Lahir dan Bertumbuh
Seorang pemikir muslim kawakan, Fazlur Rahman, lahir pada 21 September 1919 di wilayah Hazara, Punjab, Pakistan. Tumbuh dan berkembang dalam tradisi Hanafiyah yang kuat. Hafal Al-Qur’an di luar kepala ketika menjejak usia 10 tahun, dan mulai belajar filsafat, bahasa Arab, teologi, hadis, dan tafsir pada usia ke-14, menjadi ilustrasi cemerlangnya kecerdasan Rahman. Tahun 1940, Rahman merampungkan kesarjanaan dasarnya dengan gelar Bachelor of Art (BA), dan dua tahun berikut, ia meraih gelar Master of Art (MA) dalam bahasa Arab di Universitas Punjab Lahore.
Tak cukup hanya di Pakistan, Rahman melanjutkan kehausan intelektualnya di Universitas Oxford yang dimulai pada tahun 1946 untuk melengkapi jenjang akademik formalnya dengan gelar Philosophy Doctor (Ph.D). Disertasinya tentang Ibnu Sina di bawah arahan S. Van den Bergh dan H. A. R. Gibb, dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 1949. Rahman pernah mengajar di Universitas Durham, Inggris (1950-1958) dan lanjut mengajar di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill Kanada sampai menjadi Associate Professor of Philosophy (1958-1961)[1].
Pada tahun 1961, Presiden Pakistan Ayyub Khan melantiknya sebagai anggota Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute). Setahun berikutnya, Rahman dilantik menjadi pemimpinnya. Pada tahun 1964, Rahman ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam. Karena masuk dalam dua lembaga inilah, ia terlibat aktif dalam usaha untuk menafsirkan kembali Islam dalam rangka menjawab tantangan-tantangan dan kebutuhan-kebutuhan masa kini. Ia banyak menawarkan ide-ide baru yang tidak biasa dicetuskan oleh ulama-ulama Pakistan. Karena ide-ide yang dikemukakannya selalu mendapat tantangan keras dari ulama konservatif Pakistan, akhirnya ia mengundurkan diri, pindah dari Pakistan dan kembali ke Barat.[2]
Gerak Ganda
Intelektualitas Fazlur Rahman, tak perlu diragukan lagi, adalah kombinasi epik antara pemahaman turats Timur (Islam) dengan budaya pikir rasional-metodis Barat. Pemahaman khazanah pemikiran Islam klasik dalam bidang tafsir, hadis, tasawuf, teologi maupun fikih dan ushul fikih sangat lekat di dalam kepala Rahman. Ia pun juga memiliki ide untuk memanfaatkan secara intens pendekatan ilmu-ilmu sosial-humaniora Barat modern untuk mengkaji Al-Qur’an, yang pada akhirnya melahirkan gaya baca dan cara berpikir hermeneutisnya sendiri.[3]
Bentangan sejarah Islam membuktikan, bahwa dinamika pemikiran di dalam Islam terjadi melalui dua arah yaitu, kecenderungan sakralisasi teks serta tradisi, dan kecenderungan untuk mendesakralisasi. Kecenderungan pertama, berdampak pada munculnya kebekuan dan kejumudan ajaran Islam. Oleh karena itu, sakralisasi teks dan tradisi tersebut memiliki peran sentral atas meredupnya cahaya dan dinamika wacana Islam, yang pada akhirnya semakin mengeras ketika terjadi intervensi ideologis dari penguasa yang memihak secara ekstrem pada suatu paham tertentu. Situasi semacam inilah yang diamati oleh Rahman semasa di Pakistan, di samping datangnya paradigma baru pemikiran Barat yang mengkritik habis seluruh sendi ajaran Islam.[4]
Bagi Rahman, hermeneutika adalah alat analisis dalam melaksanakan fungsi ijtihad dalam memahami pesan yang terkandung dalam teks Al-Qur’an yang hadir 14 abad silam, agar pesan teks tersebut tetap dinamis, hidup dan fungsional untuk segala zaman. Hermeneutika digunakan sebagai deduksi horizontal hukum, serta perkembangan vertikal guna menemukan ratio legis (‘illat al-hukm) ataupun pernyataan yang digeneralisasi dengan asumsi “Al-Qur’an yufassiru ba’dluhu ba’dla”. Hermeneutika beroperasi dalam sebuah model pemahaman Al-Qur’an secara komprehensif sebagai sebuah kesatuan, bukan sebagai perintah-perintah yang terpisah, atomistik dan parsial.[5]
Inti dari teori pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman terletak pada apa yang dinamakannya sebagai teori gerak ganda (double movement theory), yakni proses penafsiran yang ditempuh melalui dua gerakan (langkah), dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini.[6] Dalam ‘gerakan pertama’, pemahaman diarahkan pada makna dari suatu pernyataan ayat dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan Al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Oleh karena itu kajian mengenai situasi makro yang berkaitan dengan masyarakat, agama, adat istiadat, bahkan mengenai kehidupan menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam, khususnya di sekitar Mekkah, beserta peperangan yang terjadi antara Persia dan Byzantium, mesti dilakukan terlebih dahulu. Langkah pertama ini pada dasarnya merupakan pemahaman terhadap makna Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan, di samping juga memahaminya dalam batas-batas ajaran khusus yang merupakan respon terhadap situasi yang khusus pula.[7] Jadi, yang dilakukan pada tahap ini adalah mempelajari konteks makro dan mikro di mana Al-Qur’an pertama kali diwahyukan.
Tujuan utama pemikiran Rahman ini adalah merumuskan visi etika Al-Qur’an yang utuh sebagai prinsip umum dan kemudian menerapkan prinsip umum tersebut dalam kasus-kasus khusus yang muncul pada situasi sekarang. Gerakan ini membutuhkan dua proses yang berkaitan. Pertama, yaitu merumuskan prinsip umum Al-Qur’an menjadi spesifik berdasarkan aspek sosio-historis. Kedua, memahami kehidupan aktual yang sedang berkembang dalam berbagai aspek, seperti: ekonomi, politik, kebudayaan dan lain-lain secara akurat. Asumsinya, kehidupan aktual masyarakat bersifat situasional. Tanpa pencermatan yang jeli, sangat mungkin memaksakan prinsip-prinsip Al-Qur’an. Gagasan Rahman tersebut melahirkan tradisi hermeneutika yang saling bertolak belakang namun berkaitan, yaitu memiliki corak khas Islam, memiliki kontinuitas tradisi pemikiran Islam yang berkembang, serta mampu memberikan arah baru untuk perkembangan tradisi pemikiran hermeneutika[8].
Pemikiran Rahman ini tentunya bisa menjadi sudut pandang alternatif dalam mengkaji dan pengkajian Al-Qur’an yang tidak mungkin dilepaskan dari kesejarahannya serta kesiapannya untuk membuktikan diri sesuai untuk segala tempat dan masa.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Dian Risky, Wiwied Pratiwi, Agus Mushodiq dan Muhammad Saifullah, “Hermeneutika Perspektif Gadamer dan Fazlur Rahman”, dalam Jurnal Al-Fathin Vol. 3, No. 2, 2020.
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1995.
Robiah Adawiyah, “Implikasi Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman dan Hassan Hanafi Terhadap Penetapan Hukum Islam”, dalam Jurnal Syariati Vol. I No. 3, 2016.
Supena, Ilyas, Hermeneutika Al-Quran: Dalam Pandangan Fazlur Rahman. Yogyakarta: Ombak, 2014.
Ulya, “Hermeneutika Double Movement Fazlur Rahman”, dalam Jurnal Ulul Albab Vol. 12, No.2, 2011. Zaprulkhan, “Teori Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman”, Noura, Vol. 1 No. 1, 2017.
[1] Zaprulkhan, “Teori Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman”, dalam Noura, Vol. 1 No. 1, 2017, hal. 23-24.
[2] Ulya, “Hermeneutika Double Movement Fazlur Rahman”, dalam Ulul Albab Vol. 12, No.2, 2011, hal. 113-114.
[3] Ilyas Supena, Hermeneutika Al-Quran: Dalam Pandangan Fazlur Rahman, Yogyakarta: Ombak, 2014, hal. 57.
[4] Robiah Adawiyah, “Implikasi Hermeneutika Al-Qur’n Fazlur Rahman dan Hassan Hanafi Terhadap Penetapan Hukum Islam”, dalam Syariati Vol. I, No. 3, 2016, hal. 339-340.
[5] Dian Risky Amalia, Wiwied Pratiwi, Agus Mushodiq dan Muhammad Saifullah, “Hermeneutika Perspektif Gadamer dan Fazlur Rahman”, dalam Al-Fathin Vol. 3, No. 2, 2020, hal. 189-190.
[6] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1995, hal. 6.
[7] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas…, hal. 7.
[8] Ilyas Supena, Hermeneutika Al-Quran…, hal. 130.