya Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi dalam menolak hermeneutika sebagai bentuk usaha dalam menjaga tradisi keilmuan Islam dengan mengikuti petunjuk-petunjuk ulama terdahulu. Walaupun, Al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan tentunya Adian dan Abdurrahman selalu berhati-hati dalam memahami Al-Qur’an. Dan jalan yang mereka berdua lakukan adalah dengan menghidangkan kajian Umat Islam berupa “ilmu dan tafsirnya”. Hermeneutika dalam kajian Islam menimbulkan pro dan kontra baik dari ulama lokal maupun Timur Tengah. Akan tetapi, walaupun hermeneutika merupakan kajian dari Barat tentunya kita harus bersikap bijaksana dalam dunia akademik khususnya. Quraish Shihab berpendapat bahwa jika hermeneutika diartikan sebagai penjelas tentang maksud firman-firman Tuhan, maka tidaklah keliru jika dikatakan bahwa sebenarnya hermeneutika telah dikenal oleh ulama Islam. Maka dari itu, dalam memahami teks Al-Qur’an dengan hermeneutika harus berusaha mendudukkan persoalan dengan selalu mendekatkan diri dari kecurigaan terhadap dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Husaini, Adian dan Abdurrahman al-Baghdadi. Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani. 2007.
Husaini, Adian dan Henri Salahuddin. Studi Komparatif: Konsep Alqur’an Nashr Hamid Abu Zayd dan Mu’tazilah, Jurnal ISLAMIA, Tahun I No. 2/Juni-Agustus. 2004.
Saenong, Ilham B. Hermeneutika Pembebasan Metodelogi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi. Jakarta: Penerbit Teraju. 2002.
Shalahudin, Henri. Al-Qur’an Dihujat. Jakarta: al-Qalam Kelompok Gema Insani, 2007.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati. 2013. Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika Dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press. 2017.
[1] Adian Husaini dan Henri Salahuddin, Studi Komparatif: Konsep Alqur’an Nashr Hamid Abu Zayd dan Mu’tazilah, Jurnal ISLAMIA, Tahun I No. 2/Juni-Agustus 2004, hal. 36.
[2] Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Alqur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2007), hal. 34.
[3] Ilham B.Saenong, Hermeneutika Pembebasan Metodelogi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, Cet. I, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2002), hal. xxi
[4] Henri Shalahudin, Al-Qur’an Dihujat, (Jakarta: al-Qalam Kelompok Gema Insani, 2007), hal. 47-49.
[5] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hal. 34.
[6] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 41.